Apa sih sebenarnya branding itu? Belakangan ini, istilah personal branding sering banget berseliweran di media sosial. Seolah-olah kalau kita mau sukses di era internet, kita harus bisa mem-branding diri sekeren mungkin agar bisa jualan produk sendiri. Tapi, banyak juga dari kita yang merasa skeptis. Kenapa sekarang semua hal dikaitkan dengan personal branding, self-proclaim, atau bahkan flexing?
Untuk menjawab semua kegelisahan ini, saya memberanikan diri bertemu dengan salah satu pakar branding terkemuka di Indonesia, Pak Subiakto, yang sudah lebih dari 50 tahun berkecimpung di dunia branding. Beliau adalah sosok di balik banyak brand besar seperti Kopiko, bahkan juga pernah terlibat dalam kampanye kepresidenan. Melalui pertemuan selama 40 menit, perspektif saya tentang branding berubah total.
Awalnya saya juga berpikir branding hanyalah soal logo, warna, atau tipografi. Bagi yang berpikir lebih kritis mungkin melihat branding sebagai janji, reputasi, atau kesan. Tapi ternyata branding jauh lebih dalam dari itu.
Menarik Untuk Dibaca : Jebakan Networking
Branding, menurut beliau, adalah kebenaran baru yang dibentuk secara kognitif di benak konsumen—bukan lagi soal menunjukkan produk secara literal, melainkan bagaimana kita membentuk persepsi yang bisa dirasakan, dimaknai, bahkan diulang-ulang hingga menjadi fakta baru. Di sinilah personal branding menemukan relevansinya.
Dulu sudah ada Ayam Suharti atau Gudeg Yu Djum yang pada dasarnya adalah si pemilik dalam bentuk produk. Jadi personal branding bukan hal baru—hanya saja sekarang diperkuat oleh media sosial. Personal branding bukan hanya soal membangun citra, tapi memahami bahwa produk kita merepresentasikan siapa diri kita. Maka penting untuk bertanya: siapa diri kita dan produk seperti apa yang bisa menggambarkan kita?
Lebih jauh, beliau menjelaskan bahwa branding telah berkembang dari 1.0 hingga 6.0. Mulai dari fokus pada produk, manfaat, hingga menciptakan komunitas dan pengalaman yang imersif dan personal. Di era 6.0, pendekatan branding harus mampu menjawab keunikan setiap individu dengan pendekatan yang sangat customized. Maka strategi branding harus dimulai dengan memahami hasil akhir yang kita inginkan (reverse engineering), lalu membentuk nilai tambah yang spesifik untuk pasar. Branding yang kuat menciptakan kebiasaan baru, yang jika dilakukan berulang menjadi ritual, dan akhirnya membentuk persepsi sebagai kebenaran baru.
Dalam membangun brand, banyak orang ingin langsung viral. Tapi Pak Subiakto menekankan bahwa viral itu tidak penting jika tidak menimbulkan network effect. Viral yang sehat adalah yang menciptakan efek berantai—dari berbagi, terus digunakan, hingga menciptakan loyalitas. Konten yang berdampak adalah yang memahami algoritma manusia, seperti ketakutan kehilangan, rasa penasaran, kejutan, dan jatuh cinta. Konten yang menyentuh emosi ini akan lebih mengena jika disampaikan dengan storyting (cerita yang meninggalkan kesan), bukan sekadar telling story (cerita yang hanya bercerita).
Beliau juga menyinggung soal flexing di media sosial. Menurutnya, flexing itu subjektif. Buat orang yang tidak mampu membeli, itu terlihat pamer. Tapi bagi yang mampu, itu biasa saja. Karena branding sejatinya adalah pandangan intersubjektif, gabungan dari objektivitas si penjual dan subjektivitas si pembeli.
Produk kita bisa saja terbukti bagus secara teknis, tapi pengalaman konsumen tetap bisa berbeda tergantung kondisi emosional dan konteks mereka saat itu. Ini mengajarkan kita bahwa branding tidak bisa dikendalikan sepenuhnya oleh pembuat produk—ia terbentuk dari interaksi dua sisi.
Menariknya, Pak Subiakto juga menyoroti pentingnya komitmen dalam pembelajaran. Dahulu ia memberikan workshop gratis ke berbagai kota, namun dampaknya minim karena peserta tidak merasa memiliki komitmen. Tapi saat mulai berbayar, hasilnya berubah karena orang mulai menghargai informasi dan benar-benar menyerap ilmunya. Ini menjadi pelajaran penting: bahwa dalam menyebarkan nilai, komitmen dari audiens itu penting.
Akhirnya, branding bukan sekadar quick win atau viral semalam. Branding adalah permainan jangka panjang, long game. Maka kalian yang baru mulai harus siap belajar dan menempuh proses panjang, memahami siapa diri kalian, produk apa yang kalian tawarkan, nilai tambahnya, serta bagaimana menciptakan persepsi yang bisa diulang hingga menjadi fakta baru. Branding bukan tentang memanipulasi, tapi membentuk kepercayaan dan kebiasaan.
Untuk belajar lebih dalam, Pak Subiakto bahkan telah menyiapkan blueprint berupa 15 langkah membangun brand dari pengalaman 50 tahun beliau. Jadi kalau kamu serius ingin memahami branding dan personal branding, sekarang saatnya belajar dengan sungguh-sungguh. Bukan karena ingin tampil keren, tapi karena kamu ingin produknya kamu benar-benar memberikan dampak.
Menarik Untuk Ditonton : Cara Membuat Bisnis Plan
Mau Konsultasi?