Di banyak perusahaan, marketing sering dituding sebagai penyebab gagalnya target tercapai. Alasannya beragam: marketing dianggap cuma buang-buang uang, tidak paham produk, atau kerjaannya terlalu mengawang-awang. Sebaliknya, orang marketing juga sering mengeluh soal target yang tidak masuk akal, budget minim, hingga kurangnya dukungan. Konflik ini muncul karena beberapa hal. Pertama, marketing adalah pekerjaan spesialis yang membutuhkan kemampuan khusus.
Digital marketing, media sosial, customer lifecycle management, hingga brand management, semuanya butuh keahlian. Sayangnya, tidak semua manajemen melihatnya begitu. Akhirnya, posisi penting ini diisi oleh generalis sehingga hasil tidak optimal. Saat marketing gagal menjelaskan hasilnya, manajemen naik pitam, apalagi karena marketing budget termasuk salah satu komponen biaya terbesar di perusahaan.
Kedua, manajemen sering meletakkan ekspektasi terlalu tinggi seolah marketing bisa mengendalikan segalanya. Maka ketika target tidak tercapai, terasa wajar jika marketing yang disalahkan. Padahal, kegagalan bisnis seringkali disebabkan faktor lain, bukan semata marketing. Karena itu, penting menempatkan marketing pada porsi yang tepat. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika menilai keberhasilan atau kegagalan bisnis.
Menarik Untuk Dibaca : Bisnis Mandek, Cek Mindsetmu
Pertama, produk. “Good product is the best marketing.” Produk bagus akan lebih mudah terjual, bahkan berjalan sendiri lewat word of mouth dan referral. Tidak sedikit orang percaya jika produknya bagus, marketing tidak terlalu dibutuhkan. Itu benar, namun ironisnya, ketika produk tidak terjual dengan sendirinya, marketing dipanggil untuk mendorong penjualan. Dalam konteks ini, marketing posisinya membantu.
Kalau produk bagus, seharusnya tanpa dorongan pun jalan. Maka jika marketing perlu bekerja keras menjualnya, bisa jadi ada isu di produk. Namun sayangnya, kualitas produk jarang sekali dianggap penyebab kegagalan. Padahal, sebagus apa pun strategi marketing, tidak ada yang bisa menyelamatkan produk yang buruk.
Kedua, distribusi. Produk bagus belum tentu sukses kalau distribusinya bermasalah. Ada kasus di industri koran dan mie instan di mana pemain lama menghalangi distribusi kompetitor baru dengan menekan distributor. Hasilnya, produk baru yang sebenarnya diminati jadi sulit dicari, membuat budget marketing terbuang percuma.
Contoh lain adalah brand air mineral lokal yang berhasil punya traction kuat hanya dengan distribusi yang baik, meski tanpa marketing budget besar. Distribusi bukan hanya soal ada di pasar atau tidak, tapi juga detail seperti penempatan produk di rak yang strategis.
Ketiga, pricing. Secara teori, pricing ada di dalam marketing mix, tetapi di banyak perusahaan kendali harga justru ada di luar tim marketing. Akibatnya, tim marketing diminta tanggung jawab atas sesuatu yang tidak bisa mereka kontrol. Pricing punya peran besar dalam persepsi konsumen. Harga terlalu murah bisa dianggap murahan, meski kualitasnya bagus.
Ada pula fenomena harga coret yang lebih menarik secara psikologis dibanding harga murah tanpa diskon. Kasus jam tangan di Swiss menunjukkan hal ini: jam berkualitas tidak laku ketika dipasarkan murah, tapi justru laris ketika diberi harga lebih tinggi karena mendukung persepsi “jam Swiss yang bagus.” Artinya, pricing bukan soal murah, tapi soal positioning dan persepsi.
Keempat, timing. Bisnis dan marketing sangat bergantung pada relevansi waktu. Jual jas hujan di musim panas pasti sepi. Kaos merah laris di momen Imlek atau 17 Agustus. Produk makanan tertentu lebih efektif dipromosikan di jam orang lapar. Ramadan juga menjadi momentum emas bagi berbagai produk. Timing bahkan bisa menentukan keberhasilan sebuah brand masuk ke pasar.
Contohnya Burger King yang gagal saat pertama kali masuk Indonesia karena kultur masyarakat belum siap dengan makanan cepat saji non-nasi. Namun ketika masuk lagi di era berbeda, saat burger sudah lebih diterima, Burger King justru sukses.
Kelima, sales. Produk bagus, distribusi lancar, harga pas, dan timing tepat tetap butuh dorongan sales. Banyak konsumen tahu produk bagus, tapi enggan mengambil tindakan tanpa dorongan dari tim sales. Karena itu, sinergi marketing dan sales sangat penting untuk menutup transaksi.
Kesimpulannya, keberhasilan bisnis adalah hasil kerja kolektif, begitu juga kegagalannya. Sama seperti tim sepak bola yang tidak bisa menyalahkan striker saja ketika mandul, marketing juga tidak bisa dijadikan kambing hitam tunggal. Jika semua kesalahan ditumpahkan ke marketing, seolah-olah divisi lain tidak ada gunanya.
Namun, orang marketing juga harus tahu posisinya, bisa menjelaskan porsinya, dan memahami area mana yang perlu diperbaiki. Pada akhirnya, penting untuk melihat marketing secara adil, bukan sekadar sebagai pengeluaran besar, melainkan sebagai bagian integral dari ekosistem bisnis.
Menarik Untuk Ditonton : Cara Mengoptimalkan Affiliate Marketing
Mau Konsultasi?