Buat saya, Apple sudah kehilangan magic-nya. Produk terakhir yang saya anggap benar-benar inovatif adalah Apple Watch—itu pun sudah hampir satu dekade lalu. Setelah itu apa? Dari tahun ke tahun hanya perbaikan di sana-sini: kamera makin tajam, prosesor makin cepat, layar makin terang. Saya merasa sudah kehilangan Apple yang dulu saya kenal. Apple yang berani mengubah dunia. Apple yang membuat kita berkata, “Wow, ini akan mengubah hidup kita semua.” Sekarang rasa itu sudah hilang.
Dulu saya selalu jadi orang pertama yang membela Apple. Kalau ada yang mengejek Apple, saya jadi pengacara tak resmi. Saya pasang badan, saya berikan argumen panjang. Tapi sekarang, dan jujur saya enggak sendirian, banyak orang bilang ini akhir dari Apple. “Apple sudah berhenti berinovasi,” begitu kata mereka. Kadang saya juga berpikir sama: apakah Apple benar-benar sudah habis?
Menarik Untuk Dibaca : Sony Selalu Pertama Tapi Selalu Kalah
Ternyata jawabannya tidak sesederhana itu. Benar, Apple sudah lama tidak melahirkan produk yang disruptif. Apple Watch di 2015, Apple Silicon di 2020. Setelah itu hampir tidak ada lompatan besar. iPhone, iPad, Mac—semua hanya mengalami penyempurnaan. Tapi kalau dibilang Apple berhenti berinovasi, itu juga enggak tepat. Apple masih berinovasi, hanya saja bentuk inovasinya berbeda.
Apple sekarang banyak melakukan inovasi proses. Mereka berhasil membangun supply chain paling efisien di dunia. Mereka enggak lagi bergantung pada Intel karena mereka membuat chip sendiri. Apple Silicon adalah bukti bahwa Apple bisa menciptakan revolusi dari dapur pabriknya. Chip M1 membuat MacBook tiba-tiba melompat jauh ke depan: laptop tipis, baterai tahan belasan jam, tapi performa setara desktop. Itu bukan sekadar improvement, itu game changer—hanya saja tidak seikonik iPhone di masanya.
Apple juga berinovasi dalam model bisnis. Kalau dulu mereka hanya mengandalkan penjualan hardware, sekarang mereka menghasilkan miliaran dolar dari layanan. Apple Music jadi pesaing Spotify. Apple TV+ walaupun belum sebesar Netflix tapi melahirkan serial pemenang Oscar dan Emmy.
Ada juga Arcade untuk gaming casual, Fitness+ untuk gaya hidup sehat. Di titik ini, Apple tidak lagi hanya menjadi perusahaan teknologi. Mereka sudah menjadi perusahaan hiburan, musik, kesehatan, bahkan finansial.
Apple juga berinovasi di sisi layanan. Apple Pay membuat transaksi lebih mudah. Apple Card membawa Apple masuk ke dunia kartu kredit. Apple Care+ membuat pengalaman pengguna lebih terjamin. Kini Apple Intelligence hadir sebagai jawaban terhadap tren AI.
Mungkin terlambat dibandingkan Google atau Microsoft, tapi jelas ini langkah strategis. Dan jangan lupakan inovasi ekosistem: AirDrop, Handoff, sampai Universal Control. Semua itu membuat kita betah ada di dalam “taman bertembok” Apple. Pernah coba pindah dari iPhone ke Android? Ribet. Chat, foto, catatan semuanya nyangkut. Inilah jebakan manis yang Apple ciptakan.
Jadi inovasi itu ada. Hanya saja bukan jenis inovasi yang membuat fanboy seperti saya terbuka mulutnya. Karena yang saya rindukan adalah Apple yang dulu. Apple di bawah Steve Jobs dan Johnny Ive. Apple yang melahirkan produk revolusioner, bukan sekadar penyempurnaan.
Lalu apa yang membuat Apple berubah? Jawabannya: Apple sudah menjadi perusahaan matang. Dalam teori manajemen strategis ada dua istilah populer: exploration dan exploitation. Exploration berarti menjelajah, berani mengambil risiko, membuat hal baru yang bisa mengubah permainan. Exploitation berarti memeras apa yang sudah ada, memaksimalkan keuntungan dari produk yang terbukti sukses. Umumnya perusahaan matang akan bergeser dari exploration ke exploitation.
Kenapa? Mari bahas langsung dalam konteks Apple. Pertama, faktor skala bisnis. Apple bukan lagi perusahaan dengan pasar terbatas. Mereka adalah raksasa 3 triliun dolar. Produk baru yang sukses bukan lagi sekadar menambah 1–2 miliar dolar, tapi harus bisa menghasilkan puluhan bahkan ratusan miliar. Standar inilah yang membuat banyak ide dianggap enggak layak sejak awal. Apa gunanya sebuah produk baru kalau tidak bisa menggerakkan grafik revenue yang sudah sebesar itu?
Kedua, faktor ketergantungan pada iPhone. iPhone bukan sekadar produk, ia adalah mesin uang Apple. Lebih dari separuh pendapatan perusahaan datang dari iPhone. Semua layanan Apple pun bergantung pada pengguna iPhone. Jadi setiap ide produk baru selalu diukur: apakah akan mengancam iPhone? Kalau iya, kemungkinan besar ide itu mati bahkan sebelum sempat berkembang.
Ketiga, faktor budaya organisasi. Apple yang dulu dipimpin Jobs adalah Apple yang berani mengambil risiko. Jobs enggak takut membunuh iPod dengan iPhone. Ia tidak takut melawan arus dengan membuang floppy disk bahkan colokan headphone. Apple di bawah Cook lebih hati-hati. Keputusan besar seringkali diukur dengan data dan margin, bukan dengan intuisi dan visi radikal.
Keempat, faktor pasar global yang jenuh. Smartphone sudah mencapai titik matang. Laptop dan tablet pun sama. Hampir semua orang yang mampu membeli gadget sudah memilikinya. Inovasi radikal sulit muncul di pasar yang sudah mapan. Apalagi yang bisa diubah drastis dari smartphone yang sudah sempurna ada di genggaman kita.
Dan kelima, faktor regulasi dan tekanan publik. Apple hari ini hidup dalam sorotan. Setiap langkah dipantau regulator, analis, media, bahkan konsumen. Mereka tidak bisa lagi seenaknya mengambil keputusan berisiko tinggi. Regulasi di Eropa memaksa Apple membuka App Store. Regulasi di Amerika menggugat Apple atas praktik monopoli. Situasi ini membuat ruang gerak untuk bereksperimen jadi semakin sempit.
Jika kita gabungkan semua faktor ini, bisa dipahami kenapa Apple memilih jalan aman. Mereka lebih memilih menguatkan ekosistem daripada melahirkan kejutan. Walaupun ada risikonya: jika Apple terlalu sibuk mengeksploitasi ekosistem ketimbang berani bereksplorasi, cepat atau lambat mereka bisa dikalahkan pemain lain. Dunia teknologi bergerak cepat. Sejarah sudah menunjukkan: Nokia, BlackBerry, bahkan Yahoo bisa runtuh ketika gagal beradaptasi. Semua pernah jadi pemimpin pasar tapi hilang relevansi karena terlalu nyaman dengan produk lama.
Apple memang jauh lebih kuat, tapi hukum pasar tetap sama. Inovasi adalah syarat bertahan hidup. Tanda-tandanya sudah kelihatan di ranah AI. Google dengan Gemini, Microsoft dengan Copilot, keduanya mulai membentuk standar baru cara orang bekerja dan berinteraksi dengan teknologi.
Bahkan di pasar hardware, Samsung lebih berani bereksperimen dengan foldable phone, layar fleksibel, hingga integrasi kamera canggih. Jika Apple tidak mampu menghadirkan terobosan berarti, mereka berisiko hanya jadi pengikut. Dan begitu momentum itu hilang, brand sekuat apa pun bisa kehilangan posisi istimewanya di hati konsumen.
Pertanyaannya, apakah Apple bisa kembali disruptif? Menurut saya, di bawah kepemimpinan Tim Cook, peluangnya kecil. Steve Jobs dan Johnny Ive melambangkan era eksplorasi. Mereka berani melahirkan produk radikal. Mereka menciptakan budaya “One More Thing” yang membuat dunia selalu menunggu kejutan. Tim Cook berbeda. Ia lebih fokus pada operasi. Ia memastikan produk sampai tepat waktu, dalam jumlah besar, dengan margin tinggi. Ia menjaga stabilitas Apple.
Ia bukan orang yang akan bertaruh pada produk aneh yang bisa gagal total. Itulah kenapa Apple di era Cook sangat kaya, sangat stabil, sangat menguntungkan, tapi tidak lagi mengejutkan. Mereka makmur tapi dengan cara berbeda—bukan dengan mengejutkan dunia, melainkan dengan menjaga ekosistem yang makin sulit ditinggalkan.
Apakah berarti Apple enggak bisa disruptif lagi? Tidak juga. Apple masih punya peluang. Mereka punya semua modal: uang tunai puluhan miliar dolar, anggaran R&D fantastis, brand power luar biasa, dan kontrol penuh atas hardware, software, chip, serta layanan. Apple bisa kembali seperti dulu. Tapi ada syaratnya: mereka harus mengubah pola pikir dan keberanian dalam mengambil risiko.
Di era Steve Jobs, Apple enggak takut meng-cannibal produknya sendiri. iPhone membunuh iPod, iPad mengguncang pasar PC, bahkan keputusan kecil seperti menghapus floppy disk atau port headphone adalah bentuk keberanian eksplorasi. Untuk kembali jadi pionir, Apple perlu menghadirkan kembali budaya itu. Berani melepaskan kenyamanan dari mesin uang lama demi membuka jalan bagi sesuatu yang lebih besar. Selain itu, Apple harus mengembalikan desain dan visi produk ke jantung strategi. Bukan sekadar efisiensi dan margin. Inovasi disruptif lahir ketika teknologi dipadukan dengan imajinasi—sesuatu yang dulu lahir dari kolaborasi Steve Jobs dan Johnny Ive.
Apple harus belajar dari IBM dan Microsoft. Keduanya sama-sama pernah terjebak terlalu lama di eksploitasi. IBM dulu berjaya lewat mainframe dan PC, tapi kehilangan relevansi karena terlalu lama bertahan di hardware. Lalu mereka banting setir melepas PC dan masuk ke layanan IT, cloud, serta AI enterprise. Transformasi ini menyelamatkan IBM dan membuatnya tetap relevan sampai hari ini.
Microsoft juga pernah mengalami hal serupa. Di era Ballmer, mereka terlalu nyaman dengan Windows dan Office. Keduanya memang mesin uang, tapi Microsoft tertinggal di mobile. Perusahaan dianggap kehilangan arah. Baru setelah Satya Nadella memimpin, Microsoft berani mengeksplorasi ulang lewat cloud Azure, open source, dan AI. Hasilnya Microsoft bangkit menjadi salah satu perusahaan teknologi paling bernilai di dunia.
Jadi, Apple sebenarnya punya modal untuk kembali jadi pionir. Yang mereka butuhkan adalah keberanian untuk mengambil taruhan besar, walaupun itu berarti mengguncang bisnis iPhone yang begitu aman.
Hari ini ada tiga pelajaran penting yang bisa kita ambil. Pertama, jenis inovasi itu banyak. Banyak perusahaan, termasuk Apple, biasanya memulai dengan inovasi produk. Tapi seiring waktu fokus bergeser ke inovasi proses, layanan, bahkan model bisnis. Pergeseran ini wajar karena perusahaan ingin menjaga skala dan stabilitas, bukan sekadar mengejar kejutan demi kejutan. Kedua, eksploitasi adalah jebakan alami perusahaan matang. Sebagai perusahaan 3 triliun dolar, ide baru hanya dianggap relevan jika menghasilkan puluhan miliar dolar. Ditambah lagi, ketergantungan pada iPhone membuat inovasi baru sering kandas karena dianggap berisiko mengganggu mesin uang utama. Inilah jebakan eksploitasi yang membuat Apple stabil tapi bisa kehilangan momentum eksplorasi. Dan ketiga, modal terbesar untuk tumbuh bukan hanya uang, tapi imajinasi dan keberanian.
Apple punya segalanya—kas besar, tim R&D kelas dunia, brand power global, dan kendali penuh atas hardware maupun software. Tapi semua itu hanya alat. Yang paling menentukan tetaplah imajinasi untuk melihat masa depan dan keberanian untuk mengambil risiko besar dalam mewujudkannya.
Akhir kata, saya sebagai orang yang jatuh cinta pada Apple karena produk-produk inovatifnya, tidak lagi berharap banyak dari Apple. Saya tidak lagi menunggu kejutan setiap tahun. Yang bisa saya harapkan hanyalah perbaikan konsisten. Bisa jadi akan ada satu-dua kejutan besar nanti, mungkin satu dekade sekali.
Apakah itu berarti saya akan meninggalkan Apple? Tidak. Karena saya merasa nyaman dengan kesederhanaan dan konsistensi produknya. Saya masih suka dengan ekosistemnya, apalagi saya sudah terikat terlalu dalam.
Semua perangkat saya Apple, semua data saya ada di server Apple, semua workflow saya sudah teranyam kuat dalam ekosistem Apple. Jadi, saya akan tetap bersama Apple untuk masa depan yang bisa saya bayangkan. Walaupun hubungan saya dengan Apple tidak lagi seperti dulu—rasanya lebih seperti sebuah pernikahan karena kebutuhan, bukan karena cinta sejati.
Menarik Untuk Ditonton : Kisah Jualan Peyek Mak Wiwik
Mau Konsultasi?