Sejak era 1980-an, Nike telah melampaui fungsinya sebagai produsen sepatu olahraga, menjadi simbol gaya hidup dan ikon budaya global. Hal ini dimulai dengan kerja sama Nike bersama pebasket legendaris Michael Jordan melalui peluncuran Air Jordan. Slogan “Just Do It” memperkuat posisi Nike sebagai merek inspiratif, terutama di kalangan muda.
Pada era Mark Parker (2006–2019), Nike terus berinovasi dengan teknologi melalui produk seperti Flyknit dan Nike+, yang menggabungkan olahraga, teknologi, dan mode dalam satu produk. Di bawah kepemimpinan Parker, Nike semakin mengukuhkan posisinya sebagai merek gaya hidup yang inovatif.
Ketika Mark Parker mengundurkan diri pada 2019, Nike menunjuk John Donahoe, seorang ahli teknologi dengan pengalaman di eBay dan ServiceNow. Donahoe dianggap mampu membawa Nike ke era digital. Namun, tak lama setelah ia menjabat, pandemi COVID-19 menghantam, merusak rantai pasok, menutup toko-toko, dan mengguncang industri ritel global.
Menarik Untuk Dibaca : Bisnis F&B Tak Lekang Oleh Waktu
Donahoe dengan berani memutus hubungan Nike dengan banyak pengecer, termasuk Amazon, dan fokus pada penjualan langsung melalui situs web dan aplikasi Nike. Strategi ini terbukti berhasil selama pandemi, dengan penjualan langsung meningkat pesat. Produk-produk ikonik seperti Nike Panda Dunk menjadi primadona, dan margin keuntungan Nike meningkat signifikan.
Namun, setelah pandemi berlalu, strategi Donahoe menghadapi tantangan besar. Keputusannya memutus kerja sama dengan pengecer besar seperti Foot Locker mulai dipertanyakan karena kebiasaan belanja konsumen kembali normal. Rak-rak Foot Locker yang dulu diisi produk Nike kini diisi oleh pesaing seperti New Balance, Hoka, dan Puma.
Kontribusi penjualan Nike di Foot Locker anjlok menjadi kurang dari 60%. Selain itu, Nike kehilangan hubungan dengan para *taste maker* dan toko-toko butik yang dulu membangun citra eksklusifnya. Akibatnya, aura eksklusivitas Nike mulai memudar. Produk-produk Nike juga dinilai kehilangan sentuhan inovasi, sementara merek lain seperti Adidas, Hoka, dan New Balance berhasil meraih perhatian dengan produk-produk baru.
Fokus Nike yang terlalu besar pada segmen gaya hidup seperti Panda Dunk dianggap berlebihan dan overrated. Produk andalan seperti Pegasus dan Air Force One juga kehilangan popularitasnya. Bahkan, peluncuran Air Max mendapat respons negatif dari pasar. Beberapa pihak menyebut bahwa kelambanan inovasi Nike disebabkan oleh pandangan Donahoe yang tidak sesuai dengan realitas lapangan. Meskipun LeBron James Innovation Center membantah hal ini, reputasi Nike tetap terdampak oleh isu internal, termasuk pengungkapan kembali masalah perlakuan terhadap karyawan perempuan pada 2018.
Pelajaran penting dari kepemimpinan Donahoe adalah bahwa strategi yang sukses dalam satu situasi belum tentu relevan di era yang berbeda. Sebuah merek harus terus menyesuaikan diri dengan perubahan pasar dan kebutuhan konsumen. Fokus pada efisiensi internal tanpa mempertahankan relevansi inovasi dan eksklusivitas di pasar dapat menjadi blunder fatal.
Meskipun Nike berjanji untuk menyelesaikan berbagai masalah internal, banyak pihak merasa isu-isu tersebut belum tuntas. Isu ini terus menghantui suasana kerja, menyumbat kreativitas pegawai, dan menghambat inovasi. Suasana muram di Nike mendorong mantan eksekutif senior, Massimo Gianchino, pada 2023 secara terbuka mengkritik kepemimpinan John Donahoe. Gianchino menyebut Donahoe terlalu bergantung pada data sehingga mengorbankan budaya kuat Nike.
Donahoe juga dinilai bersalah karena menghapus kategori produk tradisional seperti sepatu lari dan basket serta memutus hubungan dengan komunitas olahraga. Keputusan ini membuat banyak desainer merasa tidak dihargai, sehingga mereka memilih hengkang. Akibatnya, Nike kehilangan banyak talenta terbaik yang selama ini mendukung inovasi.
Donahoe mengandalkan strategi pemasaran digital yang lebih tersegmentasi dan berbasis algoritma, menggantikan kampanye besar penuh emosi seperti “Failure” bersama Michael Jordan atau “Find Your Greatness.” Konten digital yang dibuat hanya fokus menarik pengunjung ke situs web Nike, tetapi gagal membangun hubungan emosional dengan konsumen.
Akibatnya, loyalitas pelanggan menurun. Di Eropa dan China, permintaan produk gaya hidup Nike, termasuk Panda Dunk, terus merosot. Bahkan, harga Panda Dunk di pasar sekunder turun di bawah harga ritel, menunjukkan penurunan popularitas yang signifikan. Pada Juni 2024, penjualan sepatu segmen gaya hidup turun untuk pertama kalinya, menyebabkan nilai saham Nike anjlok 20% dalam sehari, menghapus kapitalisasi pasar sebesar $28 miliar.
Meski Donahoe mencoba mengatasi krisis dengan memangkas biaya operasional, termasuk PHK 2% tenaga kerja global, langkah ini justru memicu kemarahan karyawan yang merasa perusahaan kehilangan arah. Video wawancara lama Donahoe yang menyatakan bahwa ia “tidak peduli dengan emosi karyawan yang dipecat” semakin memperburuk suasana.
Kritik datang dari Alex Res, CEO komunitas fashion dan streetwear The Basement, yang menyatakan keprihatinannya atas kerusakan besar yang terjadi dalam waktu singkat. Pada September 2024, tekanan dari investor dan karyawan memuncak, memaksa dewan direksi untuk mengambil tindakan. Setelah sebelumnya mempertanyakan arah strategi Donahoe, akhirnya ia mengundurkan diri sebagai CEO.
Pada Oktober 2024, Nike menunjuk Elliot Hill sebagai CEO baru. Hill bukan orang baru di Nike, ia memulai kariernya di perusahaan ini sebagai magang pada 1988 dan pernah memimpin berbagai operasi global, termasuk di Eropa, Timur Tengah, dan Afrika. Pengalaman panjangnya, termasuk memimpin divisi konsumen dan pasar pada 2018, membuatnya paham akan pasar dan budaya perusahaan.
Hill juga merupakan kandidat kuat untuk posisi CEO sebelum akhirnya Donahoe yang terpilih pada 2019. Kini, Hill diharapkan dapat membawa kembali inovasi, memperbaiki hubungan dengan pengecer besar, dan mengembalikan posisi Nike sebagai pemimpin industri olahraga. Kehadiran Hill disambut baik oleh pasar, dengan harga saham Nike melonjak 10% sebagai tanda kembalinya kepercayaan investor.
Tantangan terbesar Hill adalah membangun kembali hubungan dengan pengecer besar seperti Foot Locker, yang menjadi kunci untuk mendukung pertumbuhan jangka panjang. Dengan strategi yang tepat, Hill diharapkan dapat mengembalikan kejayaan Nike sebagai pemain utama di industri olahraga global.
Hill juga harus mengembalikan fokus Nike pada inovasi produk, terutama di segmen olahraga yang menjadi kekuatannya. Ia perlu memastikan Nike kembali menjadi merek yang inovatif dan mampu bersaing dengan pemain baru seperti On Running dan Hoka, yang telah merebut pangsa pasar melalui teknologi terkini. Selain itu, Hill harus memulihkan semangat karyawan yang sempat menurun dengan membangun kembali kepercayaan melalui komunikasi yang jelas dan tindakan nyata untuk memperkuat budaya kerja perusahaan.
Ada tiga pelajaran penting yang bisa dipetik dari kisah Nike ini. Pertama, setiap masa membutuhkan strategi yang berbeda. Strategi yang diterapkan Donahoe saat pandemi memang berhasil, tetapi ketika dunia mulai pulih, strategi yang sama justru menjadi bumerang. Nike kehilangan posisinya di rak pengecer besar serta hubungan dengan komunitas yang membangun brand mereka. Ini mengajarkan bahwa timing dan konteks sangat penting dalam menyusun strategi bisnis.
Kedua, pentingnya menyeimbangkan algoritme dengan empati. Fokus Donahoe pada algoritme dan segmentasi pasar memang meningkatkan penjualan langsung, tetapi sekaligus menggerus hubungan emosional yang selama ini menjadi kekuatan Nike. Bagi pemimpin bisnis, ini adalah pengingat bahwa meskipun teknologi mempermudah kita menjangkau lebih banyak orang dengan cepat, hubungan manusia yang tulus tidak dapat digantikan oleh mesin.
Ketiga, selalu berpegang pada nilai inti brand. Donahoe mungkin berpikir bahwa strategi digital yang efisien adalah jawaban untuk segalanya, tetapi ia lupa bahwa Nike dibangun bukan hanya dengan sepatu yang bagus, melainkan juga melalui cerita bermakna yang menyentuh hati. Cerita-cerita inspiratif seperti *Find Your Greatness* seharusnya tetap menjadi nyawa Nike dan brand mana pun.
Di tengah arus industri yang terus berubah dengan persaingan ketat dan konsumen yang semakin dinamis, kita tidak boleh lengah. Strategi yang berhasil kemarin mungkin sudah usang hari ini, apalagi besok.
Mari terus mengasah kemampuan untuk mengamati, menyesuaikan, dan berinovasi. Jangan biarkan gelombang perubahan menjauhkan kita dari puncak kejayaan. Tetaplah peka dan proaktif dalam menavigasi arus pasar yang selalu penuh kejutan.
Menarik Untuk Ditonton : Cara Optimasi GMB
Mau Konsultasi?