Tips Bisnis ~ Bayangkan sebuah kaos polos putih sederhana dengan logo kotak merah bertuliskan *Supreme*. Jika dijual di pasar biasa mungkin hanya seharga ratusan ribu. Tapi kenyataannya, kaos itu bahkan bernilai jutaan rupiah, bahkan puluhan juta kalau masuk ke pasar *resale*. Orang rela antre berjam-jam di jalanan kota New York, dalam cuaca dingin atau panas terik, hanya untuk masuk ke toko Supreme di hari Kamis. Ada bahkan yang sampai menyewa orang lain untuk berdiri di barisan demi mendapatkan satu *hoodie* atau sepasang sepatu. Barang-barang yang kelihatan sepele—korek api, papan skateboard, bahkan bata merah dengan logo Supreme—bisa habis dalam sekejap.
Yang menarik, Supreme nyaris tidak pernah beriklan. Tidak ada *billboard* besar, tidak ada iklan TV yang mewah, tidak ada selebriti yang dibayar secara resmi untuk promosi. Namun, *hype*-nya bisa melampaui brand besar dengan budget marketing miliaran dolar. Pertanyaannya, bagaimana mungkin brand sederhana seperti itu bisa menjelma jadi ikon global? Apa rahasia di balik kekuatannya? Dan yang lebih menarik, apa sebenarnya yang mereka jual? Sekadar pakaian atau sesuatu yang jauh lebih besar?
Ternyata Supreme sejak awal tidak benar-benar menjual pakaian. Yang mereka jual adalah rasa langka, sebuah pengalaman eksklusif yang susah didapat. James Jebbia, sang pendiri, punya intuisi tajam. Nilai barang bukan hanya dari bahan atau desain, tapi dari seberapa sulit orang lain mendapatkannya. Sejak membuka toko pertamanya tahun 1994 di Lafayette Street, Soho, Jebbia sudah merancang semuanya. Produk Supreme tidak pernah diproduksi massal. Setiap Kamis pagi, toko merilis produk baru. Tidak ada promosi besar, tidak ada pengumuman resmi, tidak ada janji bahwa produk akan muncul lagi. Barang datang lalu pergi. Kalau habis, ya habis selamanya.
Supreme juga membatasi ekspansi. Selama 10 tahun pertama mereka hanya punya satu toko. Bukan karena belum siap, melainkan untuk menjaga aura eksklusif. Saat akhirnya membuka cabang di Los Angeles, Tokyo, Paris, dan London, prinsipnya tidak berubah: rilisan terbatas, lokasi eksklusif, tanpa diskon. Kolaborasi juga dijaga ketat. Supreme tidak sembarangan menggandeng brand besar. Nike, Vans, The North Face, Levi’s—semua dipilih untuk memperkuat identitas, bukan sekadar menambah penjualan.
Titik balik terjadi saat mereka berkolaborasi dengan Louis Vuitton. Sebuah peristiwa besar yang menghapus batas antara *streetwear* dan *high fashion*. Hasilnya, Supreme menjelma jadi fenomena global. Setiap Kamis, antrean panjang terbentuk di depan toko. Di dunia online, website bisa *crash* hanya dalam hitungan menit. Barang sekecil stiker atau topi bisa ludes dan langsung masuk ke pasar *resale* dengan harga berlipat. Di tangan selebriti seperti Kanye West, Lady Gaga, dan Travis Scott, logo Supreme tidak lagi sekadar logo skate, melainkan simbol status dan gaya hidup.
Mengapa strategi ini begitu ampuh? Jawabannya ada di psikologi dasar manusia. Pertama, teori *loss aversion*. Menurut riset Daniel Kahneman dan Amos Tversky, manusia cenderung lebih takut kehilangan sesuatu dibandingkan bahagia saat mendapatkannya. Dengan kata lain, rasa sakit kehilangan lebih dalam dibandingkan rasa senang saat menang. Supreme memainkan hal ini dengan cerdik: setiap produk hanya muncul sekali. Jika tidak dibeli sekarang, kesempatannya hilang selamanya. Hasilnya, orang bertindak impulsif.
Kedua, ada FOMO (*Fear of Missing Out*). Setiap Kamis pagi, para penggemar menunggu rilisan baru, bahkan tanpa tahu pasti apa yang akan keluar. Rasa penasaran bercampur ketakutan tertinggal menciptakan kebiasaan baru. Orang merasa harus hadir, harus membeli, supaya tidak ketinggalan *hype*.
Ketiga, faktor komunitas. Membeli Supreme bukan hanya soal barang, tapi tentang menjadi bagian dari lingkaran tertentu. Orang yang berhasil mendapatkan rilisan terbaru merasa lebih *in*, lebih cepat, lebih tahu dibanding yang lain. Ada status sosial yang datang bersamaan. Inilah yang disebut *tribal marketing*. Brand bukan hanya menjual produk, tapi membentuk “suku” dengan bahasa, simbol, dan ritualnya sendiri. *Drop culture* Supreme setiap Kamis adalah ritual itu. Para fans berdiri bersama, berbagi tips, bahkan membentuk komunitas *reseller*. Ada rasa kebersamaan meski yang diburu hanyalah *hoodie* atau stiker. Ekosistem ini memperkuat nilai barang. Barang yang dibeli seharga 150 dolar bisa dijual kembali 500 dolar. Beberapa rilisan langka bahkan mencapai ribuan dolar. Supreme mampu melampaui fungsi pakaian, menjelma menjadi alat tukar status sosial.
Fenomena ini sebenarnya tidak unik. Lihat saja bagaimana Apple merilis iPhone baru: setiap tahun ribuan orang rela antre semalaman di depan toko. Tesla juga pernah meluncurkan edisi terbatas Cybertruck Foundation Series yang langsung ludes. Di musik, BTS atau Blackpink merilis album dengan *photo card* terbatas yang langsung diburu ARMY dan Blink. Polanya sama: *scarcity*, komunitas, dan FOMO. Supreme hanya mengemasnya lebih ekstrem di ranah inovasi.
Namun, tidak ada strategi yang selamanya kebal. Supreme mulai menghadapi masalah serius. Pada 2020, brand ini diakuisisi VF Corporation seharga 2,1 miliar USD. Dari sisi finansial, ini pencapaian luar biasa, tapi bagi komunitas itu tanda bahaya. Supreme yang dulu lahir dari jalanan kini jadi bagian dari korporasi global. Efeknya terasa: antrean Kamis yang dulu legendaris mulai memendek, produk yang dulu langka kini lebih mudah ditemukan, bahkan masuk ke ritel-ritel besar. Pasar *resale* melemah drastis. Data dari StockX menunjukkan nilai *resale* produk Supreme anjlok dari 36% di 2020 menjadi hanya 16% di 2023. VF juga merugi, nilai brand Supreme turun 735 juta USD, dan pendapatannya anjlok 7% dalam satu tahun.
Menarik Untuk Dibaca : Cara Otak Berkerja Ketika Menunda
Di sisi komunitas terjadi *user identity conflict*. Penggemar lama merasa tersisih ketika brand yang dulu jadi simbol subkultur mereka kini dipakai kalangan arus utama. Autentisitas mulai dipertanyakan. Kolaborasi demi kolaborasi—dari Oreimo hingga mainan Tamagotchi—membuat orang bertanya: apa ini masih Supreme? Yang dulu terasa otentik kini terasa seperti komoditas. Dalam dunia *streetwear*, ketika rasa autentik hilang, sulit untuk mendapatkannya kembali.
Meski menghadapi kemunduran, Supreme belum runtuh. Brand ini masih punya *fanbase* yang setia, logo ikonik, dan sejarah yang kuat. Tapi *hype* tidak bisa bertahan hanya dengan nostalgia. Pada 2024, VF menjual Supreme ke EssilorLuxottica, perusahaan raksasa asal Prancis-Italia pemilik Ray-Ban dan Oakley. Nilai akuisisinya lebih rendah dari sebelumnya, tanda ekspektasi tidak tercapai. Namun ada harapan baru. James Jebbia tetap memimpin arah kreatif. Rilisan mingguan tetap dipertahankan, dan peluang kolaborasi dengan brand premium di bawah grup yang baru masih terbuka. Tantangan berikutnya adalah menemukan keseimbangan. Supreme harus kembali ke akar *streetwear* tanpa kehilangan momentum global. Mereka harus memperlambat ekspansi, fokus pada kualitas rilisan, dan membangun kembali koneksi emosional dengan komunitas lama.
*Scarcity* bukan lagi sekadar soal jumlah, melainkan soal cerita yang menyertainya. Jika tidak, Supreme bisa jatuh ke jebakan menjadi brand yang besar tapi kehilangan jiwa. Dan dalam industri fashion yang cepat berubah, kehilangan jiwa berarti kehilangan relevansi.
Bagaimana dengan Indonesia? Strategi kelangkaan ternyata juga banyak dipakai oleh brand lokal. Contoh paling jelas adalah Kompas, sepatu asal Bandung. Mereka membatasi produksi bukan karena kapasitas kecil, tapi untuk membangun komunitas yang setia. Setiap rilisan jadi momen spesial. Orang rela antre, bahkan tidur di depan toko hanya untuk sepasang sepatu. Ada juga Vespa 946, motor yang sejak awal dirancang untuk pasar premium. Produksinya terbatas, harganya tinggi, dan jadi simbol status di jalanan Indonesia.
Di ranah budaya, ada batik tulis Lasem atau Tanjung Bumi. Kelangkaan di sini bukan strategi, melainkan konsekuensi dari proses panjang yang penuh ketelatenan. Tiap kain jadi unik, tidak bisa digandakan secara massal. Begitu pula dengan kopi *single origin* Toraja atau Gayo. Produksinya bergantung musim, kondisi alam, dan keterampilan petani. Kelangkaannya muncul alami, dan itulah yang membuat nilainya tinggi.
Pelajarannya jelas: *scarcity* bisa menjadi kekuatan, tetapi hanya bila berakar pada kualitas, cerita, dan komunitas. Jika dibuat-buat, kelangkaan justru bisa merusak reputasi brand. Ada tiga pelajaran besar dari kisah Supreme. Pertama, *scarcity* hanya bisa berhasil bila punya makna. Supreme sukses karena lahir dari komunitas skate yang autentik. *Scarcity* mereka bukan trik semata, melainkan bagian dari identitas. Kedua, terlalu agresif mengejar pertumbuhan bisa merusak eksklusivitas. Begitu masuk ke mesin korporasi besar, Supreme kehilangan aura “tidak untuk semua orang”. Yang dulu terasa spesial berubah jadi komoditas. Ketiga, esensi eksklusivitas bukan soal jumlah barang, tapi tentang koneksi emosional. Ketika orang merasa punya ikatan personal dengan brand, kelangkaan punya arti. Tanpa ikatan itu, *scarcity* hanyalah alasan menaikkan harga.
Apa yang bisa kita lakukan? Berhentilah melihat *scarcity* hanya sebagai trik pemasaran. Gunakan *scarcity* untuk menjaga kualitas, membangun komunitas, dan memberi pengalaman eksklusif. Jangan tergoda ekspansi cepat dengan mengorbankan otentisitas. Bangun cerita yang kuat. Jaga hubungan tulus dengan komunitas. Pastikan setiap produk bukan hanya benda, tapi simbol dari nilai yang dipegang oleh brand. Biarkan kelangkaan hadir alami, bukan dipaksakan. Karena pada akhirnya, yang benar-benar istimewa bukanlah barang yang sulit dicari, melainkan barang yang punya arti ketika kita memilikinya—barang yang menghubungkan kita dengan cerita, komunitas, dan bahkan identitas diri kita sendiri.
Menarik Untuk Ditonton : Produksi Rumahan Omset Milyaran
Mau Konsultasi?