Cerita Bisnis ~ Apa benar Elon Musk mau diganti sebagai CEO Tesla? Wah, kalau benar, ini benar-benar kejutan. Sebab, tidak pernah terbayang kalau dia sampai hengkang dari Tesla. Maklum, Elon Musk itu bagaikan dua sisi dalam satu keping uang dengan Tesla. Begitu Tesla disebut, seketika orang-orang langsung mengingat Elon Musk, begitu juga sebaliknya.
Tapi begitulah isu yang beredar. Konon, Dewan Direksi Tesla sedang mencari CEO baru pengganti Elon Musk. Isu ini mencuat di tengah tekanan yang bertubi-tubi menimpa Tesla—mulai dari penjualan yang melambat, laba perusahaan yang terjun bebas, pasar yang terus tergerus oleh BYD, hingga goyahnya kepercayaan publik terhadap Tesla.
Yang memprihatinkan, di saat kondisi perusahaan seperti itu, Elon Musk justru lebih sering ke Washington. Dia sibuk mendampingi Presiden Donald Trump dengan agenda-agenda politiknya. Maka tak heran jika isu tersebut kemudian berkembang jadi spekulasi serius. Kenapa wacana itu muncul ketika Tesla sedang berada di masa paling krusial? Bagaimana nasib perusahaan jika Elon Musk benar-benar pergi? Seperti apa Tesla tanpa Elon Musk? Yuk, kita cari tahu.
Wall Street Journal, dalam laporan eksklusifnya, mengungkap bahwa sejak Maret 2025, diam-diam Dewan Direksi Tesla menjajaki kemungkinan mengganti Elon Musk sebagai CEO. Mereka bahkan sudah menghubungi sebuah firma pencari eksekutif. Memang, prosesnya masih samar dan belum jelas sejauh mana sudah berjalan. Laporan ini terasa seperti konfirmasi, sebab Elon Musk memang pernah mengungkap keinginannya untuk mundur.
Awal tahun lalu, ia mengirim pesan larut malam kepada teman dekatnya. Dia mengaku lelah dan frustrasi karena terus bekerja tanpa henti, terutama setelah pengadilan membatalkan kompensasi miliaran dolar yang seharusnya ia terima. Ia juga menyebut tidak ingin lagi menjabat sebagai CEO meskipun ragu apakah ada orang yang bisa membawa visi Tesla seperti yang ia bayangkan. Elon juga mengeluh sudah tujuh tahun bekerja tanpa dibayar, meskipun masih memegang 13% saham perusahaan.
Belakangan, Dewan Tesla membentuk komite khusus yang meninjau ulang skema kompensasi untuk Musk. Sebelum isu pergantian mencuat, Elon Musk sudah merasakan berbagai tekanan. Ia diminta Dewan Direksi untuk kembali fokus pada Tesla dan menyatakan komitmennya secara terbuka. Saat itu performa perusahaan sedang jatuh, tetapi Elon malah sibuk mendampingi Presiden Trump dalam agenda pemangkasan anggaran. Awalnya, ia merespon permintaan tersebut dengan datar. Ia baru merespons serius setelah laba kuartal pertama turun 71%. Saat itu, ia berjanji akan mencurahkan lebih banyak waktu untuk Tesla.
Sayangnya, para investor belum bisa merasa tenang. Faktanya, perhatian Elon Musk terbagi-bagi. Bayangkan saja, dalam waktu yang sama, ia memimpin lima perusahaan sekaligus dan harus menerima laporan dari sekitar 20 eksekutif Tesla. Apalagi sejak pemilu, waktunya banyak dihabiskan di Washington. Bahkan, pada akhir pekan, ia lebih sering berada di Mar-a-Lago.
Sementara itu, reputasi Tesla semakin goyang, terutama di California dan Jerman. Di China, Tesla sudah kalah oleh BYD dan produsen lokal lainnya. Situasi semakin runyam setelah pasar China terguncang oleh kebijakan tarif yang ditetapkan oleh Donald Trump. Rantai pasok terganggu, loyalitas pelanggan melemah, dan protes serta boikot bermunculan. Meskipun dekat dengan Trump, Musk mengaku hanya bisa menyuarakan pendapat karena tidak punya kendali atas kebijakan presiden.
Menarik Untuk Dibaca : Hampir Mati Tapi Selamat
Investor seperti Dan Ives memperingatkan, jika Musk tidak segera mengurangi peran politiknya, Tesla bisa terjebak dalam krisis yang lebih dalam. Saat ini Tesla berada di masa tersulit. Permintaan melambat di pasar utama seperti China, Eropa, dan Amerika Serikat. Tantangan persaingan semakin tajam dari pemain baru seperti BYD. Tahun 2024, untuk pertama kali, penjualan Tesla merosot 1,1% secara global, hanya mencapai 1,79 juta unit. Margin kotor otomotif turun ke titik terendah dalam lima tahun terakhir, yakni hanya 14,6%.
Masalah lain yang membuat Tesla tambah pusing adalah Cybertruck. Sejak diluncurkan, kendaraan ini menghadirkan banyak masalah. Padahal sebelumnya, Cybertruck digadang-gadang sebagai simbol inovasi Tesla. Namun, hingga awal 2025, Cybertruck hanya laku 46.000 unit—jauh dari target 250.000 unit. Selain kurang laku, masalah Cybertruck juga diwarnai kasus penarikan kembali yang berulang kali. Mulai dari pedal akselerator yang macet hingga panel bodi yang terlepas saat melaju. Belum lagi desainnya yang unik sering jadi bahan olokan di media sosial dan acara komedi malam. Semua ini terjadi ketika citra perusahaan mulai terkikis oleh kontroversi politik Elon Musk.
Keterlibatan politik Musk, terutama dukungannya terhadap partai sayap kanan di Jerman dan kedekatannya dengan pemerintahan Trump, telah menciptakan jarak antara Tesla dan pasar progresif. Akibatnya, konsumen setia Tesla menjauh. Dampaknya langsung terasa di pasar finansial. Di kuartal pertama 2025, laba bersih Tesla anjlok 71%. Nilai pasar perusahaan merosot lebih dari setengah—menghapus sekitar 800 miliar dolar AS dari kapitalisasi pasarnya. Saham Tesla sempat jatuh hingga 45%, meskipun sempat sedikit pulih.
Laporan keuangan Tesla bulan April juga menggambarkan situasi yang berdarah-darah. Tetapi berita itu nyaris tenggelam karena Elon Musk membuat pengumuman penting: ia akan mundur dari perannya di pemerintahan Trump dan kembali fokus ke Tesla. Pengumuman ini memberi harapan, meskipun banyak yang bertanya-tanya—apakah ini sudah terlambat?
Kabar tentang proses pencarian pengganti Elon Musk dibantah Tesla lewat akun X. Ketua Dewan Tesla, Robyn Denholm, menyatakan berita itu keliru dan sudah diklarifikasi ke media sebelum diterbitkan. Ia juga menegaskan Elon Musk tetap menjabat sebagai CEO dan Dewan tetap percaya pada kepemimpinannya. Sayangnya, banyak pihak menilai pernyataan ini terlalu defensif. Dalam wawancara dengan Fox News Maret lalu, Elon Musk mengakui bahwa menjalankan semua perusahaannya sangat sulit. Ia juga bilang akan mengurangi peran aktif di pemerintahan, tapi tetap mempertahankan kantor kecil di West Wing dan jabatan sebagai penasihat presiden.
Keterlibatan politik Elon Musk hanya sebagian dari persoalan yang dihadapi Tesla. Penjualan tahunan Tesla turun 1,1%, menjadi 1,79 juta unit. Tren penurunan berlanjut hingga awal 2025. Di Eropa, penjualan kuartal pertama turun hingga 30%. Di Jerman, penjualan anjlok 76% pada Februari. Di China, penjualan turun hampir 14% hanya dalam dua bulan pertama tahun ini. Memang ada kenaikan di Inggris, tapi konsistensi global makin tergerus. Masalah lain adalah keterlambatan model baru. Elon Musk telah membatalkan rencana produksi mobil murah Model 2 dan beralih ke proyek ambisius seperti robot dan robot humanoid. Tahun lalu, Tesla diam-diam meninggalkan target produksi 20 juta mobil per tahun pada 2030.
Banyak analis menilai bahwa valuasi Tesla kini lebih mencerminkan pertaruhan pada visi jangka panjang Elon Musk, bukan pada kinerja otomotifnya. Jika kita runut ke belakang, persoalan posisi Elon Musk di Tesla bukan hal baru. Pada 2018, ia pernah mundur dari jabatan Ketua Dewan setelah menyelesaikan kasus hukum dengan regulator keuangan AS. Sejak saat itu, muncul usulan agar Elon Musk berbagi peran—ia tetap menjadi tokoh utama, tapi operasional harian dijalankan oleh eksekutif senior. Tapi Musk menolak.
Kini, wacana itu muncul kembali dengan nuansa berbeda.
Sejumlah investor menilai Tesla bisa berjalan lebih stabil tanpa kehadiran Elon Musk setiap hari. Fokus pada produksi dan pengembangan kendaraan bisa lebih tajam jika tidak bergantung pada satu figur. Penunjukan Jerome Guillen sebagai Presiden Otomotif menjadi salah satu tanda awal transisi. Dalam beberapa pekan terakhir, Elon Musk juga jarang terlihat di pabrik utama Tesla di Fremont. Anehnya, ketidakhadirannya justru dinilai positif dari sisi operasional.
Namun, menggusur Elon Musk tetap akan menjadi langkah ekstrem. Bagi investor dan publik, ia bukan hanya CEO. Ia adalah simbol ambisi besar Tesla. Menggantikan sosok sekaliber Elon Musk bukan hanya soal kompetensi—ini juga soal membangun kembali kepercayaan dan identitas perusahaan.
Andaikan Elon Musk benar-benar mundur, siapa yang bisa menggantikannya? Salah satu nama paling sering disebut adalah Tom Zhu, tangan kanan Elon di bidang operasional. Ia sukses memimpin pabrik Tesla di Shanghai yang kini menjadi pusat produksi utama. Tom dikenal sebagai manajer disiplin, efisien, dan tidak dramatis. Sosok lain adalah JB Straubel, pendiri Tesla dan arsitek teknologi baterai Tesla. Ia kini duduk di dewan Tesla dan memimpin Redwood Materials.
Dari luar Tesla, muncul nama-nama seperti Stella Li (BYD), Jose Munoz (Hyundai), dan John Krafcik (mantan CEO Waymo). Ketiganya punya rekam jejak kuat di dunia otomotif dan teknologi. Namun siapapun penggantinya, ia akan menghadapi tantangan besar: bagaimana memimpin perusahaan yang sangat dipengaruhi Elon Musk?
Ada tiga pelajaran penting dari isu ini. Pertama, ketokohan bisa jadi kekuatan sekaligus kelemahan organisasi. Ketergantungan pada satu sosok membuat perusahaan rapuh saat sosok itu goyah. Kedua, dalam dunia kompetitif, fokus sangat penting. Ketika perhatian pemimpin terpecah, performa perusahaan pun merosot. Ketiga, bisnis yang tangguh dibangun oleh sistem, bukan figur. Visi hebat harus diwariskan melalui budaya dan struktur, bukan hanya bergantung pada satu orang.
Kalau Tesla ingin bertahan, ia harus bisa berdiri tegak bahkan ketika Elon Musk sudah tidak lagi memimpin. Elon Musk akan selalu menjadi bagian dari cerita Tesla. Tapi apakah Tesla siap menjadi sesuatu yang lebih besar dari pendirinya? Waktu yang akan menjawabnya.
Menarik Untuk Ditonton : Strategi Mengembangkan Bisnis Craft, Jasa Dan Fashion
Mau Konsultasi?