Meskipun demikian, brand tetap bisa direncanakan dengan strategi yang tepat. Untuk memahami lebih lanjut, penting mengetahui teori dasar seperti *brand hierarchy* yang pernah dibahas dalam episode sebelumnya. Konsep ini membagi brand menjadi empat tingkatan:
1. **Familiarity**: Diingat karena sering dibicarakan atau terekspos luas.
2. **Resonate**: Diingat karena menawarkan fitur fungsional yang menarik.
3. **Inspire**: Diingat karena mampu beresonansi secara emosional dengan konsumen.
4. **Cult**: Dipuja karena brand menjadi bagian dari identitas konsumen.
Penting untuk dicatat bahwa tingkatan ini bukanlah tangga yang harus dilewati secara bertahap. Sebuah brand dapat langsung menargetkan salah satu tingkatan tertentu, kecuali *cult*, yang hanya bisa dicapai melalui tahapan *resonate* atau *inspire*.
Dua komponen utama dalam membangun brand adalah **diingat** (*awareness*) dan **diinginkan** (*desirability*). Brand terbentuk di benak konsumen, sehingga langkah pertama adalah memastikan bahwa brand mudah diingat. Tingkat pengingatan ini juga berbeda, bergantung pada posisi brand dalam *brand hierarchy*. Contohnya, brand di level *familiarity* sering diingat karena eksposur yang luas, tetapi rentan pudar jika presensinya menurun. Sebaliknya, brand di level *inspire* atau *cult* memiliki daya tahan lebih kuat karena berakar pada hubungan emosional atau identitas konsumen.
Setelah diingat, langkah berikutnya adalah membuat brand diinginkan. Tidak semua brand yang dikenal pasti diinginkan konsumen. Contohnya, meskipun kita mungkin mengenal lebih dari 10 merek otomotif, hanya beberapa yang benar-benar kita pertimbangkan untuk dibeli. Ini menunjukkan bahwa brand harus mampu menciptakan keinginan di luar sekadar pengingatan.
Menarik Untuk Dibaca : Sandwich Strategi Marketing
Untuk mencapai kedua komponen ini, langkah pertama adalah membangun **relevansi**, yaitu menciptakan posisi yang relevan bagi konsumen dan brand. Proses ini melibatkan penelitian konsumen untuk menemukan *insight* yang relevan dan menentukan interseksi antara kebutuhan konsumen dengan kemampuan brand. Misalnya, dalam kategori sabun kecantikan, fakta universal adalah keinginan wanita untuk terlihat cantik. Sebuah brand bisa memilih untuk berposisi di level *resonate* dengan menawarkan manfaat fungsional seperti “sabun yang mengandung bahan tertentu untuk membuat kulit lebih halus,” atau di level *inspire* dengan membangun narasi emosional tentang “kepercayaan diri melalui kecantikan alami.”
Membangun relevansi adalah langkah paling sulit dalam proses membangun brand, namun merupakan fondasi yang tidak bisa diabaikan. Keberhasilan menentukan relevansi akan memengaruhi posisi brand dalam *brand hierarchy* dan sejauh mana brand dapat diingat dan diinginkan oleh konsumen.
Dalam dunia branding, strategi yang diterapkan oleh Dove dan Lux dari perusahaan yang sama menjadi contoh bagaimana brand bisa membawa pesan yang berbeda meskipun produk dasarnya serupa. Dove, misalnya, bergerak dari level *resonate* ke *inspire* dengan membawa pesan emosional bahwa “cantik datang dari dalam hati.” Pesan ini memanfaatkan *message effect*, di mana isi pesan yang kuat dan bermakna mampu membangun persepsi positif terhadap produk, meskipun secara rasional pesan tersebut tidak langsung menonjolkan manfaat produknya. Spirit yang diusung Dove menciptakan kesan bahwa jika prinsipnya bagus, maka produknya juga harus bagus. Ini membuktikan bahwa pesan yang sama dapat diframing dengan cara berbeda untuk membidik tingkatan yang berbeda dalam *brand hierarchy*.
Untuk brand yang menargetkan level *cult*, pendekatannya harus berasal dari *resonate* atau *inspire*. Sementara itu, brand di level *familiarity* lebih fokus pada menciptakan ingatan melalui eksposur yang luas, tanpa terlalu memedulikan konteks relevansi. Namun, penting untuk membangun narasi yang kontekstual dan resonan, terutama untuk brand di level *resonate*. Sebagai contoh, kampanye Google Pixel 2 yang menyoroti keunggulan fungsionalnya melalui narasi yang berpusat pada kelebihan produk menjadi cara efektif untuk menciptakan relevansi.
Membangun relevansi adalah langkah pertama dan paling mendasar dalam proses branding. Ini tentang menemukan sudut pandang yang sesuai dengan kebutuhan konsumen sambil tetap relevan dengan nilai brand. Dalam analogi penyanyi, ini seperti menentukan segmen audiens yang dituju, sehingga lagu yang dibawakan sesuai dengan suasana hati atau preferensi mereka. Setelah relevansi terbentuk, langkah berikutnya adalah menciptakan keunikan (*uniqueness*). Sayangnya, banyak brand yang langsung fokus pada keunikan tanpa membangun relevansi terlebih dahulu, sehingga keunikan tersebut menjadi tidak relevan dan kehilangan dampak.
Keunikan ini mencakup elemen seperti DNA, kepribadian brand, dan *archetype* yang ingin diusung. Brand juga harus merencanakan *trigger* yang membuat konsumen langsung mengingat brand tersebut, seperti logo, warna, atau asosiasi tertentu. Contohnya, Volvo dikenal dengan “keamanan,” sementara Nike dengan “determinasi.” Dalam analogi penyanyi, keunikan ini seperti menentukan genre musik, gaya menyanyi, atau warna suara yang menjadi ciri khas.
Setelah relevansi dan keunikan terbentuk, langkah berikutnya adalah menjaga kehadiran (*presence*) dan melakukan amplifikasi. Pada tahap ini, fokusnya adalah memastikan brand tetap diingat, baik melalui kanal berbayar maupun yang organik. Ini seperti penyanyi yang harus menentukan di mana mereka akan tampil, apakah di televisi, YouTube, atau Spotify. Namun, ingatan yang terbentuk harus didasarkan pada relevansi dan keunikan yang telah dibangun sebelumnya, sehingga menghasilkan kesan yang mendalam.
Selanjutnya, membangun *experience* menjadi langkah krusial. Ini tentang memastikan pengalaman konsumen berjalan mulus dari awal hingga akhir, mulai dari melihat iklan, mempertimbangkan, membeli, menggunakan, hingga berbagi pengalaman. Contohnya, Apple berhasil menciptakan pengalaman yang menyeluruh, dari iklan yang mengesankan, proses pertimbangan yang informatif, hingga unboxing dan penggunaan produk yang mulus. Dalam analogi penyanyi, ini seperti memastikan konser yang spektakuler dan konsisten dengan kualitas rekaman.
Terakhir, brand perlu mengembangkan *emotional flavor* dengan menebalkan keunikan dan memasukkan elemen emosional yang selaras dengan DNA serta kepribadian brand. Ini mencakup penyampaian narasi, *tone*, dan *manner* yang konsisten, sehingga brand mampu menciptakan hubungan emosional yang mendalam dengan konsumen. Dalam konteks penyanyi, ini seperti menghadirkan performa yang mampu menggetarkan hati audiens, baik di panggung maupun di luar panggung.
Coldplay adalah contoh sempurna bagaimana sebuah band tidak hanya dikenal karena kemampuan bernyanyi atau kualitas lagu yang bagus, tetapi juga karena spirit inklusif yang diusungnya. Spirit ini membuat Coldplay berbeda dari band lain yang mungkin hanya sekadar bagus dalam menyanyi dan menciptakan lagu. Meskipun spirit inklusif ini tidak memiliki hubungan langsung dengan penjualan dalam jangka pendek, ia menciptakan nilai yang membuat Coldplay lebih dari sekadar band.
Hal serupa dapat dilihat pada Apple yang tidak hanya menjual spesifikasi dan fitur, tetapi juga spirit inovasi dan gaya hidup. Dalam dunia olahraga, Liverpool membedakan dirinya dengan spirit “You’ll Never Walk Alone,” yang tidak dimiliki oleh klub lain yang hanya mengandalkan pemain bintang atau performa pertandingan. Bahkan, pemimpin negara atau daerah yang memiliki spirit tertentu sering kali lebih berkesan dibanding mereka yang hanya dikenal karena kemampuannya bekerja tanpa menghadirkan rasa atau inspirasi.
Langkah penting berikutnya dalam membangun brand adalah menciptakan *social compliance*. Ini tentang menunjukkan bahwa produk disukai oleh banyak orang dan memberikan wadah untuk mengekspresikan kebanggaan menggunakan produk tersebut. Misalnya, restoran yang memamerkan foto public figure yang pernah makan di sana, atau brand fashion yang memanfaatkan ulasan positif dari konsumen. Contoh lainnya adalah *user-generated content* (UGC) atau merchandise keren yang membuat konsumen merasa bangga memilikinya. Dalam analogi penyanyi, ini seperti menciptakan amplifikasi euforia dari rebutan tiket konser hingga momen selama konser itu sendiri.
Tahap terakhir adalah membangun *premium effect*, yang bertujuan menciptakan *price insensitivity* pada konsumen. Pertanyaannya adalah: Seberapa besar konsumen tetap memilih brand ini meski harganya lebih mahal atau tanpa diskon? Ini menjadi bukti tak terbantahkan bahwa brand tersebut sudah sangat kuat. Untuk mencapai hal ini, selain menerapkan langkah-langkah sebelumnya, brand perlu membangun *coolness factor* yang membuatnya menjadi simbol identitas. Produk yang dianggap keren menciptakan kebanggaan tersendiri bagi penggunanya. Dalam analogi penyanyi, memiliki tiket konser dari artis besar memberikan rasa bangga dan eksklusivitas, sehingga orang rela mengusahakan apa pun untuk bisa hadir.
Secara keseluruhan, proses membangun brand dimulai dari menciptakan relevansi yang kuat. Setelah itu, keunikan (*uniqueness*) perlu dikembangkan untuk membedakan brand dari kompetitor. Selanjutnya, *presence* dijaga agar brand tetap diingat, pengalaman (*experience*) konsumen diperbaiki agar lebih baik, *emotional flavor* ditambahkan untuk memperkuat hubungan emosional, dan *social compliance* dirancang untuk membangun bukti sosial. Pada akhirnya, *premium effect* menjadi puncak dari semua usaha tersebut, menciptakan brand yang tidak hanya kuat tetapi juga dihargai tanpa kompromi.
Menarik Untuk Ditonton : Cara Jualan Di Status WA
Mau Konsultasi?