Tips Bisnis ~ Biasanya, kalau ada orang yang mengundang saya berbicara tentang “Jal”, itu tidak jauh dari Agile Product Development, Lejel Innovation, atau Eagle Organization. Namun, hampir tidak pernah ada yang mengajak berdiskusi tentang Lejel Marketing. Padahal, kita tahu bahwa kesuksesan sebuah bisnis sangat ditentukan oleh upaya marketing. Aneh rasanya jika di era sekarang kita tidak membahas marketing dalam sudut pandang Agile. Dunia terus bergerak cepat, pelanggan pun berubah seiring waktu. Ekspektasi dan preferensi mereka sudah sangat berbeda dari sebelumnya.
Jika kita masih menjalankan marketing dengan cara tradisional, kita akan kesulitan mengikuti perubahan pasar dan pelanggan yang begitu dinamis. Ini berbahaya, terutama jika ada pesaing yang lebih cepat dalam mendeteksi perubahan tersebut dan mampu menangkap kebutuhan baru yang sebelumnya tidak ada. Setelah pandemi dan berbagai disrupsi, kebutuhan serta preferensi pelanggan berkembang pesat. Jika kita masih terpaku pada pendekatan tradisional, kecil kemungkinan kita bisa menangkap sinyal perubahan ini, apalagi meresponsnya sebagai peluang untuk mendapatkan keunggulan kompetitif di pasar. Oleh karena itu, saatnya kita membahas Agile Marketing. Ini adalah momen yang tepat untuk memulai diskusi yang lebih dalam dan luas tentang topik ini.
Waktu saya hanya 15 menit, jadi saya akan berbicara secara ringkas dan di permukaan. Namun, saya harap ini bisa menjadi pemicu diskusi lebih lanjut. Siapa tahu, nanti kita bisa berdiskusi lebih dalam secara langsung. Sebelum membahas Agile Marketing, mari kita pahami dulu bagaimana pendekatan tradisional dalam marketing. Biasanya, menjelang akhir tahun atau sebelum peluncuran produk baru, tim marketing akan merancang strategi besar yang bisa memakan waktu enam bulan hingga satu tahun. Dengan hasil riset yang ada serta ide-ide kreatif dari para ahli, mereka menyusun rencana pemasaran yang matang. Sebelum eksekusi, mereka mengadakan Focus Group Discussion (FGD) dengan perwakilan pelanggan atau segmen target untuk mendapatkan insight. Setelah dilakukan penyesuaian berdasarkan hasil FGD, strategi pun siap diluncurkan.
Peluncuran ini dilakukan secara besar-besaran dengan anggaran besar, melibatkan agensi kreatif terbaik, media massa, hingga tokoh terkenal. Kampanye ini biasanya berlangsung secara bertahap dan dalam periode tertentu. Selama pelaksanaan, mereka juga mengukur seberapa besar daya tarik dan efektivitas kampanye tersebut. Pada akhir program, yang bisa berlangsung hingga enam atau dua belas bulan, dilakukan evaluasi untuk mengetahui keberhasilan strategi tersebut dan menjadi dasar bagi strategi berikutnya.
Menarik Untuk Dibaca : AI Untuk Penjualan UMKM
Masalah dari pendekatan tradisional ini adalah rentang waktu eksekusinya yang panjang. Dalam enam bulan, banyak hal bisa berubah—teknologi baru muncul, pesaing baru masuk, atau pasar bergeser akibat situasi tak terduga. Akibatnya, strategi yang sudah dirancang dengan baik bisa menjadi tidak relevan, tetapi tetap dijalankan karena anggaran dan rencana sudah dikunci sejak awal. Ini bisa mengakibatkan pemborosan sumber daya, baik dari segi uang maupun waktu, karena medan pertempuran telah berubah tetapi strateginya tetap sama. Seharusnya, kita bisa lebih cepat beradaptasi dengan perubahan tersebut. Sayangnya, pendekatan tradisional sulit untuk melakukan penyesuaian di tengah jalan.
Inilah mengapa Agile Marketing menjadi lebih relevan dalam kondisi saat ini. Lalu, seperti apa Agile Marketing itu?
Yuk kita bandingkan nanti antara metode tradisional dengan Agile Marketing. Saya akan menghilang sebentar. Kita memulai digital marketing bukan dari menyusun anggaran 100 juta langsung, melainkan dari strategi terlebih dahulu. Strateginya tidak perlu lengkap seperti buku tebal yang tinggal dieksekusi selama enam bulan, tapi cukup dengan memahami target segmen, channel yang digunakan, pesan yang cocok, serta bagaimana cara membuat mereka tertarik mencoba produk kita. Ini semua kita kumpulkan sebagai hipotesa untuk memulai proses marketing, tanpa perlu penelitian panjang yang sangat rinci. Yang penting, kita tahu siapa yang kita sasar, pesan apa yang disampaikan, dan bagaimana cara menarik minat mereka.
Dalam merumuskan strategi ini, kita mulai dengan pemahaman yang mendalam tentang target market. Cukup sederhana, tidak perlu berlebihan. Periode perencanaannya bisa berkisar antara dua minggu hingga satu bulan. Setelah itu, dilakukan peluncuran awal dalam skala kecil sebagai siklus percobaan untuk mengukur efektivitas pendekatan yang kita gunakan. Dalam dua hingga empat minggu, kita mengukur hasilnya: apakah pesan yang kita gunakan efektif? Apakah channel yang kita pilih sudah tepat? Apakah ada kesalahan dalam alokasi anggaran? Dari sini, kita mendapatkan insight untuk menyesuaikan strategi. Jika channel yang digunakan ternyata tidak efektif, kita bisa berpindah ke channel lain. Jika pesan yang disampaikan kurang kuat, kita bisa mengubah pendekatan komunikasi.
Proses ini bersifat iteratif. Kita terus melakukan eksperimen dalam siklus pendek, misalnya dua hingga empat minggu, dengan area geografis yang terbatas. Dari setiap iterasi, kita mendapatkan pemahaman yang lebih tajam mengenai segmen pasar, psikografi pelanggan, serta strategi yang lebih optimal. Dengan pendekatan ini, kita bisa lebih cepat menyesuaikan diri terhadap perubahan pasar. Jika dalam bulan keempat terjadi perubahan besar di pasar, kita bisa langsung merespons karena kita sudah terbiasa dengan ritme iterasi cepat ini.
Inilah yang dimaksud dengan agile marketing. Agile marketing memungkinkan perusahaan untuk bergerak cepat, bereksperimen, dan melakukan penyesuaian strategi secara real-time. Berbeda dengan pendekatan tradisional yang membuat perencanaan lengkap dan dieksekusi dalam enam bulan tanpa perubahan berarti, agile marketing terus belajar dan beradaptasi dengan kondisi pasar yang dinamis.
Tiga ciri utama dari agile marketing adalah:
Customer-Driven
Semua strategi dan program marketing harus digerakkan oleh pelanggan. Kita tidak membuat iklan hanya karena menurut kita keren, tetapi berdasarkan pemahaman mendalam tentang kebutuhan pelanggan. Ini berarti setiap keputusan harus berdasarkan data, bukan asumsi. Kita tidak bisa hanya mengandalkan Focus Group Discussion (FGD) kecil dan langsung merasa yakin. Sebaliknya, kita harus menguji hipotesa di lapangan dengan meluncurkan produk dalam skala kecil, mengukur reaksi pelanggan, dan mengidentifikasi mana strategi yang benar-benar efektif.
Flexible and Creative
Strategi marketing harus fleksibel, tidak ditulis seperti prasasti di batu. Seiring berjalannya waktu, strategi bisa berubah berdasarkan data dan insight baru. Kreativitas juga menjadi elemen penting karena kita perlu mencoba pendekatan baru, bereksperimen dengan strategi yang belum pernah dilakukan sebelumnya, dan siap belajar dari setiap iterasi.
Iterative and Accountable
Agile marketing bersifat iteratif, artinya prosesnya berulang-ulang dalam skala kecil dan cepat. Setiap hari, kita mengukur apa yang berhasil dan apa yang tidak. Evaluasi tidak dilakukan setiap enam bulan, tetapi setiap hari atau setiap minggu. Selain itu, semua orang dalam tim harus memiliki tanggung jawab terhadap keberhasilan program marketing, termasuk tim IT, legal, bisnis, dan operasional. Bukan hanya tim marketing yang peduli, tetapi semua departemen harus merasa memiliki kepentingan dalam keberhasilan strategi ini.
Jika dibandingkan dengan marketing tradisional, ada beberapa perbedaan utama:
Perencanaan dan eksekusi
Marketing tradisional membutuhkan waktu lama untuk merancang strategi (bisa sampai enam bulan) dan hanya melakukan sedikit iterasi setelah eksekusi. Agile marketing bersifat terus-menerus dan tidak memiliki batas waktu eksekusi yang pasti.
Evaluasi
Dalam marketing tradisional, evaluasi dilakukan setiap semester. Agile marketing melakukan evaluasi setiap hari untuk memastikan strategi selalu relevan dan up-to-date.
Anggaran
Anggaran dalam marketing tradisional biasanya bersifat fixed dan rigid. Dalam agile marketing, anggaran lebih fleksibel dan bisa disesuaikan berdasarkan hasil yang diperoleh dari iterasi sebelumnya.
Fokus utama
Marketing tradisional sering kali fokus pada artefak seperti iklan, jingle, dan event besar. Agile marketing lebih fokus pada value-driven content yang benar-benar memberikan manfaat bagi pelanggan. Saat ini, konsumen semakin skeptis terhadap klaim bombastis dan lebih tertarik pada brand yang benar-benar memberikan solusi untuk masalah mereka.
Sebagai contoh, dalam dunia digital marketing, kita bisa melihat bagaimana channel YouTube berkembang. Ketika sebuah channel baru dibuat, subscriber awal mungkin hanya 12 orang per hari. Namun, dengan membaca komentar, melakukan iterasi pada konten dan cara penyampaian, channel bisa berkembang lebih cepat. Daripada membayar iklan mahal untuk promosi tanpa kepastian, lebih baik fokus pada peningkatan konten dan memberikan value nyata bagi audiens.
Banyak perusahaan besar saat ini menggunakan agile marketing untuk mendesain dan mengembangkan produk mereka. Perusahaan yang menerapkan agile marketing dapat tumbuh empat kali lebih cepat dibandingkan perusahaan yang masih menggunakan pendekatan tradisional. Dengan pendekatan ini, perusahaan bisa lebih cepat menangkap perubahan pasar, beradaptasi dengan kondisi baru, dan memberikan solusi terbaik bagi pelanggan.
Menarik Untuk Ditonton : Tips Ampuh Membuat Catatan Keuangan
Mau Konsultasi?