

Kalau sebuah ikon teknologi lokal tiba-tiba meredup, apa yang sebenarnya terjadi di balik layar? Tokopedia kembali jadi sorotan. Untuk kedua kalinya, gelombang PHK massal mengguncang salah satu e-commerce terbesar di Indonesia. Itu muncul di tengah isu adanya gesekan internal yang membuat “rumah tangga” Tokopedia dan TikTok Shop tak lagi harmonis. Jarak mereka dengan Shopee pun semakin melebar. Apa yang salah? Badai besar apa yang sedang mengamuk? Dan yang terpenting, apa artinya ini bagi ekosistem digital Indonesia?
Ternyata gelombang PHK jilid dua di Tokopedia bukan murni keputusan spontan untuk memangkas biaya. Ini adalah buntut panjang dari merger Tokopedia dengan TikTok Shop di bawah bendera ByteDance. Sejak penggabungan itu, perusahaan memasuki fase restrukturisasi besar-besaran untuk menyesuaikan arah bisnis baru.
Sebuah transisi yang di atas kertas terlihat menjanjikan, tapi di lapangan penuh rintangan. Alih-alih memperkuat posisi di pasar, integrasi yang seret justru memunculkan gesekan—penyatuan sistem tersendat, peran tim menjadi abu-abu, dan budaya kerja belum menyatu. Tokopedia yang dulu cukup dominan mulai kehilangan tajinya. Performanya melemah, dan jaraknya dengan Shopee semakin melebar. Akibatnya, PHK terasa tak terelakkan. Dalam dua bulan terakhir, ratusan karyawan di PT Tokopedia terkena dampaknya: sekitar 180 orang pada Juli, disusul 240 orang pada Agustus.
Ini bukan gelombang pertama. Sejak ByteDance resmi menjadi pemegang mayoritas dengan 75,1% saham, sinyal efisiensi menguat. Pada akhir semester I 2024, sekitar 450 karyawan atau 9% dari total staf harus angkat koper pada putaran awal. Jika digabung, terlihat pola yang konsisten—perusahaan sedang dipangkas agar lebih ramping, meski harus membayar mahal dalam bentuk ketidakpastian manusia yang menggerakkannya.
Menarik Untuk Dibaca : Karir Naik Tanpa Makan Korban
TikTok dalam pernyataan resminya menegaskan bahwa langkah evaluasi berkelanjutan diambil untuk memperkuat organisasi dan menjaga kualitas layanan. Bahasa korporatnya rapi, tapi intinya jelas: fokus, efisiensi, dan konsolidasi. Namun pada level operasional, konsekuensinya sangat nyata. Tokopedia bahkan menutup layanan Gudang Pintar Dilayani Tokopedia—sebuah inisiatif yang sejak Maret 2022 diproyeksikan menjadi senjata rantai pasok ala “Fulfillment by Amazon”. Harapannya, penjual bisa mengandalkan logistik terintegrasi untuk mempercepat pengiriman. Kenyataannya, pada 15 Agustus 2025 layanan ini resmi dihentikan.
Penutupan lini strategis ini bukan hanya soal biaya. Ia memengaruhi ratusan orang dan ribuan alur kerja yang sebelumnya ditopang oleh gudang, sistem, dan proses. Mengapa transisi besar ini justru melahirkan friksi? Karena integrasi pasca-merger jarang sekadar soal menyatukan aplikasi. Ia adalah proyek menyatukan cara pikir, cara kerja, dan komunitas.
Sejumlah penjual mengeluhkan migrasi akun yang berantakan, penjualan menurun drastis, dan banyak yang meluapkan frustrasi di media sosial. Hampir satu setengah tahun pasca kesepakatan diumumkan, TikTok Shop masih kesulitan menyatu sepenuhnya dengan Tokopedia. Satu sistem mendorong format live commerce yang seragam dan sangat terkurasi, sementara ekosistem lama terbiasa fleksibel. Jadi wajar jika gesekan terjadi.
Di tengah upaya ByteDance membentuk ulang Tokopedia agar lebih menyerupai TikTok Shop, muncul kekhawatiran bahwa jati diri Tokopedia makin pudar di mata penjual lama. Perubahan kebijakan turut memperberat. Beberapa penjual lama harus menghadapi sistem auto-asep pesanan yang menyulitkan kontrol stok, berpotensi menggerus rating toko saat terjadi salah kirim atau keterlambatan.
Pencairan dana penjualan diperpanjang, menekan arus kas pelapak kecil. Kebijakan ongkir gratis yang kini wajib serta keterbatasan memilih jasa kurir semakin menambah pelik. Bagi banyak penjual, pengalaman pelanggan justru menurun karena pengiriman makin lambat, sementara kebutuhan mereka makin mendesak. Alih-alih sinergi, integrasi terasa seperti serangkaian kompromi yang menguras energi.
Jika ditarik lebih luas, restrukturisasi ini memang sesuai logika efisiensi pasca akuisisi. Menurut Direktur Ekonomi Digital Celios, Nailul Huda, efisiensi operasional adalah strategi ByteDance untuk menekan biaya di tengah perang harga e-commerce yang menuntut pendanaan besar. Dalam lanskap di mana promosi dan subsidi ongkir menggerus margin, mengencangkan ikat pinggang terasa tak terhindarkan. Namun efisiensi menjadi masalah ketika menggerus kapasitas berinovasi—apalagi bila dibarengi integrasi yang belum beres.
Ada pula faktor eksternal yang mempersempit ruang manuver: daya beli masyarakat menurun, biaya operasional meningkat, dan promosi yang dulu agresif kini menipis. Persaingan makin ketat. Pemain dengan kas besar dan mesin akuisisi pengguna yang kuat melaju kencang. Dalam kondisi seperti ini, keputusan memangkas lini non-inti dan tenaga kerja mudah dipahami secara finansial, tapi dampak jangka panjangnya pada ekosistem belum tentu mudah diperbaiki.
Dari sisi tata kelola, ketergantungan pada TikTok sebagai pemilik baru menjadi variabel penting. Pengamat Universitas Prasetiya Mulya, Setiawan Kus Mulyono, menilai kebijakan Shop by Tokopedia X TikTok Shop Indonesia terlalu mengatur format. Penjual yang sudah membayar biaya iklan tetap terikat pada tampilan produk yang ditentukan sistem. Biaya afiliator yang dulu jadi motor penjualan turun sekitar 10–20%. Masalah di backend membuat sebagian pelapak migrasi ke platform lain. Ketika keputusan strategis banyak ditarik ke pusat, ruang gerak Tokopedia pun menyempit.
Dari sisi ketenagakerjaan, pengamat Tajudin Nur Effendi menyoroti bahwa ketergantungan pada pendanaan eksternal membuat ruang keputusan manajemen terbatas. Dalam gejolak ekonomi, tekanan investor untuk efisiensi sering kali mengalahkan strategi jangka panjang seperti mempertahankan talenta dan menumbuhkan kapabilitas baru. Secara teori, ini sejalan dengan pola umum merger dan akuisisi: putaran pertama adalah merapikan rumah—fungsi tumpang tindih disatukan, tim dipangkas, struktur dibuat ramping. Target berikutnya, yang jauh lebih sulit, adalah integrasi yang mulus—menyatukan sistem, budaya, dan komunitas pengguna. Di titik inilah banyak merger tersandung.
Pada kasus Tokopedia dan TikTok Shop, integrasi teknis dan ekosistem penjual yang belum selaras membuat transisi semakin berat. Perusahaan mengejar efisiensi, sementara penjual mengejar kelincahan. Ketika dua logika ini tidak bertemu, pasar membaca sinyal keraguan. Dampaknya terlihat nyata: posisi Tokopedia makin menurun. Data Sensor Tower menunjukkan pada kuartal pertama 2025 Tokopedia sudah tergeser oleh Lazada, sementara Shopee jauh memimpin pasar e-commerce Indonesia. Survei AMJ menegaskan tren ini: Shopee menjadi platform paling sering diakses dengan pangsa 53,22% (naik dari 41,65% pada 2024), TikTok Shop di posisi kedua dengan 27,37% (naik dua kali lipat), dan Tokopedia di urutan ketiga dengan 9,57%.
Angka-angka ini bukan sekadar statistik—ini peta kekuatan baru di mana dua pemain besar mengkonsolidasikan dominasi. Bagi karyawan, perubahan ini mengubah lanskap karier. Banyak fungsi dialihkan ke TikTok Shop yang kini disebut Shop by Tokopedia. Tim Tokopedia lebih banyak menangani eksekusi harian ketimbang merancang inisiatif. Ruang bertumbuh menyusut dan sebagian karyawan memilih menunggu pesangon sebagai jalan keluar realistis. Bagi penjual, biaya promosi naik karena batas minimum anggaran iklan ikut terkerek. Dukungan untuk pelapak kecil menurun. Proses makin kompleks, dan hanya merek besar yang relatif siap beradaptasi.
Bagi konsumen, menyempitnya arena kompetisi mengandung risiko: variasi layanan mengecil, inovasi melambat, dan promo yang dulu jadi “gula-gula” kini tak semanis dulu. Bila tren konsolidasi berlanjut, potensi monopoli atau duopoli kian menguat. Dalam jangka panjang, konsumen bisa menghadapi harga yang kurang kompetitif, opsi pengiriman terbatas, serta layanan purna jual yang standar. Hilangnya Tokopedia sebagai penyimbang utama membuat ruang pembanding bagi konsumen menyusut, baik dalam harga, kecepatan, maupun pengalaman belanja.
Bagi Indonesia, ini ironis. Tokopedia selama ini adalah simbol kebangkitan startup lokal. Kekhawatiran yang dulu menyertai rencana merger tentang dominasi platform global kini mulai terasa. Setelah Bukalapak lebih dulu menutup lini e-commerce, performa Tokopedia yang menurun membuat lanskap domestik makin dikuasai pemain global. Ini bukan semata soal bendera perusahaan—ini soal kemandirian digital, kemampuan membangun ekosistem, dan posisi tawar penjual serta talenta lokal di rumah sendiri.
Masalahnya, merapikan kapal besar saat badai tidak pernah mudah. Integrasi sistem butuh waktu, tenaga, dan konsensus. Di saat yang sama, pasar tak menunggu. Shopee terus agresif dengan mesin promosi dan logistik yang matang. TikTok Shop melaju lewat konten dan afiliator. Sementara Tokopedia sibuk berbenah, kompetitor menyalip. Risiko terbesarnya: kehabisan napas sebelum beres menyusun ulang mesin.
Lalu harus bagaimana? Pertama, fokus pada integrasi yang benar-benar menyelesaikan friksi, bukan sekadar kosmetik. Migrasi akun penjual harus dibuat mulus dengan dukungan teknis proaktif dan jalur eskalasi yang jelas. Kebijakan auto-asep perlu ditinjau agar tidak mengorbankan kontrol stok dan reputasi toko. Pencairan dana harus dievaluasi supaya arus kas pelapak kecil tetap sehat. Di tengah perang harga, kepercayaan penjual adalah mata uang yang nilainya justru naik.
Kedua, kembalikan diferensiasi. Jika Shop by Tokopedia mendorong format yang seragam, maka nilai tambah Tokopedia bisa dibangun di sisi yang tidak diatur sistem—misalnya program loyalitas penjual lama, fitur kurasi untuk UKM, atau fleksibilitas memilih kurir pada kategori tertentu. Tidak semua harus disubsidi. Yang penting adalah memberi rasa “punya rumah” bagi penjual yang loyal. Ingat, penjual bukan sekadar inventory—mereka adalah komunitas.
Ketiga, komunikasi yang jujur dan konsisten. Pasca PHK dan penutupan lini, karyawan butuh kejelasan peran dan prospek. Transparansi soal prioritas produk dan metrik keberhasilan akan mengurangi kecemasan, meningkatkan fokus, dan menjaga talenta kunci agar tetap bertahan. Tim yang solid adalah syarat minimal agar strategi apa pun bisa dieksekusi.
Pemerintah dan pemangku kepentingan industri juga perlu memastikan kompetisi sehat tetap terjaga. Ketika pasar mengarah pada konsolidasi, regulasi yang mendorong interoperabilitas, transparansi biaya, dan perlindungan penjual kecil akan menjadi penyeimbang. Asosiasi dan komunitas penjual bisa menjadi kanal umpan balik agar kebijakan platform tidak berjalan di ruang hampa. Di level ekosistem, memperkuat talenta logistik, pembayaran, dan pemasaran digital lokal akan membantu penjual tidak terlalu bergantung pada satu platform saja.
Apa pelajaran pentingnya? Pertama, merger tanpa integrasi yang rapi adalah pedang bermata dua. Restrukturisasi membuat organisasi ramping, tapi tanpa penyatuan sistem dan budaya, nilai sinergi bisa menguap. Kedua, di e-commerce, diferensiasi bukan hanya fitur, tapi juga kebijakan yang memberi ruang bagi penjual untuk bernapas. Saat aturan terlalu seragam, inovasi lapangan mati pelan-pelan. Ketiga, angka efisiensi tidak boleh menutupi dampak sosial. PHK bukan cuma baris di laporan—itu adalah keluarga, komunitas, dan kompetensi yang sulit dibangun kembali.
Untuk negara dengan ambisi kedaulatan digital, hilangnya satu pemain lokal besar berarti menyusutnya ruang belajar dan bereksperimen di tanah sendiri. Pada akhirnya, kisah Tokopedia mengingatkan kita bahwa strategi boleh berganti, tapi yang menentukan adalah bagaimana manusia, ide, dan kepercayaan dirawat. Gelombang PHK, penutupan lini, dan restrukturisasi adalah bab yang pahit—namun bukan akhir cerita. Jika integrasi dibenahi dengan empati, diferensiasi dikembalikan dengan cerdas, dan komunikasi dijalankan dengan jujur, kapal ini masih bisa berlayar. Dan kita semua—karyawan, penjual, konsumen—punya peran untuk memastikan laju itu tidak meninggalkan siapa pun di belakang.
Menarik Untuk Ditonton : Strategi Mengembangkan Bisnis
Mau Konsultasi?