

Salah satu industri yang cukup menantang sekaligus menarik adalah FMCG (Fast Moving Consumer Goods), terutama kategori snack. Persaingan di industri ini sangat intens, melibatkan marketing budget yang besar dan strategi yang komprehensif. Meski begitu, ada sejumlah pemain yang memiliki strategi menarik dan dapat memberikan pelajaran berharga bagi kita—apa pun kategori produk yang kita jalankan.
Berbicara mengenai FMCG, ini memang salah satu industri yang penuh daya tarik. Banyak marketer yang bercita-cita untuk bekerja di perusahaan FMCG, termasuk saya sendiri. Meskipun belum pernah bekerja langsung di dalamnya, pengalaman saya sebagai konsultan bagi perusahaan FMCG membuat saya belajar banyak. Salah satu hal yang menonjol adalah besarnya anggaran pemasaran yang memungkinkan tim untuk bereksperimen dengan berbagai channel dan strategi. Produk dan merek yang terekspos luas di masyarakat juga menjadi daya tarik tersendiri. Namun di balik itu semua, industri ini tidaklah mudah, terutama untuk produk dengan tingkat involvement rendah—seperti snack.
Menarik Utuk Dibaca : Belajar Marketing Dari Padel Trends
Mengapa kategori snack sulit? Karena pada umumnya, snack tergolong produk low involvement, yaitu produk yang keputusan pembeliannya tidak membutuhkan waktu pertimbangan panjang. Pembelian dilakukan secara impulsif karena risikonya rendah, harganya murah, dan dianggap tidak terlalu penting. Coba perhatikan kebiasaan orang membeli snack—kebanyakan keputusan diambil di tempat, misalnya di supermarket. Pembelian bersifat spontan, dan kalau pun rasanya tidak sesuai ekspektasi, konsumen tidak terlalu menyesal. Mereka bahkan tetap akan melakukan pembelian impulsif lagi di kesempatan berikutnya.
Dengan karakteristik pembelian seperti itu, strategi pemasaran snack umumnya berfokus pada awareness. Kesadaran merek menjadi hal yang krusial karena keputusan pembelian lebih didorong oleh emosi ketimbang rasionalitas. Namun, berbicara tentang emosi tidak bisa hanya berhenti di klaim “enak”, karena semua produk snack pasti mengklaim hal yang sama. Klaim tersebut tidak cukup membedakan satu merek dari yang lain.
Beberapa merek mencoba menarik perhatian dengan hadiah tambahan, seperti mainan atau stiker, namun satu hal yang tidak bisa ditawar dalam bisnis snack adalah distribusi. Produk harus tersedia di mana-mana karena dari situlah awareness terbentuk. Strategi lain yang lazim digunakan adalah sampling, agar target konsumen bisa mencoba langsung produknya.
Namun, kedua strategi tersebut memiliki kelemahan. Pertama, awareness sangat bergantung pada spending. Ketika pengeluaran iklan menurun, awareness juga ikut turun, kecuali merek sudah mencapai tipping point, di mana penurunan spending tidak terlalu berpengaruh. Mencapai titik itu butuh waktu panjang dan biaya besar, serta sulit dipertahankan. Kedua, strategi hadiah biasanya hanya efektif dalam jangka pendek karena konsumen cepat bosan.
Meski demikian, beberapa merek besar berhasil memiliki awareness dan consideration yang lebih berkelanjutan dengan strategi yang menarik.
Secara rasa, Oreo mungkin tidak jauh berbeda dengan produk sejenis—hanya manis seperti kebanyakan biskuit cokelat. Namun Oreo menciptakan ritual unik: diputar, dijilat, dan dicelup. Ritual ini dikomunikasikan secara konsisten dan menjadi bagian dari pengalaman konsumsi yang menyenangkan, terutama bagi anak-anak. Dengan demikian, Oreo tidak hanya menjual rasa, tetapi juga pengalaman bermain saat makan. Menariknya, meski Oreo tidak menjual susu, mereka berhasil memosisikan susu sebagai media celup yang mendukung ritual tersebut. Hasilnya, brand awareness Oreo tetap kuat bahkan saat media spending berkurang drastis.
KitKat mengambil pendekatan berbeda. Secara produk, KitKat tidak jauh berbeda dari cokelat lainnya. Namun KitKat berhasil menguasai satu momen konsumsi yang sangat relevan, yaitu break—saat jeda dari aktivitas. Slogannya, “Have a break, have a KitKat,” menjadi sangat kuat dan konsisten. Bentuk produk yang mudah dipatahkan juga mendukung occasion ini, karena cocok dibagi bersama teman. KitKat berhasil own momen “break time” secara konsisten, dan inilah yang membuatnya menonjol di tengah kompetisi produk sejenis.
Meskipun tergolong minuman, perilaku konsumsinya sangat mirip dengan snack. Rasanya hampir sama dengan pesaing seperti Pepsi atau merek lainnya. Namun Coca-Cola memiliki kekuatan utama: konsistensi dalam pesan emosional. Sejak dulu, Coca-Cola selalu mengasosiasikan produknya dengan happiness, togetherness, dan celebration. Iklannya selalu menampilkan orang tersenyum, momen kebersamaan, pesta, atau perayaan besar seperti Piala Dunia dan Olimpiade. Konsistensi ini membuat Coca-Cola menjadi bagian dari momen sosial: nongkrong, nonton bola, dan acara keluarga. Akhirnya, Coca-Cola menjadi merek yang tertanam secara emosional dalam berbagai occasion kebersamaan.
Kategori energy drink sangat sulit dibedakan secara rasional karena klaim manfaatnya mirip satu sama lain. Namun Red Bull berhasil menonjol dengan mengasosiasikan dirinya dengan dunia ekstrem. Mereka sangat konsisten mendukung berbagai ajang extreme sports, hingga identitas merek mereka terasa menyatu dengan aktivitas tersebut. Meskipun occasion-nya tidak umum, Red Bull berhasil membangun citra keren, energik, dan berani—yang memberikan alasan emosional bagi konsumen untuk memilihnya.
Pocari Sweat juga berada di kategori yang mirip-mirip secara rasa dan fungsi. Sulit membuktikan klaim “mengganti cairan tubuh lebih baik” dibanding merek lain. Karena itu, Pocari memilih untuk menguasai satu aktivitas besar yang relevan secara emosional dan fungsional, yaitu lari. Mereka konsisten menjadi sponsor dan penyelenggara berbagai event lari, serta selalu menampilkan warna biru khas Pocari dalam semua materi promosi. Konsistensi ini membuat Pocari berhasil own momen olahraga, terutama running occasion.
Sebagai perbandingan, Citato dengan kampanye “Life is Never Flat” sebenarnya punya niat baik untuk own keunikan produk—tekstur bergelombang. Namun sayangnya, pesan tersebut tidak relevan dengan aktivitas atau kebiasaan konsumsi. Tidak ada occasion spesifik, tidak ada ritual konsumsi, dan konsistensinya pun kurang kuat. Akibatnya, pesan kampanye ini tidak sekuat merek-merek seperti Oreo, KitKat, atau Coca-Cola yang mampu menanamkan pengalaman emosional dan relevansi aktivitas ke dalam produk.
Untuk produk low involvement dengan product differentiator yang tidak begitu jelas, persaingan akan berujung pada perang awareness. Namun awareness tidak bisa hanya bergantung pada media spending, karena ketika anggaran berhenti, dampaknya akan langsung terasa. Maka, merek perlu memiliki sesuatu yang relevan dengan kebiasaan konsumsi (consumption habit)—baik itu occasion, aktivitas, atau ritual tertentu—yang dapat terus memperkuat brand association bahkan ketika kampanye berhenti.
Kuncinya adalah konsistensi. Membangun asosiasi yang kuat tidak bisa terjadi dalam semalam. Tapi jika dilakukan secara konsisten dan relevan, hasilnya akan bertahan lama dan memberi keunggulan kompetitif yang sulit disaingi. Inilah pelajaran penting dari para jagoan FMCG yang bisa diterapkan di banyak kategori produk lain.
Menarik Untuk Ditonton : Cara Bangun Branding
Mau Konsultasi?