Cerita Usaha ~ Gudang Garam, nama besar yang selama puluhan tahun identik dengan industri rokok Indonesia, kini menghadapi kenyataan pahit berupa penurunan kinerja keuangan, anjloknya laba, hingga kabar pemutusan hubungan kerja.
Perusahaan yang dahulu menjadi simbol kejayaan kretek tampak terjebak dalam pusaran pasar yang bergerak terlalu cepat, sementara mereka terlalu lambat beradaptasi. Jika perusahaan sebesar ini kesulitan bertahan, pertanyaan besar muncul: apa yang sebenarnya terjadi? Apakah masalahnya terletak pada regulasi pemerintah yang semakin ketat, perubahan selera konsumen, atau kelemahan internal yang membuat mereka gagal beradaptasi? Penurunan performa Gudang Garam ternyata bukan sekadar persaingan bisnis biasa, melainkan kombinasi faktor eksternal dan internal yang saling menguatkan.
Di sisi eksternal, pemerintah konsisten menaikkan cukai rokok sejak 2020 dengan rata-rata kenaikan mencapai 67,5% dalam lima tahun terakhir. Dampaknya, harga rokok melonjak tajam sementara daya beli masyarakat stagnan, bahkan menurun. Kondisi ini diperparah oleh maraknya peredaran rokok ilegal yang jauh lebih murah. Selain itu, perubahan gaya hidup juga berperan besar.
Kesadaran kesehatan kini jauh lebih tinggi dibandingkan satu atau dua dekade lalu. Rokok yang dulu identik dengan gaya hidup keren kini dipandang sebagai ancaman kesehatan. Kampanye anti-rokok, larangan merokok di ruang publik, serta akses informasi kesehatan membuat rokok semakin sulit diterima. Generasi muda lebih memilih gaya hidup sehat, olahraga, atau aktivitas produktif ketimbang menghisap kretek di tongkrongan. Konteks sosial berubah, namun Gudang Garam masih berpegang pada citra lama yang ditinggalkan pasar.
Ironisnya, meski menyadari risiko tersebut, Gudang Garam masih sangat bergantung pada bisnis rokok. Diversifikasi sudah dicoba, tetapi hasilnya belum signifikan. Pembangunan Bandara Doho dan proyek jalan tol Kediri–Tulungagung membutuhkan investasi besar, namun kontribusinya masih kecil. Masuk ke pasar rokok elektrik pun gagal bersaing dengan pemain global. Akibatnya, pangsa pasar Gudang Garam terus merosot, hanya 17,4% pada 2024. Semester pertama 2025 lebih buruk: laba turun 87% dibandingkan tahun sebelumnya. Kondisi ini memaksa manajemen melakukan efisiensi, termasuk merelakan karyawan. Video viral pelepasan ratusan pekerja menjadi simbol raksasa yang sedang kesulitan, meskipun manajemen menegaskan itu bukan PHK massal, melainkan pelepasan kontrak normal.
Kegagalan Gudang Garam beradaptasi bisa dijelaskan dengan fenomena strategic inertia, yakni kondisi ketika perusahaan terlalu nyaman dengan strategi lama yang dulu sukses tetapi kini tidak relevan. Sinyal perubahan sudah terlihat: masuknya rokok elektrik, maraknya rokok ilegal, hingga pergeseran selera generasi muda. Namun Gudang Garam tetap fokus pada rokok tradisional. Diversifikasi pun kurang tepat sasaran. Bandara dan jalan tol mungkin menguntungkan di masa depan, tetapi butuh waktu puluhan tahun untuk balik modal, sementara pasar rokok butuh respon cepat dan inovasi jangka pendek. Alih-alih memperkuat inovasi produk atau masuk ke sektor dengan pertumbuhan tinggi, mereka memilih bertahan pada pola lama, berbeda dengan pesaing yang lebih lincah.
Jika dibandingkan dengan Djarum, perbedaan strategi tampak jelas. Djarum sejak lama melakukan diversifikasi luas dan relevan. Akuisisi Bank Central Asia (BCA) pada 1998 menjadikannya bank swasta terbesar di Indonesia dan mesin utama grup. Djarum juga masuk ke teknologi lewat Blibli dan Polytron, ke hiburan melalui Visinema, hingga sektor kesehatan dengan saham di RS Hermina. Diversifikasi lintas sektor ini menciptakan ekosistem bisnis kokoh yang membuat tekanan di industri rokok tidak terlalu mengancam. Sebaliknya, Gudang Garam masih terpaku pada rokok, menjadikan ketergantungan itu beban besar di tengah tren kesehatan, regulasi ketat, dan citra sosial yang kian negatif.
Data global juga menunjukkan masa depan industri tembakau suram. WHO mencatat, konsumsi tembakau turun dari 1 banding 3 orang dewasa pada 2000 menjadi 1 banding 5 pada 2022. Pemerintah di berbagai negara terus menaikkan cukai, memperluas regulasi, dan memperketat pembatasan, sementara rokok ilegal semakin marak.
Menarik Untuk Dibaca : Juragan Pisang 30 Hektar
Dalam kondisi seperti ini, bertahan hanya dengan rokok adalah strategi ketinggalan zaman. Gudang Garam perlu berani membongkar ketergantungannya dan masuk ke sektor dengan pertumbuhan tinggi seperti teknologi, kesehatan, atau energi terbarukan. Bayangkan jika mereka serius mengembangkan rumah sakit atau layanan medis—sebuah paradoks dari perusahaan rokok yang bisa jadi pilar baru yang stabil. Begitu pula di sektor digital seperti e-commerce atau fintech, serta energi terbarukan yang selaras dengan tren keberlanjutan. Semua itu membutuhkan keberanian besar.
Dari perjalanan Gudang Garam, ada tiga pelajaran penting. Pertama, keberhasilan masa lalu bisa jadi jebakan; mereka terlalu lama nyaman dengan kesuksesan rokok konvensional sehingga gagal membaca arah perubahan. Kedua, ketidakpastian bukanlah musuh melainkan ladang peluang; Djarum membuktikan dengan berani melangkah ke sektor baru, sementara Gudang Garam bertahan di zona aman. Ketiga, ketergantungan pada satu produk atau sektor berbahaya; jika pilar utama goyah, seluruh bangunan ikut runtuh.
Kisah Gudang Garam bukan hanya tentang industri rokok, tapi juga tentang bagaimana menghadapi perubahan dalam bisnis maupun kehidupan pribadi. Kita tidak boleh terlena dengan keberhasilan lama karena dunia terus bergerak. Berani membongkar pola lama bukan berarti mengkhianati sejarah, melainkan cara menghormatinya dengan memastikan masa depan tetap terjaga. Ketidakpastian harus dilihat sebagai peluang, risiko selalu ada, namun di setiap perubahan ada celah untuk dimanfaatkan. Diversifikasi bukan hanya istilah bisnis, tetapi juga filosofi hidup: semakin banyak pilar penopang, semakin tahan terhadap guncangan.
Sebaliknya, bergantung pada satu hal saja membuat kita mudah jatuh ketika hal itu runtuh. Pada akhirnya, kisah Gudang Garam mengingatkan kita bahwa kejayaan tidak abadi. Pasar berubah, regulasi semakin ketat, dan selera konsumen bergeser. Keberhasilan masa lalu patut dihargai, tetapi tidak bisa dijadikan jaminan masa depan. Kini, Gudang Garam berada di persimpangan: bertahan dengan cara lama dan kian tergerus, atau berani melompat ke arah baru untuk menemukan pijakan yang lebih relevan. Pelajarannya jelas: beranilah berubah sebelum keadaan memaksa, karena itulah kunci untuk terus bertahan dan menang.
Menarik Untuk Ditonton : Cara Membangun Branding UMKM
Mau Konsultasi?