Dalam satu tahun terakhir, mendadak muncul “demam padel”. Orang-orang mulai membicarakannya di berbagai WhatsApp Group dan komunitas. Ajakan untuk mencoba pun marak terdengar: “Yuk main, yuk coba.” Tidak sedikit yang setelah mencoba langsung ketagihan, lalu menjadwalkan sesi main berikutnya, meski biaya yang dikeluarkan tidak murah.
Data dari sebuah lembaga riset bahkan menyebutkan bahwa hingga dua tahun ke depan, Indonesia, khususnya Jakarta dan kota besar lainnya, masih akan kekurangan lapangan padel. Tahun ini saja, diperkirakan akan ada 250 lapangan padel baru yang dibangun hanya di Jakarta. Menariknya, menurut teman-teman yang sudah membangun lapangan padel, modal miliaran bisa balik hanya dalam 6–8 bulan. Artinya, animo masyarakat benar-benar besar.
Menarik Untuk Dibaca : IP Bukan Hanya Sekedar Hak Cipta
Apa yang membuat fenomena ini terjadi? Pertama, padel menawarkan kebaruan yang tidak sepenuhnya baru. Saat orang pertama mendengar padel, muncul rasa penasaran, tapi sekaligus ada bayangan karena mirip tenis atau squash. Hal-hal baru yang punya sisi familiar biasanya lebih mudah menarik perhatian: ada rasa penasaran sekaligus rasa aman.
Sebaliknya, sesuatu yang benar-benar baru bisa membuat orang ragu karena takut tidak bisa atau tidak suka, sementara sesuatu yang sepenuhnya familiar cenderung membosankan. Dari sini, pelajaran untuk brand owner adalah menciptakan produk atau kampanye baru yang tetap punya sisi keterhubungan dengan sesuatu yang sudah dikenali konsumen.
Kedua, social drive dan FOMO. Hype padel tumbuh karena jadi bahan obrolan di komunitas, menciptakan social currency. Orang merasa keren ketika bisa relate dengan topik ini. Maka, banyak yang ikut main bukan semata karena olahraganya, melainkan karena dorongan sosial: takut ketinggalan, ingin dianggap keren, dan ingin punya cerita untuk dibagikan. Pelajaran untuk brand: jangan hanya fokus pada formula branding, tapi pikirkan juga bagaimana menciptakan konsensus sosial yang membuat brand dianggap keren, sehingga tercipta efek bola salju lewat FOMO.
Ketiga, low barrier to entry. Padel relatif mudah dimainkan. Tidak seperti golf atau bowling yang membutuhkan latihan teknis tertentu, padel bisa dinikmati sejak awal. Ini penting, karena persepsi positif dari hype harus ditopang oleh pengalaman nyata yang mudah dan menyenangkan. Jika entry barrier terlalu tinggi, orang yang penasaran bisa cepat berhenti. Untuk brand, artinya penting memikirkan sejauh mana konsumen bisa dengan mudah mencoba, merasakan, dan menikmati produk.
Keempat, premium coolness. Padel dianggap keren bukan hanya karena baru, tapi juga karena ada kesan premium. Walau tidak semahal golf, bermain padel tetap bukan aktivitas murah. Justru di situlah daya tariknya: tidak semua orang bisa melakukannya, sehingga memberi kesan eksklusif. Pelajaran untuk brand adalah memahami bahwa harga tinggi tidak selalu menjadi penghalang. Dengan positioning yang tepat, premiumness bisa justru menjadi magnet daya tarik, seperti halnya BMW atau Mercedes yang tetap diinginkan meski banyak alternatif value-for-money lain.
Kelima, scarcity. Lapangan padel yang terbatas membuat hype semakin kuat. Bahkan saat orang sanggup membayar, tidak selalu mudah untuk mendapatkan jadwal main. Kelangkaan ini menambah nilai dan rasa penasaran. Pelajaran untuk brand: terkadang menjaga supply tetap terbatas bisa meningkatkan eksklusivitas dan nilai emosional produk. Banyak restoran legendaris mempertahankan reputasi justru dengan tidak membuka cabang banyak, agar tetap langka dan dicari.
Keenam, collective drive. Motivasi personal sering naik turun. Tapi padel adalah permainan komunitas: bukan hanya soal olahraga, melainkan juga tentang dengan siapa kita bermain. Faktor sosial ini menjaga motivasi untuk terus kembali. Pelajaran untuk brand: penting membangun collective drive melalui community marketing. Brand yang memberi pengalaman kolektif dan komunitas yang saling menjaga motivasi akan memiliki kekuatan lebih besar untuk bertahan.
Kesimpulannya, fenomena hype padel menunjukkan bahwa bisnis dan marketing selalu terkait erat dengan faktor manusia. Dari kombinasi kebaruan dan familiaritas, dorongan sosial, kemudahan akses, kesan premium, kelangkaan, hingga kekuatan komunitas, semua bisa menjadi inspirasi bagaimana brand bisa mempersuasi konsumen dan membuat mereka ketagihan.
Menarik Untuk Ditonton : Cara Membuat Bisnis Plan
Mau Konsultasi?