Salah satu alasan AI berkembang begitu cepat adalah karena pengguna bisa belajar dengan sangat mudah. Cukup coba, lihat hasilnya, lalu modifikasi jika belum sesuai. Alasan lainnya, hasil rekomendasi dari AI sering kali terlihat sangat komprehensif, bahkan melebihi pengetahuan kita sendiri. Dan di sinilah bahayanya. Ketika jawaban-jawaban AI terdengar sangat masuk akal dan lengkap, banyak orang mulai menuhankan AI—seolah-olah AI adalah jawaban dari semua pertanyaan yang selama ini belum terpecahkan. Padahal, benarkah AI bisa menjawab semua pertanyaan secara akurat? Saya rasa tidak.
Bias seperti ini sebenarnya wajar. Analoginya seperti ketika kita dikenalkan kepada seseorang bernama Ahmad Imron—alias “AI”—oleh teman-teman yang bilang bahwa si Imron ini tahu segalanya. Awalnya kita mungkin ragu, tapi setelah beberapa kali bertanya dan mendapatkan jawaban yang komprehensif, kita mulai percaya. Kita pun mulai bertanya lebih banyak dan jawaban-jawabannya terdengar masuk akal. Masalahnya, bagaimana kita bisa tahu apakah saran yang diberikan itu benar atau tidak, apalagi kalau kita merasa “kalah” dari AI dalam hal pengetahuan?
Saya pribadi punya rasa penasaran soal seberapa akurat dan reliable jawaban AI. Bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk tahu batasan: kapan kita bisa percaya dan kapan harus tetap kritis. Cara pertama yang saya lakukan adalah menanyakan hal-hal yang jawabannya saya sudah tahu dengan pasti, terutama di bidang yang saya kuasai. Tujuannya untuk menguji bagaimana kualitas jawaban AI. Hasilnya? Banyak jawaban normatif. Tidak salah, tapi juga tidak tajam atau spesifik.
Menarik Untuk Dibaca : Jebakan Networking
Rasa penasaran saya semakin besar. Saya mulai menanyakan kepada ChatGPT, DeepSeek, dan Gemini tentang bagaimana mereka bekerja. Saya bertanya, “Kamu tuh bekerjanya gimana? Dari mana kamu dapat jawaban?” Mereka menjelaskan bahwa mereka dilatih dengan jutaan dokumen—dari jurnal ilmiah, buku, artikel, media sosial, opini konsumen, Wikipedia, hingga forum seperti Reddit dan Quora. Mereka mempelajari pola, mengenali makna, dan menarik kesimpulan berdasarkan seberapa sering sesuatu disebutkan dan dikaitkan.
Lalu saya beri mereka pertanyaan kasus: “Saya adalah pemilik brand KFC di Indonesia, dan ingin bersaing dengan McD. Apa yang harus saya lakukan?” Mereka menjawab dengan strategi: fokus pada menu lokal seperti ayam geprek dan nasi uduk, maksimalkan kerja sama dengan ojek online, dan perkuat storytelling brand melalui budaya lokal. Kedengarannya masuk akal. Tapi ketika nama brand saya ganti jadi “Roasted Chicken Bang Untung”, usulannya tetap sama. Artinya, jawaban tersebut cukup generik.
Ketika saya dalami lagi, muncul saran yang terdengar lebih detail: memperkuat DNA lokal, menggunakan aplikasi self-ordering, branding emosional yang dekat dengan keluarga Indonesia, efisiensi layanan, dan memperluas area nongkrong. Tetap saja, meski logis dan masuk akal, ini belum tentu spesifik. Cara mengujinya: apakah usulan ini bisa dipakai brand lain? Jika iya, maka jawabannya masih generik, belum kontekstual.
Saya juga tanya kepada mereka tentang keterbatasan mereka. Jawabannya jelas: mereka tidak punya akses ke dokumen non-publik, dan mereka dibatasi oleh cut-off period. ChatGPT misalnya, hanya mempelajari data sampai pertengahan 2024. DeepSeek sampai pertengahan 2023. Gemini tidak menyebut tanggal pasti. Selain itu, mereka mengakui kesulitan dalam menjawab hal-hal yang bersifat emosional, unik, tidak berulang, atau berhubungan dengan masa depan—karena mereka hanya bisa membuat prediksi dari data masa lalu yang berpola.
Lalu kenapa masih banyak orang yang langsung percaya pada jawaban AI? Dua alasan utama: spotlight bias dan comprehensive bias. Spotlight bias adalah kecenderungan merasa diri kita adalah pusat dari perhatian atau jawaban. Jadi ketika AI memberikan jawaban yang terasa “pas” dengan situasi kita, kita merasa itu pasti spesifik untuk kita. Padahal bisa jadi jawaban itu juga cocok untuk brand lain. Lalu comprehensive bias adalah kecenderungan kita menganggap bahwa jawaban panjang dan rinci pasti benar. Kita terbiasa berpikir begitu sejak sekolah: jawaban yang paling panjang biasanya dianggap paling benar. Tapi justru ketika seseorang terlalu berusaha menjelaskan secara panjang lebar, bisa jadi itu justru tanda kebohongan atau ketidakyakinan.
AI memang punya pengetahuan luas, tapi ada perbedaan antara tahu banyak dan tahu cara menyelesaikan masalah spesifik. Jawaban yang komprehensif tidak selalu berarti benar. Maka kita perlu tahu cara menempatkan AI. Pertama, jadikan AI sebagai teman brainstorming, bukan pemberi keputusan. Gunakan AI untuk membuka opsi, bukan menentukan arah. Sebab, kita yang tahu konteks dengan lebih lengkap. Tapi untuk bisa memilih opsi terbaik, kita pun harus memahami teori dan logika dari masalah yang sedang kita hadapi.
Kedua, prinsip garbage in, garbage out berlaku. Jawaban AI sangat bergantung pada prompt kita. AI bukan cenayang. Dia bisa memberi jawaban spesifik hanya jika informasi yang kita berikan juga spesifik. Tantangan terbesarnya bukan hanya mencari solusi, tapi mengidentifikasi penyebab masalah (contributing factors). Dan dalam dunia bisnis, penyebab sering kali kompleks dan tidak selalu bisa diukur secara akurat. Maka ketika kita tidak bisa mengidentifikasi masalahnya dengan baik, AI pun tidak bisa memberi solusi yang akurat.
Jadi, kesimpulannya: banyak hal yang bisa kita manfaatkan dari AI untuk membantu pekerjaan kita. Tapi kita harus tahu batasannya. Jangan over-reliance. AI bisa jadi sangat membantu, tapi tetap bergantung pada pengetahuan dan kemampuan kita dalam memahami konteks. Jangan menuhankan AI. Dia bukan bos kita, bukan guru kita. Dia hanya alat bantu. Keputusan tetap di tangan kita—yang paham realita, emosi, dan dampak nyata dari setiap keputusan.
Menarik Untuk Ditonton : Strategi Mengembangkan Bisnis Kuliner
Mau Konsultasi?