
Sejak peluncuran ChatGPT, pasar teknologi mengalami euforia luar biasa. Harga saham sektor teknologi meroket, proposal proyek AI memenuhi ruang rapat, dan startup AI kebanjiran modal. Fenomena ini meluas hingga Indonesia, dari BUMN hingga UMKM. Namun, di tengah antusiasme global tersebut, Sam Altman—CEO OpenAI—justru memberi peringatan keras bahwa ekspektasi pasar bergerak terlalu cepat dan bisa menyerupai gelembung dot-com. Menurutnya, teknologi AI memang fundamental, tetapi respons pasar telah melampaui kewajaran.
Kekhawatiran ini juga disampaikan tokoh-tokoh penting seperti Joseph Tsai (Alibaba), Ray Dalio (Bridgewater), hingga Torsten Slok (Apollo). Slok bahkan menyebut valuasi perusahaan AI saat ini bisa melampaui skala gelembung dot-com, karena harga banyak perusahaan berdiri di atas ekspektasi, bukan kinerja nyata. Cerita tumbuh lebih cepat daripada capaian.
Euforia AI dipicu oleh kenaikan valuasi luar biasa. Nilai pasar saham AS naik sekitar USD 21 triliun sejak akhir 2022, didorong segelintir perusahaan seperti Nvidia, Amazon, dan Broadcom. Namun, laporan MIT menunjukkan bahwa 95% perusahaan yang telah berinvestasi dalam AI belum merasakan keuntungan signifikan. Belanja USD 30 miliar dalam lebih dari 300 proyek AI masih menghasilkan dampak terbatas karena implementasi yang banyak berfokus pada gimik pemasaran, bukan efisiensi operasional.
Beberapa sinyal perlambatan muncul. Meta menghentikan perekrutan besar-besaran di sektor AI, mengundang pertanyaan mengenai stamina investasi global. Rilis GPT-5 yang tidak memenuhi ekspektasi memperkuat keraguan publik, bahkan mendorong kembalinya akses GPT-4 bagi pengguna berbayar. Konsentrasi risiko juga meningkat—tujuh raksasa teknologi kini menguasai lebih dari sepertiga indeks S&P 500, jauh melampaui puncak era dot-com. Ketika sentimen berubah, dampaknya bisa meluas dengan cepat.
Pola klasik gelembung tampak jelas. Pergeseran dimulai ketika ChatGPT mempopulerkan AI layaknya Mosaic pada era internet. Ledakan terjadi saat Microsoft menyuntik dana besar ke OpenAI, memicu Google meluncurkan Bard secara terburu-buru. Ratusan startup AI bermunculan, modal meluap, dan pabrik chip berekspansi besar-besaran. Kini kita berada di fase euforia, dengan proyek-proyek masif seperti proposal dana USD 7 triliun untuk membangun AGI dan superkomputer Stargate senilai USD 100 miliar. Semua itu masih bertumpu pada keyakinan, bukan realisasi.
Menarik Untuk Dibaca : Implementasi Ulul Albab Dalam Bisnis
Meskipun demikian, tidak semua tanda mengarah pada kehancuran besar. Perusahaan inti AI seperti Nvidia dan Microsoft benar-benar menghasilkan keuntungan besar, didukung arus kas kuat dan produk dengan adopsi luas. Rasio valuasi terhadap laba juga masih lebih sehat dibandingkan era dot-com. Investor institusi belum lari, justru mulai menyaring dan menambah porsi ke pemain yang sudah terbukti. Jika pun ada gelembung, kemungkinan besar yang terjadi adalah koreksi sehat, bukan keruntuhan total.
Perusahaan harus memastikan valuasi bergerak sejalan dengan hasil nyata. Narasi visioner tidak cukup tanpa model bisnis yang jelas, arus kas sehat, dan produk yang benar-benar dipakai pasar. Fokus tidak boleh hanya pada demonstrasi teknologi, tetapi juga pada dampak operasional yang nyata. AI harus ditempatkan di area yang membawa penghematan signifikan—seperti rantai pasok, logistik, perencanaan permintaan, dan proses back office.
Investor harus berhati-hati terhadap janji teknologi yang masih bersifat spekulatif. Fokus harus diberikan kepada perusahaan yang menunjukkan kontribusi nyata terhadap efisiensi dan produktivitas ekonomi. Modal sebaiknya mengalir ke inovasi yang terdampak langsung, bukan sekadar proyek besar yang dibangun atas gembar-gembor teknologi.
Di Indonesia, euforia AI mulai terasa namun masih lebih terkendali. Banyak organisasi memasukkan AI ke strategi jangka panjang—suatu langkah positif asalkan tidak sekadar mengikuti tren. Perusahaan lokal perlu menempatkan AI pada masalah nyata: biaya logistik tinggi, proses manual lambat, variabilitas kualitas produksi, hingga fraud detection. Mulai dari eksperimen kecil, ukur hasilnya, dan skalakan dengan hati-hati.
Potensi besar perlu waktu untuk membuahkan hasil. Banyak organisasi melompat terlalu cepat tanpa kesiapan fondasi data, sehingga ekspektasi melampaui kemampuan eksekusi.
Siklus hype selalu berulang. Internet, kripto, dan kini AI. Antusiasme, jargon, dan modal besar selalu datang bersama. Kita perlu lebih peka membedakan antara demo canggih dan unit economics yang berjalan.
Solusi yang paling berdampak justru yang paling sederhana. Otomasi laporan operasional yang menghemat ribuan jam kerja seringkali lebih berharga daripada demonstrasi spektakuler.
AI seharusnya menjadi alat yang membebaskan profesional dari pekerjaan rutin, sekaligus membuka peluang bisnis baru bagi perusahaan. Namun adopsinya harus dilakukan dengan akal sehat dan orientasi dampak nyata. Masa depan AI ditentukan oleh keputusan kecil yang terukur, bukan oleh janji spektakuler. Jika kita mampu menjaga keseimbangan antara rasa ingin tahu, keberanian, dan kebijaksanaan, maka gelembung AI tidak akan meledak sia-sia—melainkan mengempis perlahan dan meninggalkan teknologi yang benar-benar bermanfaat.
Menarik Untuk Ditonton : Tips Untuk Sepi Penjualan
Mau Konsultasi?