

Brand fashion kenamaan Lacoste beberapa waktu lalu mengumumkan akan mengganti logo mereka — dari logo bergambar buaya menjadi logo bergambar kambing atau goat. Kok bisa ya? Bukannya itu berisiko untuk brand? Bukankah sebuah brand seharusnya konsisten, apalagi logo yang sering dianggap sebagai wajah atau tanda tangan dari sebuah perusahaan atau produk?
Halo, saya Untung. Buat Anda yang mungkin belum tahu, walaupun sepertinya kecil kemungkinan ya, Lacoste adalah brand fashion premium asal Prancis. Produknya terkenal simpel dan elegan — polo shirt, t-shirt, sweater — dengan desain yang bersih dan minim ornamen. Walaupun tampak sederhana, harganya tidak main-main. Untuk sebuah kaos polos saja, harganya bisa mulai dari Rp700.000-an. Padahal banyak brand lain menawarkan produk serupa dengan harga di bawah Rp200.000-an, termasuk Uniqlo yang kualitasnya juga bisa diadu.
Lacoste didirikan pada tahun 1933 oleh René Lacoste, seorang petenis profesional. Sejak awal, brand ini memang dekat dengan dunia olahraga tenis. Namun, yang membuat Lacoste bertahan hingga kini adalah konsistensinya menjaga kualitas. Mereka menggunakan bahan piqué cotton yang terkenal premium, mempertahankan tampilan toko yang minimalis dan chic, serta menjaga positioning sebagai brand kelas atas. Berbeda dengan H&M atau Uniqlo, Lacoste jarang memberikan diskon dan tidak bermain di kuantitas besar. Konsistensi inilah yang membentuk persepsi Lacoste sebagai brand premium — dan pelan-pelan, penggunanya pun dikenal sebagai kalangan berada.
Menarik Untuk Dibaca : Usaha Kecil Yang Akan Jadi Besar
Nah, kabar pergantian logo ini muncul sebagai bentuk apresiasi terhadap brand ambassador mereka, Novak Djokovic, yang dianggap sebagai petenis terbaik sepanjang masa — atau GOAT (Greatest of All Time). Jadi, logo kambing ini bukan menggantikan seluruh identitas Lacoste, melainkan digunakan pada seri khusus sebagai penghormatan.
Secara teori branding, langkah ini cukup “menantang” karena prinsip dasar branding adalah konsistensi. Logo merupakan salah satu brand asset terpenting yang membantu orang mengenali sebuah produk. Kalau logonya saja tidak dikenali, bagaimana orang bisa mengenali brand-nya? Apalagi, simbol buaya yang sudah melekat kuat di benak konsumen diganti dengan kambing — hewan yang bahkan secara asosiasi bisa dibilang berlawanan.
Namun, kalau kita pahami lebih dalam, brand bukan hanya soal logo. Brand adalah segala hal yang orang ingat tentang sebuah produk — mulai dari kualitas, kemasan, layanan, hingga pengalaman dan perasaan yang muncul saat menggunakannya. Logo hanyalah alat pengenal, semacam stempel yang menandakan “asli” atau “terpercaya”.
Brand menjadi kuat karena konsistensi. Otak manusia belajar dan mengingat melalui pengulangan. Itulah sebabnya konsistensi penting: ia membangun brand memory. Tapi ketika brand memory sudah terbentuk sangat kuat, seperti Lacoste, maka logo bukan lagi satu-satunya elemen yang membuat orang mengenalinya. Dari bahan, jahitan, desain, hingga pengalaman belanja di tokonya — semua sudah menjadi identitas yang melekat.
Jadi, meskipun logo di satu seri tertentu diganti, risikonya kecil. Orang tetap tahu itu Lacoste, karena semua elemen lain masih konsisten. Selain itu, target pasar Lacoste adalah kalangan premium yang sudah tidak lagi membeli untuk “flexing” atau pamer. Mereka membeli karena nilai dan kualitas. Jadi kalau pun logonya berbeda, mereka tidak merasa perlu memastikan orang lain tahu itu Lacoste.
Dari sisi psikologi perilaku, manusia punya paradoks terhadap kebiasaan. Kita suka konsistensi karena memberi rasa aman dan familiar, tapi kita juga mudah bosan terhadap sesuatu yang terlalu bisa diprediksi. Sedikit kejutan — seperti perubahan logo sementara — justru bisa menarik perhatian otak, membuat kita berhenti sejenak dan memperhatikan kembali.
Nah, strategi perubahan logo ini bisa dibaca sebagai cara Lacoste untuk menciptakan momen refreshment tanpa merusak identitas utamanya. Karena dilakukan oleh brand yang sudah sangat kuat dan konsisten selama puluhan tahun, perubahan ini bukan ancaman — justru jadi kejutan yang menyenangkan dan memperbarui minat publik.
Jadi, walaupun teori branding menekankan pentingnya konsistensi, dalam praktiknya, brand besar yang sudah memiliki brand memory kuat punya ruang untuk bermain. Jangankan dari buaya jadi kambing — kalau besok logo Lacoste diganti jadi kecoa pun, mungkin orang tetap akan tahu: “Itu Lacoste.”
Menarik Untuk DItonton : Cara Membuat Bisnis Plan
Mau Konsultasi?