Sebelum masuk lebih jauh, perlu ditegaskan bahwa ini bukan berarti Paus Fransiskus secara sadar menggunakan teknik marketing atau sales. Sebaliknya, ini adalah sudut pandang dari seorang marketer—Ign. Suntung—yang melihat bahwa sikap dan tindakan Paus Fransiskus secara tidak langsung sangat relevan untuk dijadikan inspirasi dalam dunia penjualan dan pemasaran.
Pelajaran pertama adalah fokus pada solusi, bukan pada produk. Paus Fransiskus tidak menjual agama Katolik, tetapi menawarkan solusi atas pertanyaan dan kebutuhan mendasar manusia: bagaimana hidup dengan baik dan memiliki masa depan yang baik, bahkan setelah kematian. Justru karena ia tidak menjual agama, orang-orang justru tertarik dengan agamanya. Ia tidak menghakimi, tidak memaksa, dan justru menunjukkan bukti, bukan sekadar janji. Hal ini berbeda dengan pemimpin agama yang sibuk menjual doktrin, tapi melupakan esensi: membantu manusia menjalani hidup yang lebih baik.
Prinsip ini berlaku juga dalam branding. Banyak brand terlalu fokus menjual produknya, bukan solusi. Mereka membuat konten yang seperti video narsistik, yang bicara terus-menerus tentang diri mereka, tanpa membangun relevansi dengan audiens. Padahal, brand yang kuat adalah brand yang menyediakan solusi, dan brand-nya terpilih karena solusi tersebut terasa relevan.
Pelajaran kedua adalah konteks lebih penting dari sekadar konten. Di masa media sosial, kita sering mendengar istilah “content is king”. Namun kenyataannya, konten tanpa konteks tidak akan menghasilkan dampak. Banyak brand membuat konten asal banyak, tapi tidak relevan dengan produk maupun kebutuhan audiens. Sebaliknya, ketika konteksnya kuat, bahkan satu konten saja bisa viral dan memberikan dampak luar biasa.
Menarik Untuk Dibaca : Tingkatkan Omset Dengan Chat
Contohnya, Paus Fransiskus sering tampil dalam konteks isu-isu kemanusiaan seperti perdamaian, kemiskinan, dan keadilan sosial. Sikap dan ucapannya terasa menyentuh, bahkan bagi mereka yang berbeda keyakinan. Karena konteksnya kuat, maka pesan-pesan beliau selalu menjadi headline media dan viral secara organik. Begitu pula brand, bila bisa membangun konteks yang sesuai dengan audiens, maka daya ledaknya akan tinggi.
Pelajaran ketiga adalah leadership dan kepercayaan diri. Brand yang sukses harus menunjukkan rasa percaya diri. Tidak ada yang mau memakai produk kelas dua. Orang cenderung percaya pada brand yang tidak sibuk membandingkan dirinya dengan pesaing, tetapi fokus pada peningkatan dirinya sendiri.
Kisah Simon Sinek tentang perbedaan atmosfer antara acara Microsoft dan Apple sangat menggambarkan hal ini. Di Microsoft, pembicaraan banyak berkisar pada bagaimana mengalahkan Apple. Di Apple, justru fokus mereka adalah bagaimana membuat produk lebih baik. Bahkan ketika petinggi Apple diberi tahu bahwa Microsoft punya produk bagus, mereka merespons dengan tenang, tanpa sikap defensif. Kepercayaan diri seperti ini mencerminkan posisi kepemimpinan yang sejati.
Demikian juga dengan Paus Fransiskus. Ia tidak mencaci orang lain, bahkan ketika bertemu tokoh-tokoh yang kerap ia kritik, ia tetap bersikap terbuka dan penuh respek. Dalam dunia branding, ketika brand terlalu sibuk menjelekkan pesaing, justru mereka terlihat tidak percaya diri.
Pelajaran keempat adalah fenomena yang disebut Ben Franklin Effect. Ini adalah efek psikologis di mana seseorang cenderung menyukai orang yang pernah ia bantu. Franklin pernah meminjam buku dari lawan politiknya yang membencinya, dan setelah itu, lawan tersebut justru melunak. Otak manusia cenderung menghindari kontradiksi: kalau kita sudah membantu orang, maka kita terdorong untuk menyukai orang itu agar konsisten dengan tindakan kita.
Paus Fransiskus juga menerapkan hal serupa. Ia sering meminta doa dari orang-orang yang ia temui, termasuk yang sebelumnya bersikap negatif. Permintaan sederhana ini membangun keterikatan. Ini pelajaran penting dalam dunia sales: meminta bantuan atau atensi dengan cara yang sopan bisa membuat calon pelanggan merasa terhubung dan lebih terbuka terhadap produk atau layanan yang kita tawarkan.
Kesimpulannya, banyak hal dari sikap dan tindakan Paus Fransiskus yang bisa dijadikan pedoman untuk kita dalam membangun strategi sales dan marketing: fokus pada solusi, bangun konteks yang relevan, tampil percaya diri, dan ciptakan ikatan emosional yang tulus. Semua itu adalah fondasi dari penjualan dan pemasaran yang beresonansi di hati manusia.
Menarik Untuk Ditonton : Cara Membuat Bisnis Plan
Mau Konsultasi?