

Teman-teman semua, saat kita bermain di media sosial, kita membutuhkan strategi, taktik, dan teknik yang tepat agar promosi bisa berjalan secara efektif. Pernahkah Anda melihat sebuah postingan di saat sedang berselancar di media sosial, yang awalnya tidak berminat membeli, tetapi setelah membaca postingan tersebut justru menjadi tertarik? Itulah yang disebut dengan soft selling. Atau mungkin Anda pernah melihat seseorang bercerita di Facebook, Instagram, TikTok, atau YouTube, dan saat ia bercerita secara alami, tiba-tiba Anda merasa penasaran terhadap produknya dan ingin membelinya. Efek tersebut muncul dari kekuatan storytelling yang dikemas dengan teknik soft selling.
Pertanyaannya, mengapa soft selling menjadi kunci penting dalam strategi penjualan di tahun 2025? Berdasarkan riset dari Forrester Research, sebanyak 74% konsumen lebih percaya terhadap rekomendasi non-iklan dibandingkan iklan langsung. Ketika seseorang sadar bahwa Anda sedang berjualan, secara alami tingkat kepercayaannya menurun karena merasa sedang dijadikan target penjualan. Sebaliknya, jika promosi dilakukan dengan cara yang lembut dan mengalir, audiens akan merasa penasaran tanpa sadar bahwa mereka sedang diarahkan untuk membeli. Data dari Hubspot 2023 menunjukkan bahwa 57% pengambil keputusan melakukan keputusan pembelian bahkan sebelum berbicara langsung dengan penjual. Oleh karena itu, kuncinya adalah: jual rasa dulu, baru jual barang. Bangkitkan rasa penasaran, minat, dan emosi terlebih dahulu sebelum menawarkan produk.
Menarik Untuk Dibaca : Membangun Comunity Marketing
Sayangnya, banyak orang yang berjualan hanya fokus pada cara agar produk mereka cepat terjual, tanpa memikirkan emosi yang muncul di hati audiens. Padahal, faktor emosional inilah yang sering menjadi pemicu utama keputusan pembelian. Karena itu, berikut lima prinsip penting dalam menerapkan soft selling agar hasilnya efektif dan berdampak:
Jual Cerita, Bukan Produk.
Seperti yang pernah disampaikan Steve Jobs, fokuslah pada cerita di balik produk, bukan hanya produknya. Apa latar belakang pembuatan produk tersebut? Apa keresahan atau inspirasi yang melatarbelakanginya? Ceritakan itu kepada audiens. Misalnya, Anda merasa prihatin melihat para ibu yang sibuk bekerja di luar rumah sehingga kurang waktu untuk keluarga, lalu Anda menciptakan peluang usaha rumahan agar para ibu bisa tetap berpenghasilan sambil mengurus keluarga. Cerita seperti ini akan menarik perhatian dan membangun koneksi emosional, sebelum akhirnya Anda memperkenalkan produk di bagian akhir.
Tunjukkan Manfaat Tanpa Terlihat Memaksa.
Sampaikan bagaimana produk Anda bermanfaat bagi orang lain tanpa harus menyebut secara langsung bahwa itu untuk mereka. Gunakan gaya bercerita dari sudut pandang pihak ketiga. Misalnya, “Ada seorang ibu yang awalnya kesulitan mengatur waktu antara pekerjaan dan keluarga, hingga akhirnya menemukan solusi lewat produk ini.” Cerita seperti ini lebih halus namun efektif.
Buat Audiens Merasa Relevan dan Dekat.
Upayakan agar audiens merasa bahwa Anda memahami perasaan dan pengalaman mereka. Untuk itu, buatlah buyer persona sederhana — pahami masalah, kebutuhan, dan impian audiens Anda. Gunakan kalimat yang mengandung empati seperti “Mungkin Anda pernah merasakan…” atau “Pernahkah Anda mengalami hal seperti ini…?” Saat audiens merasa dipahami, mereka akan merasa terhubung dengan pesan Anda.
Bangun Kepercayaan Melalui Edukasi.
Edukasi adalah kunci untuk menumbuhkan kepercayaan. Ceritakan pengalaman pribadi Anda, pencapaian, atau proses yang sudah Anda jalani. Tampilkan kompetensi, reputasi, dan validasi yang menunjukkan bahwa Anda memang ahli di bidang tersebut. Dengan begitu, audiens akan melihat Anda bukan sekadar penjual, tetapi sosok yang kredibel.
Gunakan CTA (Ajakan Bertindak) yang Halus.
Anda tidak perlu selalu menggunakan kalimat seperti “Klik link di bawah ini sekarang juga!” karena kesannya terlalu memaksa. Cukup gunakan covert statement, yakni kalimat yang seolah-olah tidak menjual, namun sebenarnya tetap mengarahkan. Misalnya, “Anda tidak perlu mengecek link di bawah ini untuk tahu bagaimana cara saya melakukannya,” atau “Banyak yang penasaran bagaimana caranya, silakan lihat di kolom deskripsi.” Kalimat semacam ini jauh lebih halus tetapi tetap efektif.
Ada beberapa format konten soft selling yang bisa diterapkan. Pertama, video POV (Point of View) — berupa mini drama dengan satu atau beberapa karakter yang menyampaikan pesan secara alami. Kedua, konten Before–After — tunjukkan perubahan atau hasil yang diperoleh seseorang setelah menggunakan produk Anda. Ketiga, Behind the Scene, yaitu menampilkan proses pembuatan produk yang memancing rasa penasaran audiens. Terakhir, testimoni naratif, yakni menampilkan cerita pelanggan yang puas, baik dalam bentuk video, tangkapan layar, atau tulisan yang dikemas secara natural tanpa harus ada ajakan membeli secara langsung.
Jika Anda mampu menggabungkan semua prinsip dan format ini, Anda bisa menjual tanpa terlihat sedang berjualan. Sebenarnya Anda tetap melakukan penjualan, tetapi dengan cara yang lembut, penuh cerita, dan membangun rasa penasaran. Teknik soft selling dan storytelling seperti ini terbukti mampu meningkatkan ketertarikan sekaligus kepercayaan audiens terhadap produk Anda.
Menarik Untuk Ditonton : Penyebab Gagal
Mau Konsultasi?