Kali ini aku mau nyeritain satu kenyataan pahit dalam dunia keuangan di Indonesia. Kamu tahu enggak, masyarakat Indonesia itu tanpa sadar sebenarnya nyimpan aset dan hasil kerja kerasnya dalam salah satu bentuk aset yang paling lemah di Asia Tenggara, bahkan di Asia. Ada yang bisa nebak enggak itu apa? Ya, aset itu adalah mata uang rupiah.
Kedengarannya mungkin agak berlebihan, tapi percaya enggak kalau rupiah sekarang jadi mata uang yang paling lemah di Asia Tenggara? Masih ingat enggak kira-kira 10 tahun lalu nilai tukar dolar itu masih di Rp11.000-an. Sekarang, di tahun 2025, 1 dolar sudah sampai Rp16.000-an bahkan sempat nyaris Rp17.000. Artinya, dalam 10 tahun daya beli rupiah terhadap barang-barang luar negeri khususnya dari Amerika melemah sampai sepertiganya.
Kalau kita lihat mata uang negara tetangga, rupiah termasuk yang paling parah melemahnya. Mayoritas mata uang Asia Tenggara memang turun terhadap dolar, tapi enggak separah rupiah. Bahkan ada beberapa mata uang yang justru menguat dibanding US Dollar, seperti baht Thailand, dolar Singapura, dan dolar Brunei. Lebih miris lagi, kalau dibandingkan langsung dengan ringgit Malaysia, baht Thailand, atau bahkan dong Vietnam, rupiah juga tetap melemah.
Menarik Untuk Dibaca : Arti Penting Emergency Fund Untuk Pengusaha Kecil
Artinya, secara rata-rata tiap tahun rupiah kehilangan daya beli sekitar 3% terhadap dolar Amerika. Kalau ditambah inflasi domestik rata-rata 3% per tahun, maka nilai riil rupiah terhadap barang impor bisa turun sekitar 6% tiap tahun. Bayangin deh, Rp100 juta yang kamu simpan di tahun 2015 nilainya sekarang kalau dikonversi ke dolar hanya setara Rp58 juta buat barang impor. Jadi, kalau kamu cuma nyimpan aset dalam bentuk rupiah, bisa dibilang sebenarnya kamu rugi.
Memang jumlah tabunganmu kelihatan naik kalau ditaruh di deposito berbunga 5%. Tapi di saat yang sama, nilai rupiah terus melemah. Jadi, seakan-akan kamu tetap jalan di tempat. Aku bicara begini bukan berarti enggak cinta Indonesia, tapi sebagai channel keuangan aku juga harus jujur nyampein kondisi apa adanya. Di sisi lain, kita juga harus realistis. Pasti enggak ada yang mau kan hasil kerja kerasnya tergerus percuma karena aset disimpan di mata uang yang terus melemah?
Lalu, kenapa rupiah bisa selemah ini? Prinsipnya simpel: kuat atau lemahnya nilai mata uang ditentukan dari seberapa banyak orang yang butuh atau mau pakai mata uang itu. Dalam konteks rupiah, yang butuh bukan cuma rakyat Indonesia, tapi juga pihak luar negeri: perusahaan asing yang investasi, pembeli produk ekspor, atau wisatawan mancanegara. Kalau semua aspek itu kuat, otomatis permintaan rupiah naik dan nilainya menguat. Sebaliknya, kalau sedikit yang butuh rupiah, nilainya terus melemah.
Dalam 10 tahun terakhir, pelemahan rupiah jadi cermin menurunnya daya tawar Indonesia di perekonomian global. Pertama, dari sisi investasi asing. Banyak perusahaan dunia memang datang ke Indonesia, tapi berapa yang benar-benar investasi? Sedikit banget. Malah banyak yang kapok. Contohnya BYD dari Cina yang mau bikin pabrik di Jawa Barat. Baru mulai, sudah terganggu masalah ormas dan lahan. Akhirnya mereka pilih Malaysia untuk bangun pabrik yang jauh lebih luas.
Kedua, dari sisi ekspor. Tahun 2024, total ekspor Indonesia sekitar 265 miliar dolar. Tapi 90,9% transaksinya masih pakai US Dollar, sedangkan pakai rupiah langsung cuma 1,7% saja. Artinya, rupiah hampir enggak dipakai di perdagangan internasional.
Ketiga, sektor pariwisata. Indonesia sering bangga dengan Bali, tapi faktanya cuma Bali yang benar-benar mendunia. Destinasi lain seperti Lombok, Raja Ampat, atau Danau Toba belum berhasil menarik perhatian global secara signifikan. Akibatnya, pendapatan pariwisata Indonesia tertinggal jauh. Bahkan Thailand bisa tiga kali lipat lebih besar dibanding kita.
Kalau digabung, hasilnya jelas: investasi asing yang lari, ekspor yang tetap pakai dolar, dan pariwisata yang kalah jauh membuat rupiah enggak punya daya tawar. Lalu, solusinya gimana? Fakta pahit yang harus kita terima adalah kita enggak bisa lagi hanya mengandalkan rupiah sebagai tempat menyimpan aset, apalagi jangka panjang.
Kita juga perlu menyimpan aset dalam bentuk yang lebih stabil, khususnya US Dollar. Praktik ini bukan cuma dilakukan orang kaya, tapi juga pekerja migran, eksportir, dan freelancer digital. Mereka terbiasa menyimpan sebagian uangnya dalam dolar.
Ada beberapa cara nyimpen dolar. Tradisionalnya lewat beli uang tunai di money changer atau bank, tapi kelemahannya spread tinggi, jam terbatas, dan ada risiko uang palsu. Cara lain adalah rekening dolar di bank digital, tapi tetap saja kurs mahal dan jam terbatas. Cara paling praktis yang populer belakangan adalah lewat stablecoin seperti USDT di exchange kripto. Nilainya dipatok 1 banding 1 dengan US Dollar, spread kecil, bisa transaksi 24 jam, dan sangat likuid.
Menariknya lagi, USDT ini bisa diinvestasikan lewat fitur earn. Jadi, bukan hanya nilainya mengikuti dolar, tapi juga bisa menghasilkan bunga tambahan. Misalnya, di salah satu exchange global, bunga earn USDT bisa 6,59% sampai 11,6% per tahun. Kalau kamu nabung sekitar Rp100 juta atau 6.000 USDT, potensi penghasilan pasifmu bisa sampai Rp6–7 juta per tahun, di luar potensi capital gain jika dolar menguat terhadap rupiah.
Sistem earn juga fleksibel karena bunganya dibayar harian, jadi aset bisa dicairkan kapan saja tanpa nunggu jatuh tempo. Bahkan, beberapa exchange juga kasih bonus tambahan untuk pengguna baru, termasuk bunga lebih tinggi atau bonus trading.
Jadi, dari semua pembahasan tadi, bisa kita simpulkan: naruh seluruh kekayaan dalam rupiah itu penuh risiko. Nilainya terus melemah, daya belinya turun, dan seolah kita jalan di tempat. Karena itu, punya sebagian aset dalam USD — baik secara tradisional maupun lewat stablecoin — bisa jadi strategi realistis untuk menjaga nilai kekayaan kita. Pada akhirnya, tujuan kita bukan cuma nabung, tapi memastikan hasil kerja keras kita tetap bernilai, bukan hilang perlahan dimakan inflasi dan pelemahan rupiah.
Menarik Untuk Ditonton : Cara Mengoptimalkan Affiliate Marketing
Mau Konsultasi?