Apa itu longtail marketing? Mari kita bahas dulu konsep big head dan longtail. Dalam sebuah distribusi penjualan produk biasanya ada yang disebut big head dan longtail. Akhir-akhir ini terjadi pergeseran yang cukup signifikan, di mana kita melihat kepalanya semakin kecil dan ekornya semakin panjang. Big head biasanya dimiliki oleh mainstream brand, dikenal oleh banyak orang, populer, menjadi top of mind brand di kategorinya, dan produk-produknya adalah best seller sehingga penjualannya tinggi.
Karena itu biasanya berlaku prinsip winner takes all: market leader akan semakin mudah memenangkan market share karena sudah populer, dilihat banyak orang, dan terbukti laku. Itulah big head: kepalanya besar karena produknya best selling, brand-nya mainstream, dan market leader memiliki pangsa pasar yang besar, bisa di atas 60% di kategorinya.
Menarik Untuk Dibaca : Marketing Plan
Sebaliknya, longtail biasanya dimiliki oleh niche brand atau brand-brand yang relatif kecil. Penjualannya kecil dalam volume, tetapi mereka punya fanbase masing-masing dan biasanya merupakan challenger brand. Akhir-akhir ini, challenger brand yang berada di longtail justru semakin mendominasi market di berbagai kategori. Mengapa bisa begitu? Ada dua alasan besar: dari sisi demand dan supply.
Dari sisi demand, kita melihat tumbuhnya Gen Z yang kini mulai menggantikan milenial sebagai market dominan. Gen Z menginginkan sesuatu yang unik, berbeda dari yang pasaran. Karena itu, brand-brand big head biasanya tidak menarik untuk mereka. Mereka lebih senang dengan brand-brand longtail yang penjualannya kecil sehingga produk tersebut tidak pasaran.
Identitas pribadi dan komunitas mikro sangat penting bagi Gen Z. Mereka juga cenderung lebih menyukai brand lokal dibanding global brand yang terlihat di mana-mana, demi menjaga keunikan identitas. Hal ini difasilitasi oleh kenyamanan mereka berbelanja online. Produk-produk niche yang sulit dijual di toko fisik kini dapat dengan mudah ditemukan dan dibeli melalui marketplace atau e-commerce.
Dari sisi supply, digital channel memberikan ruang agar brand longtail bisa tumbuh. Distribusi fisik yang mahal membuat brand kecil sulit masuk ke grosir, retail, apalagi warung. Online channel dan marketplace memungkinkan mereka menjangkau pasar luas dengan biaya distribusi yang rendah. Selain itu, konten marketing yang murah dan fleksibel membantu longtail brand tumbuh. Konten organik yang bagus bisa menyebar luas tanpa biaya besar. Iklan berbayar pun sifatnya variabel—pay per click atau pay per action—sehingga cocok untuk produk dengan penjualan terbatas.
Format konten yang pendek, mikro, dan cepat berganti tren juga membuat semakin banyak produk kecil yang bisa ikut arus. Ditambah lagi, algoritma platform sosial media dan marketplace mendukung produk-produk yang engagement-nya bagus. Produk dengan banyak klik dan interaksi akan terus dipromosikan ke audiens serupa, memberi longtail brand panggung yang semakin besar.
Akibatnya, fokus marketing bergeser dari big head menuju longtail. Lantas apa perubahan marketing yang terjadi? Mari kita lihat melalui framework 4P Marketing Mix: Product, Price, Place, dan Promotion. Saya biasanya membaginya menjadi dua kelompok: What to offer (Product & Price) dan How to offer (Place & Promotion).
Dari sisi produk, tren bergeser ke small volume variants. Bestseller tetap ada, tetapi volumenya makin kecil. Varian semakin banyak di kategori makanan, minuman, skincare, personal care, bahkan otomotif. Banyaknya varian membuat distribusi, inventory management, dan biaya menjadi lebih kompleks. Produk juga semakin mengarah ke customization dan personalization agar terlihat unik tanpa harus membuat biaya produksi terlalu tinggi.
Dari sisi harga, pricing menjadi semakin dinamis. Harga bisa berubah tergantung waktu pembelian, bukan hanya di industri penerbangan atau perhotelan, tetapi juga di banyak kategori lain, termasuk live streaming sales. Selain itu, harga semakin berjenjang (multiple tiers) untuk mengakomodasi mikro-segmen dengan willingness to pay yang berbeda-beda.
Dari sisi distribusi, terjadi pergeseran ke omni-channel. Physical channel tetap penting, tetapi inventory sebagian besar disimpan di gudang dan fulfillment dilakukan secara online. Banyak brand memanfaatkan popup store sebagai tempat bertemu konsumen secara tatap muka, tetapi transaksi dan pemenuhan tetap berbasis digital. Marketplace menjadi kanal penting untuk brand UMKM yang tidak memiliki sumber daya membangun direct-to-consumer channel sendiri.
Dari sisi promosi, komunikasi kini digital first. Dulu TVC menjadi jangkar utama, kini justru digital ads yang didesain lebih dulu. Konten marketing dan micro/nano influencer menjadi senjata utama karena lebih efektif membangun engagement di komunitas kecil, sesuai dengan sifat pasar longtail yang mikro dan personal.
Kesimpulannya, segmen pasar kini semakin mikro. Produk semakin banyak varian, harga semakin variatif dan dinamis, distribusi harus omni-channel agar efisien, dan komunikasi harus berbasis digital dengan konten yang relevan dan personal. Inilah sebabnya marketing tidak akan pernah sama lagi.
Menarik Untuk Ditonton : Pasangan Kompak Kembangkan Bisnis
Mau Konsultasi?