Dulu saya menjalani hidup yang terlihat mapan. Gaji tetap, lingkungan profesional, fasilitas lengkap. Saat itu saya bekerja di sebuah bank BUMN. Karier pun sedang berada di titik prospek yang cerah. Bahkan penempatan terakhir, saya ditugaskan di kantor cabang luar negeri, tepatnya di Singapura, dengan fasilitas yang menurut saya sangat lengkap. Secara materi, saya tidak kekurangan apa pun. Tapi tiap minggu malam, rasa cemas mulai muncul. Setiap Senin pagi, rasanya seperti sedang dihukum. Awalnya saya pikir mungkin saya yang kurang bersyukur, tapi makin lama saya sadar: meskipun uang bisa membuat nyaman, ternyata ia juga bisa menjauhkan kita dari diri kita sendiri.
Pernah juga enggak teman-teman merasa seperti ini: “Kalau aku enggak ikut sekarang, kayaknya bakal ketinggalan, bakal nyesal nanti.” Itu yang saya rasakan ketika tren tanaman hias sedang naik-naiknya. Waktu itu, harga per daun bisa mencapai ratusan juta. Saya pernah membeli satu pot berisi tiga daun seharga Rp150 juta—berarti satu daun harganya Rp50 juta. Dan saya tidak hanya beli satu pot. Waktu itu saya berpikir, kalau satu daun bisa tumbuh tiap dua bulan, sama saja seperti mesin uang. Rasanya masuk akal, apalagi banyak orang bilang, “Sur, ini investasi loh.” Saya lihat banyak postingan orang yang untung ratusan juta dalam waktu singkat, dan saya takut ketinggalan potensi itu.
Menarik Untuk Dibaca : Bagaimana Mengelola Hutang Usaha ?
Hari ini saya sadar, yang saya lakukan waktu itu bukan investasi, tapi judi. Saya memakai uang tabungan, berharap harga naik, berharap ada orang lain membeli lebih mahal. Padahal saya tidak paham ilmunya, tidak tahu supply dan demand tanaman hias, bahkan belum mengerti cara merawatnya. Saya hanya ikut tren dan berharap cuan. Kalau kita tidak hati-hati, kita bisa menjadi budak uang, sambil merasa terus mengejarnya. Di titik itu, saya mulai mencari, belajar dari nol, dan buku ini menjadi salah satu pintu masuk paling membuka mata.
Buku itu adalah The Psychology of Money. Dalam bahasa Indonesia, buku ini membahas psikologi kita di balik keputusan-keputusan keuangan. Isinya bukan cara cepat kaya atau rumus keuangan rumit, tapi mengupas kenapa kita sering membuat keputusan yang merugikan diri sendiri: kenapa kita gampang ikut tren, kenapa semakin banyak uang justru makin takut kehilangannya, kenapa banyak orang malu membicarakan uang, dan yang paling penting, bagaimana membangun hubungan yang sehat dengan uang.
Penulisnya, Morgan Housel, mengatakan bahwa orang yang sukses secara finansial bukan karena lebih pintar, tapi karena lebih sadar terhadap perilaku keuangannya. Inilah yang disebutnya sebagai psychology of money. Buku ini membuka mata saya lewat kasus-kasus sederhana tapi relevan.
Kasus pertama: gaji naik, gaya hidup ikut naik, tabungan tetap nol. Ada orang yang bekerja di perusahaan multinasional. Gajinya naik signifikan tiap tahun, tapi setiap ditanya soal tabungan, dia hanya tersenyum kecut. “Gajiku dua digit, tapi akhir bulan tetap ngos-ngosan.” Kenapa? Karena saat gaji naik, kebutuhan sebenarnya tidak bertambah, tapi keinginan yang membengkak. Inilah yang disebut inflasi gaya hidup—merasa berhak menikmati lebih, tapi tanpa sadar terjebak pola konsumsi tinggi.
Kasus kedua: ikut-ikutan investasi karena takut ketinggalan (fear of missing out). Sama seperti pengalaman saya di tren tanaman hias, banyak orang terjun ke saham, kripto, atau reksadana bukan karena paham, tapi takut tertinggal. Ada yang beli saham hanya karena melihat story teman atau influencer, tanpa tahu perusahaan apa yang dibeli. Saat harga turun lebih dari setengah, panik, lalu menjual rugi. Sejak itu trauma, padahal yang salah bukan investasinya, tapi cara masuknya.
Kasus ketiga: berutang demi harga diri. Ada ibu rumah tangga yang merasa malu jika anaknya tidak memakai barang branded, meski keuangan pas-pasan. Ia berutang demi gengsi yang hanya bertahan sebentar. Ini terjadi karena tekanan sosial yang kita anggap wajar. Buku ini mengingatkan bahwa banyak keputusan keuangan diambil bukan berdasarkan logika, tapi emosi.
Kasus keempat: kerja keras bertahun-tahun tapi tetap merasa tidak aman. Ada bapak-bapak berusia 40-an yang sudah punya rumah, motor, dan tabungan. Secara angka cukup, tapi tetap cemas: “Kalau besok sakit gimana? Kalau anak kuliah di luar kota bagaimana?” Rasa tidak aman itu berasal dari luka masa lalu—pengalaman hidup susah—yang membentuk pola pikirnya hingga sekarang.
Setiap kasus ini membuktikan bahwa keputusan finansial bukan hanya soal pengetahuan, tapi juga luka batin, tekanan sosial, dan cara kita memandang hidup. Buku ini membantu kita memahami bahwa sering kali keputusan finansial diambil secara emosional, bukan rasional.
Dari buku ini, saya mendapat tiga pelajaran besar. Pertama, uang bukan soal pintar, tapi soal perilaku. Banyak orang cerdas kesulitan secara finansial, sementara yang pendidikannya biasa justru bisa menabung dan membangun usaha. Bedanya, ada yang sabar melihat orang lain foya-foya, bisa menabung sedikit demi sedikit, tidak tergoda diskon, dan berani menolak ajakan boros. Hal-hal seperti ini tidak diajarkan di sekolah, tapi justru membentuk fondasi sikap kita terhadap uang.
Kedua, keberuntungan dan risiko datang beriringan. Kisah Bill Gates adalah contoh: ia sukses salah satunya karena bersekolah di tempat yang punya akses komputer—hal langka di zamannya. Tapi ada teman sekolahnya yang sama cerdasnya, meninggal muda karena kecelakaan, dan kita tak pernah mendengar namanya. Artinya, kesuksesan adalah pertemuan usaha dan keberuntungan; kegagalan bisa terjadi bukan karena malas, tapi karena nasib. Jadi, jangan sombong saat berhasil, dan jangan merasa gagal jika belum berhasil.
Ketiga, tujuan uang bukan sekadar menjadi kaya, tapi menjadi bebas. Apa gunanya uang banyak kalau tidak pernah merasa cukup? Banyak orang mengejar penghasilan lebih besar untuk merasa bahagia, tapi ketika target tercapai, melihat orang lain lebih kaya, mereka merasa kurang lagi. Uang akan selalu kurang kalau yang dikejar adalah rasa “lebih” dari orang lain. Kekayaan sejati adalah kemampuan berkata “tidak” pada hal-hal yang tidak sesuai nilai hidup kita, bangun pagi dan memilih menjalani hidup sesuai keinginan, tanpa tekanan.
Karena sesungguhnya, kita tidak perlu lebih banyak uang—yang kita butuhkan adalah cara baru memandang uang.
Menarik Untuk Ditonton : Cara Menghitung BEP dan Target Omset
Mau Konsultasi?