Tips Bisnis ~ Siapa sih yang tidak suka diskon? Konsumen jelas sangat menyukainya. Jika konsumen senang dengan diskon dan akhirnya membeli, brand owner pun ikut senang. Namun, diskon juga punya risiko, apalagi jika dilakukan terlalu sering. Pertanyaannya, bagaimana jika sudah terlanjur bergantung pada diskon? Ini penting untuk dipahami. Diskon memang sejalan dengan program besar otak manusia: mencari kesenangan (pleasure) dan menghindari rasa sakit (avoid pain). Diskon memberikan kesenangan karena produk yang sama bisa dibeli lebih murah. Tetapi, setelah momen diskon lewat, sering muncul rasa sakit: “Kenapa kemarin tidak beli saat diskon? Sayang sekali.” Akhirnya, ketika diskon datang lagi, orang terdorong membeli. Inilah siklus yang membuat diskon menarik sekaligus berisiko.
Salah satu risiko utama adalah adaptasi manusia. Apa pun yang awalnya menyenangkan, jika terlalu sering diberikan, lama-lama jadi biasa saja. Makanan seenak apa pun jika dimakan setiap hari akan terasa enek. Begitu juga dengan produk. Awalnya sangat ingin membeli, begitu dapat dipakai dengan penuh antusias, tapi lama-lama jadi masa bodoh. Sama halnya dengan diskon. Awalnya memberi rasa senang, tapi lama-kelamaan diskon yang sama tidak lagi terasa istimewa. Konsumen butuh diskon yang lebih besar untuk merasakan excitement yang sama. Masalahnya, sampai kapan diskon bisa terus ditingkatkan?
Lebih berbahaya lagi, diskon dapat mengalihkan fokus konsumen dari kualitas brand ke harga transaksional. Semakin sering brand memberi diskon, semakin konsumen menilai brand hanya dari segi harga, bukan nilai atau kualitasnya. Apalagi jika brand equity belum terbentuk, konsumen hanya melihat diskonnya. Ini terkait dengan perbedaan antara social norm dan market norm. Social norm berlaku saat hubungan bersifat non-transaksional, sementara market norm berlaku saat segalanya dinilai secara transaksional. Jika brand terlalu sering bermain diskon, maka ia dibangun di atas market norm. Akibatnya, ketika diskon hilang, daya tarik brand juga ikut hilang. Karena itu, brand besar jarang mengandalkan diskon. Lihat saja brand luxury: hampir tidak pernah main diskon, karena mereka menjaga value dan persepsi. Sebaliknya, brand yang masih biasa-biasa saja cenderung sering bermain diskon.
Masalahnya, banyak pemilik bisnis membangun usaha tanpa brand yang kuat. Diskon sering jadi alat utama untuk mencetak traction awal. Lalu setelah bisnis berjalan, baru sadar pentingnya membangun brand. Celakanya, begitu mendengar diskon berbahaya bagi brand, banyak yang buru-buru menghentikannya secara drastis. Akibatnya penjualan drop, bahkan bisnis oleng. Padahal, tidak pernah ada saran untuk menghentikan diskon mendadak, terutama bagi brand yang sudah terlanjur bergantung pada diskon. Sama seperti kecanduan rokok atau kopi, berhenti mendadak memang menyakitkan. Begitu juga dengan bisnis yang sudah kecanduan diskon: menghentikan tiba-tiba membuat sales jatuh dan akhirnya kembali lagi ke diskon.
Menarik Untuk Dibaca : Strategi Promo Tanpa Diskon
Lalu bagaimana solusinya? Pertama, lakukan evaluasi. Lihat data: diskon mana yang benar-benar membawa hasil dan mana yang tidak. Diskon yang tidak berdampak signifikan pada sales sebaiknya dihentikan karena hanya merusak brand. Yang masih efektif bisa dilanjutkan sementara, tapi secara bertahap dibuat lebih jarang. Dengan cara ini, diskon mulai berkurang secara alami. Kedua, ubah diskon menjadi voucher yang lebih personal. Artinya, hanya segmen tertentu yang menerima insentif, misalnya calon pelanggan baru yang masih perlu dorongan untuk mencoba. Jangan semua orang mendapat diskon, karena akan merugikan bisnis. Strategi ini sudah digunakan oleh e-commerce dan layanan ride-hailing: voucher hanya muncul untuk user tertentu berdasarkan data konsumsi mereka.
Selain itu, periode diskon juga bisa dipendekkan atau dibuat tidak berpola agar konsumen tidak bisa memprediksi kapan diskon muncul. Misalnya dari periode 1 minggu menjadi hanya 3 hari. Strategi ini memang butuh mental kuat karena sales berpotensi turun sementara, tapi dalam jangka panjang bisa membuat konsumen terbiasa dengan harga normal. Hati-hati juga dengan diskon yang hanya memindahkan waktu pembelian, seperti diskon “payday” yang sebenarnya hanya menggeser penjualan, bukan menambah.
Strategi ini ibarat kodok di panci. Jika langsung dimasukkan ke air panas, ia akan meloncat. Tapi jika dimasukkan ke air dingin yang dipanaskan pelan-pelan, ia tidak sadar hingga terperangkap. Begitu pula dengan diskon: kurangi secara bertahap, hingga konsumen terbiasa dengan harga normal tanpa sadar. Tentu tetap ada risiko sales drop, tapi inilah harga dari detoks diskon. Pilihannya jelas: berani melalui masa sulit demi kesehatan brand jangka panjang, atau tetap kecanduan diskon meski merugikan di masa depan.
Yang paling penting adalah membangun brand. Harga dan brand saling memengaruhi, tapi brand memiliki daya ungkit lebih kuat. Brand yang solid membuat produk tetap laku meski harganya lebih tinggi. Sebaliknya, produk murah pun bisa sepi jika brand-nya lemah. Banyak kasus menunjukkan, begitu diskon dihentikan sementara brand tidak pernah dibangun, maka sales langsung anjlok. Karena itu, amannya adalah membangun brand terlebih dahulu, sambil secara bertahap mengurangi diskon. Dengan strategi ini, transisi bisa lebih mulus, risikonya lebih kecil, dan bisnis bisa lebih sehat dalam jangka panjang.
Menarik Untuk Ditonton : Cara Menghitung Upah Pekerja
Mau Konsultasi?