
Banyak orang menganggap B2B dan B2C sebagai dua dunia yang benar-benar berbeda. Hal ini terlihat dari iklan lowongan pekerjaan yang mensyaratkan pengalaman khusus B2B atau khusus B2C. Akibatnya, persepsi yang terbentuk adalah bahwa kedua ranah ini membutuhkan ilmu dan keterampilan yang berbeda secara ekstrem. Padahal, perbedaan tersebut tidak sepenuhnya benar. Ada bagian yang sebenarnya hanya merupakan shortcut thinking, bukan realitas strategis.
Marketing pada dasarnya adalah upaya mempersuasi manusia. Sementara itu, pelanggan B2B dan B2C tetaplah manusia yang sama, hanya berbeda konteks: seseorang bisa membeli layanan konsultasi untuk perusahaannya (B2B), sekaligus membeli mobil untuk keperluan pribadi (B2C). Esensi perilaku manusianya tidak berubah, sehingga prinsip fundamental marketing tetap relevan untuk keduanya.
Ada dua penyebab utama:
Sebagian orang perform baik di B2B atau B2C hanya karena terbiasa dengan pola kerja tertentu. Mereka menjalankan metode yang diwariskan senior atau template yang sudah ada tanpa memahami mengapa pendekatan itu digunakan. Akibatnya, ketika pindah konteks, mereka kebingungan karena hanya mengandalkan hafalan, bukan pemahaman.
Di B2C, marketing umumnya bekerja di belakang layar—fokus pada strategi, branding, komunikasi, dan content.
Di B2B, banyak perusahaan mencampur-marketing dengan sales sehingga marketer sering ditempatkan di depan layar bertemu klien. Ini membutuhkan kemampuan komunikasi, negosiasi, dan presence yang berbeda dari pekerjaan back-office. Karena kompetensi ini tidak dimiliki semua orang, perpindahan dari B2C ke B2B (atau sebaliknya) terasa sulit.
Brand diciptakan untuk menghindari komoditisasi. Tanpa brand, semua produk dianggap sama sehingga harga menjadi satu-satunya faktor pembeda. Hal ini berlaku baik di B2C maupun B2B. Brand adalah kumpulan persepsi dan asosiasi yang melekat pada nama kita—bahkan asosiasi itu bisa terbentuk tanpa kita menyadarinya.
Contoh sederhana adalah bias terhadap nama seseorang. Nama “Andrea” mungkin terasa modern, sementara nama “Sukoco” diasosiasikan dengan sesuatu yang lebih tua. Padahal kualitas orangnya belum tentu berbeda. Itulah kekuatan asosiasi, dan hal yang sama terjadi pada brand perusahaan.
Brand di B2B sama krusialnya dengan brand di B2C. Contohnya, seseorang lebih responsif terhadap pesan dari “Google” dibanding dari perusahaan konsultan kecil bernama “Conversion”, meskipun kualitas layanannya belum tentu kalah.
Jika layanan Anda selalu ditawar, atau leads lebih sedikit dari kompetitor, kemungkinan besar masalahnya adalah brand, bukan sales.
Selain corporate brand, dunia B2B sering mengandalkan personal brand pendiri atau tim yang berhadapan dengan klien. Tidak heran banyak firma konsultan dan kantor hukum menggunakan nama pendirinya.
Namun personal brand juga berperan besar di B2C—contohnya Tesla dengan Elon Musk, Apple dengan Steve Jobs, atau Virgin dengan Richard Branson. Maka, di B2B maupun B2C, formula brand tetap sama: bangun positioning, tentukan asosiasi, bentuk karakter, dan konsisten menjalankannya.
Menarik untuk Dibaca : Elon Musk Tantang Microsoft
Brand formula adalah dasar dari pembangunan brand. Terdiri dari:
Positioning: ingin dikenal sebagai apa?
Asosiasi: gambaran mental apa yang ingin dibangun?
Karakter: gaya, tone, atau personality yang ingin ditonjolkan.
Tanpa formula, brand bisa saja terbentuk, tetapi arah dan konsistensinya sulit dijaga. Dengan formula, perusahaan memiliki pegangan yang jelas.
Brand tidak cukup hanya dirumuskan. Ia harus diamplifikasi melalui berbagai kanal yang tersedia. Terutama di era digital saat ini, B2B memiliki kesempatan besar untuk membangun brand melalui:
konten edukasi,
case study,
podcast,
LinkedIn,
webinar.
Tujuannya adalah memperkuat asosiasi yang sudah didefinisikan dalam formula brand.
Brand trigger adalah hal-hal kecil yang membuat brand selalu diingat.
Contoh klasik adalah Joe Girard, salesman legendaris yang rutin mengirim ucapan selamat kepada klien untuk berbagai momen. Kini brand trigger bisa dilakukan lewat media sosial, email, atau aktivitas engagement lain. Intinya: jaga agar brand tetap muncul dan relevan dalam keseharian audiens.
Secara fundamental, B2B dan B2C memiliki banyak kesamaan. Yang membedakannya hanyalah konteks, bukan esensi.
Jika seseorang bisa sukses di satu bidang namun gagal ketika pindah ke bidang lain, besar kemungkinan ia tidak memahami dasar-dasar marketing atau ia tidak siap dengan perbedaan peran di lapangan.
Brand tetap menjadi faktor kunci di kedua ranah, dan prinsip-prinsipnya tetap sama: rumuskan, amplifikasi, dan ciptakan brand trigger.
Menarik Untuk Ditonton : Strategi Mengambangkan Bisnis
Mau Konsultasi?