Perkenalkan, Nama saya Rieke Avianita, anak kedua dari tiga bersaudara, saya besar dalam lingkungan yang unik: perpaduan antara dunia perdagangan dan dunia akademik. Ayah saya seorang pendidik yang disiplin, sementara ibu saya adalah figur perempuan yang ulet dan terbiasa menjalankan usaha di rumah. Kombinasi ini membentuk karakter saya sejak dini berpikir sistematis, namun tetap luwes dalam membaca peluang.
Saya tumbuh dalam suasana rumah yang penuh dinamika, tempat diskusi dan semangat bekerja berdampingan. Sejak kecil saya terbiasa menyaksikan ibu saya melayani pelanggan yang datang silih berganti. Dari situlah saya belajar bahwa membangun relasi yang baik, menjaga kepercayaan, dan bekerja keras adalah nilai-nilai penting dalam kehidupan. Ayah saya di sisi lain, membekali saya dengan prinsip-prinsip berpikir rasional dan pentingnya ilmu pengetahuan. Beliau selalu menekankan bahwa perempuan tidak boleh bergantung pada siapa pun, bahwa saya harus menjadi pribadi yang mandiri dan tangguh, apa pun kondisinya.
Sejak duduk di bangku sekolah menengah, saya mulai menyukai dunia usaha. Bukan karena terpaksa, tetapi karena saya merasa tertantang dan tertarik untuk mencoba. Saya memulai dengan menjadi perantara penjualan alat-alat kebersihan ke beberapa kantor kecil dan rumah tangga di sekitar tempat tinggal saya. Modalnya sangat minim, hanya kemauan dan relasi yang saya bangun dari lingkaran terdekat. Dari sana saya belajar tentang pengelolaan stok, margin keuntungan, dan pentingnya menjaga kualitas barang.
Setelah itu, saya mencoba menjual minuman kemasan dan beras organik. Segmentasinya pun berubah: saya menargetkan mahasiswa dan pekerja muda yang mulai peduli dengan gaya hidup sehat. Meski skalanya masih sangat kecil, saya mulai merasakan bagaimana strategi pemasaran sederhana seperti testimoni pelanggan dan komunikasi yang jujur dapat memengaruhi penjualan. Saya juga terbiasa menghadapi risiko, seperti produk yang tidak laku, pelanggan yang membatalkan pesanan, hingga kesulitan logistik. Namun dari semua itu, saya tidak pernah berhenti belajar dan terus mencoba memperbaiki pendekatan saya.
Lingkungan tempat saya dibesarkan sangat mendukung semangat kemandirian. Saya tidak hanya diajarkan untuk mandiri secara finansial, tetapi juga secara emosional. Ketika banyak teman seusia saya lebih memilih menghabiskan waktu untuk hal-hal yang ringan, saya justru merasa lebih bersemangat saat berhasil menutup transaksi atau ketika ada pelanggan yang puas dengan pelayanan saya.
Didikan keras namun penuh kasih dari orang tua membuat saya terbiasa menyusun prioritas, mengatur waktu, dan berani mengambil keputusan. Nilai-nilai ini menjadi fondasi ketika saya memasuki fase kehidupan baru: pernikahan. Saya menikah dengan seorang anggota TNI yang memiliki tanggung jawab besar sebagai penerbang pesawat Hercules. Profesi suami saya membuatnya kerap ditugaskan ke luar kota bahkan ke luar negeri dalam waktu yang tidak sebentar. Situasi ini memaksa saya untuk benar-benar mandiri, baik dalam mengurus rumah tangga maupun dalam mengambil keputusan penting dalam hidup.
Saya menjalani peran sebagai istri prajurit sekaligus ibu dari tiga anak dengan segala tantangannya. Saat banyak orang memiliki pasangan yang selalu hadir secara fisik, saya harus membiasakan diri untuk menjalani hari-hari sendiri, termasuk dalam momen-momen penting anak-anak. Dari sini saya belajar bahwa menjadi perempuan tangguh bukan sekadar pilihan, melainkan keharusan. Tidak ada ruang untuk mengeluh terlalu lama. Yang ada hanyalah langkah ke depan yang harus terus saya ambil demi keluarga dan diri saya sendiri.
Situasi ini pula yang semakin menguatkan tekad saya untuk terus menekuni dunia usaha. Saya yakin bahwa perempuan bisa berkarya dan mandiri tanpa harus meninggalkan perannya dalam keluarga. Saya ingin membuktikan bahwa dengan niat baik, kerja keras, dan keberanian untuk terus belajar, saya dapat membangun sesuatu yang bermakna, tidak hanya untuk saya pribadi, tetapi juga untuk orang-orang di sekitar saya.
Semua pengalaman masa kecil, nilai-nilai keluarga, hingga dinamika kehidupan pernikahan menjadi bagian tak terpisahkan dari jati diri saya hari ini. Mereka membentuk saya menjadi pribadi yang tidak hanya berpikir realistis, tetapi juga selalu terbuka terhadap peluang. Dan dari situlah, langkah pertama saya dalam membangun usaha KudapanNesia dimulai, bukan karena saya ingin terkenal, tetapi karena saya ingin memberikan yang terbaik dari diri saya kepada keluarga, masyarakat, dan negeri ini.
Keluarga kami mempunyai toko kue dan roti sudah sejak lama, tepatnya Ibu saya yang mendirikan toko tersebut, Saya masih ingat betul ketika pertama kali mengenal dunia usaha secara langsung. Saat itu saya duduk di bangku sekolah menengah, dan di waktu luang saya sering memperhatikan ibu saya melayani pelanggan yang datang ke rumah. Ibu memang tidak memiliki toko besar, tapi ia sangat tekun mengelola usaha rumahan yang sudah bertahun-tahun dijalankan. Semuanya ia kerjakan dengan hati-hati dan penuh semangat. Saya tidak hanya melihat proses jual-belinya, tetapi juga ikut membantu. Dan di situlah, benih semangat wirausaha dalam diri saya mulai tumbuh.
Rasa penasaran saya pada dunia bisnis semakin kuat. Saya tidak puas hanya melihat atau membantu. Saya ingin mencoba sendiri, menjalankan usaha dari awal dengan tangan saya sendiri. Maka saya memulai dari yang paling sederhana: menjadi perantara atau supplier alat-alat kebersihan ke beberapa kantor dan rumah tangga di lingkungan saya. Modal saya saat itu hanyalah keberanian dan relasi. Saya mendatangi tetangga-tetangga yang bekerja di perkantoran, menawarkan produk seperti sabun pembersih, pel, kain lap, dan lainnya. Saya menyampaikan bahwa saya bisa mencarikan barang dengan harga lebih murah, tetapi kualitas tetap terjaga.
Tentu saja tidak semua orang langsung percaya. Ada yang menolak dengan halus, ada juga yang meremehkan. Tapi saya tidak menyerah. Saya belajar bahwa dalam bisnis, hal pertama yang harus dibangun adalah kepercayaan. Maka saya berusaha menjaga setiap janji. Jika saya mengatakan barang akan datang hari Jumat, maka saya akan memastikan hari Kamis sore semuanya sudah siap. Jika ada produk yang kurang bagus, saya bertanggung jawab dan mengganti. Lambat laun, pelanggan mulai bertambah. Saya tidak mendapat keuntungan besar, tetapi saya memperoleh pelajaran berharga: konsistensi lebih penting dari apapun.
Setelah beberapa bulan, saya mulai berpikir untuk mencoba produk lain. Kali ini saya mencoba menjual minuman kemasan. Kebetulan, di salah satu sudut kota ada distributor yang membuka harga khusus untuk pembelian dalam jumlah tertentu. Saya menyisihkan uang dari keuntungan sebelumnya, lalu membeli beberapa dus minuman kemasan. Target pasar saya adalah warung-warung kecil dan penjual kaki lima. Saya mendatangi mereka satu per satu, menawarkan minuman dengan harga yang sedikit lebih rendah dari harga pasar. Saya membawa barang dengan motor, kadang harus bolak-balik dua atau tiga kali dalam sehari. Capek? Pasti. Tapi saya merasa puas karena bisa menjalankan sesuatu dari hasil kerja keras sendiri.
Namun tidak semua usaha berjalan mulus. Pernah suatu kali saya terlalu banyak membeli satu jenis minuman yang ternyata kurang diminati. Dus demi dus menumpuk di rumah dan mulai mendekati masa kedaluwarsa. Saya sempat panik, tapi itu juga menjadi pelajaran penting. Saya belajar bahwa riset pasar, sekecil apapun, sangat penting. Sejak itu, saya tidak lagi membeli barang dalam jumlah besar sebelum benar-benar memahami kebiasaan konsumsi pelanggan.
Setelah fase minuman kemasan, saya sempat berhenti sejenak karena harus fokus pada pendidikan. Tapi semangat berdagang itu sudah terlanjur mendarah daging. Begitu saya punya waktu dan kesempatan, saya kembali mencoba menjual produk lain, kali ini beras organik. Saya tertarik karena pada masa itu, tren gaya hidup sehat mulai berkembang. Banyak orang mulai sadar akan pentingnya pola makan sehat, dan beras organik menjadi salah satu pilihan yang populer. Saya mendapat akses ke petani lokal yang menjual beras dengan kualitas baik, namun belum memiliki jalur distribusi yang luas.
Saya melihat peluang di kalangan mahasiswa dan dosen di kampus tempat saya belajar. Saya mulai membawa beberapa kilogram beras dalam kemasan sederhana dan menawarkannya ke teman-teman dan beberapa dosen. Responnya cukup baik. Banyak dari mereka tertarik karena merasa lebih nyaman membeli dari orang yang mereka kenal. Saya bahkan sempat menerima pesanan rutin dari salah satu keluarga dosen yang setiap dua minggu membeli 10 kilogram beras dari saya. Pengalaman ini mengajarkan saya tentang pentingnya membangun relasi yang jujur dan saling percaya.
Saya tidak punya toko, tidak punya tempat penyimpanan besar, dan tidak punya sistem logistik canggih. Tapi saya punya semangat. Saya percaya bahwa asal saya menjaga integritas, pelanggan akan datang kembali. Bahkan ketika beberapa dari mereka pindah rumah atau berhenti memesan, mereka masih sering merekomendasikan saya ke teman atau kenalan mereka. Rantai pemasaran dari mulut ke mulut itu sangat efektif, dan menjadi salah satu kekuatan utama dalam perjalanan bisnis kecil saya saat itu.
Saya belajar banyak hal dari perjalanan ini. Pertama, tentang ketekunan. Dunia usaha tidak pernah mudah. Ada hari-hari ketika penjualan turun drastis, ada pula hari-hari ketika saya harus menolak pesanan karena stok tidak mencukupi. Kedua, tentang pengelolaan keuangan. Saya belajar mencatat pemasukan dan pengeluaran, sesederhana mencatatnya di buku tulis. Saya menyadari bahwa memahami alur uang adalah kunci bertahan. Ketiga, tentang melayani. Saya belajar bahwa pelanggan bukan hanya membeli produk, tetapi juga pengalaman. Mereka ingin dihargai, ingin dilayani dengan ramah, dan ingin dipahami.
Dan terakhir, saya belajar bahwa menjadi pelaku usaha sejak remaja memberi saya banyak keunggulan. Saya tumbuh menjadi pribadi yang lebih percaya diri, lebih tangguh, dan lebih berani mengambil keputusan. Semua pengalaman itu menjadi bekal ketika saya memulai usaha yang lebih besar di kemudian hari.
Dari alat kebersihan, minuman kemasan, hingga beras organic, semuanya mungkin terlihat kecil dan sederhana. Tapi bagi saya, itu adalah tahapan-tahapan yang sangat penting. Karena dari situlah saya belajar cara berdiri di atas kaki sendiri, dan merintis jalan menuju cita-cita yang lebih besar.
Membangun Vanilla Taste Bakery bukanlah keputusan yang tiba-tiba. Keputusan itu lahir dari serangkaian pengalaman panjang, kebiasaan masa kecil, serta pengaruh lingkungan keluarga yang kuat. Sejak kecil, saya sudah akrab dengan aroma roti yang baru keluar dari oven. Ayah dan ibu saya memiliki usaha toko roti dan kue kecil-kecilan di lingkungan tempat kami tinggal. Toko itu tidak besar, tapi cukup ramai dan menjadi langganan warga sekitar, terutama di hari-hari besar seperti lebaran dan Natal.
Saya masih mengingat jelas bagaimana pagi-pagi buta, ibu saya mulai sibuk di dapur. Adonan disiapkan dengan penuh ketelatenan. Saya sering ikut membantu meski hanya mengoles permukaan roti dengan telur atau menyusun kue-kue dalam box. Tanpa saya sadari, proses itu membentuk kepekaan dan kecintaan saya terhadap dunia baking. Saya belajar mengenali perbedaan tekstur adonan, mencium apakah roti sudah matang sempurna, dan yang terpenting: merasakan kehangatan yang hadir dari sebuah produk buatan tangan.
Namun, meskipun sudah terbiasa dengan suasana toko roti, saya tidak langsung memilih jalur yang sama saat memulai usaha. Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, saya sempat menjajal berbagai usaha kecil. Tapi benih kecintaan terhadap baking itu tidak pernah benar-benar padam. Hingga akhirnya, ketika saya sedang menjalani peran sebagai istri sekaligus ibu, saya merasa ada panggilan kuat untuk memulai sesuatu yang lebih personal, lebih dekat dengan apa yang saya cintai sejak kecil.
Saya memutuskan untuk kembali ke dapur, bukan untuk membantu ibu saya, tetapi sebagai pelaku utama. Saya mulai bereksperimen dengan resep-resep lama yang tersimpan di buku tulis ibu saya. Saya menggabungkan resep warisan keluarga dengan tren rasa dan presentasi modern.
Sebelum benar-benar membuka usaha, saya melakukan riset kecil-kecilan. Saya bertanya kepada teman-teman dan tetangga tentang preferensi mereka terhadap kue rumahan. Saya juga membuat sampel dan membagikannya secara gratis kepada beberapa orang terdekat untuk diminta feedback-nya. Dari situ saya tahu bahwa yang mereka cari bukan hanya rasa, tetapi juga tampilan dan kemasan yang menarik. Maka saya mulai merancang logo sederhana, mendesain label sendiri, dan membeli kemasan.
Langkah pertama yang saya ambil adalah membuka toko kecil yang merangkap sebagai tempat produksi. Saya mengirimkan katalog dan sampel produk ke teman-teman terdekat, komunitas ibu-ibu sekolah anak, kantor pemerintahan dan beberapa kenalan keluarga. Responsnya sangat positif. Saya tidak menyangka bahwa pesanan akan datang cukup banyak, padahal saya belum melakukan promosi besar-besaran. Dari situ saya mulai menyusun jadwal produksi dan pengiriman secara rutin. Di toko tersebut tidak hanya menjadi tempat berjualan dan produksi, tapi juga menjadi tempat saya membangun tim. Saya mulai merekrut dua orang tambahan: satu orang untuk bagian produksi dan satu lagi untuk bagian pengemasan dan administrasi.
Ketika pesanan mulai stabil dan bahkan meningkat dari bulan ke bulan, saya menyadari bahwa saya butuh sistem. Maka saya mulai mencatat setiap transaksi dalam buku keuangan, menghitung biaya bahan baku, menentukan harga jual yang rasional, serta mulai membagi waktu lebih terstruktur antara keluarga dan bisnis. Di saat inilah saya memutuskan untuk memberi nama usaha saya: Vanilla Taste Bakery. Nama ini saya pilih karena “vanilla” bagi saya adalah simbol dari rasa yang sederhana tapi disukai semua orang, netral, familiar, dan bisa dikreasikan ke banyak arah.
Tahun pertama berjalan dengan baik. Saya mulai menerima pesanan untuk acara kantor dan pesanan ulang tahun. Setiap kesempatan saya ambil sebagai peluang. Saya tidak hanya menjual produk, tapi juga menyertakan cerita di baliknya. Setiap kotak kue berisi secuil kisah tentang kerja keras dan tentang keberanian.
Tahun kedua, saya mulai ikut serta dalam bazar UMKM lokal. Saya membawa produk Vanilla Taste Bakery ke event-event komunitas, pameran kecil, dan even sekolah. Dari situ saya mendapat banyak koneksi dan masukan yang luar biasa berharga. Beberapa kali saya diajak kerja sama oleh sesama pelaku UMKM, ada yang ingin menjualkan produk saya di toko mereka, ada pula yang meminta saya memproduksi secara private label.
Masuk ke tahun ketiga, saya membuka cabang kedua di area kota yang lebih ramai. Lokasi ini saya pilih karena berada di dekat kompleks perkantoran dan kampus. Segmentasi pasar di area ini sangat cocok dengan produk-produk premium saya. Saya juga mulai menyusun tim marketing kecil-kecilan, termasuk membuka akun media sosial yang lebih aktif. Saya belajar membuat konten, memahami algoritma Instagram, dan mulai beriklan dengan budget terbatas.
Dengan pertumbuhan yang stabil, saya bisa membuka cabang ketiga dan keempat di tahun keempat dan kelima. Setiap cabang memiliki minimal 4-5 karyawan. Total tim saya saat itu mencapai lebih dari 20 orang, termasuk bagian produksi, admin, pengemasan, pengiriman, dan media sosial. Saya mulai membuat struktur organisasi sederhana, membagi tugas secara lebih jelas, dan mulai menerapkan sistem operasional standar.
Meskipun usaha ini sudah memiliki bentuk yang lebih mapan, saya tetap tidak melupakan nilai-nilai awal yang saya pegang sejak kecil: ketulusan, kualitas, dan keterlibatan. Saya masih sering turun langsung ke dapur, ikut mengawasi proses produksi, dan sesekali ikut serta membalas pesan dari pelanggan. Saya percaya bahwa bisnis yang besar dimulai dari perhatian terhadap hal-hal kecil.
Perjalanan mendirikan Vanilla Taste Bakery bukan hanya soal memproduksi dan menjual kue. Ini adalah perjalanan membangun kepercayaan, membentuk tim, belajar dari kegagalan, dan terus beradaptasi dengan perubahan pasar. Setiap langkah yang saya ambil membawa saya lebih dekat pada mimpi saya: menjadikan produk rumahan sebagai sesuatu yang bernilai tinggi, elegan, dan dibanggakan.
Dari hanya satu oven dan satu spatula, kini Vanilla Taste Bakery telah menjadi tempat bernaung bagi lebih dari 20 orang, dan telah melayani ribuan pelanggan dari berbagai kota. Saya tidak menyangka bahwa apa yang saya mulai dari dapur rumah, dengan semangat dan keberanian, bisa tumbuh sejauh ini. Tapi saya percaya, selama kita tidak berhenti belajar dan menjaga kualitas, segala sesuatu mungkin terjadi.
Kisah Vanilla Taste Bakery adalah kisah tentang keberanian memulai, tentang bagaimana warisan keluarga bisa menjadi fondasi untuk membangun sesuatu yang lebih besar. Dan di balik semua pencapaian itu, saya hanya seorang perempuan yang ingin menghadirkan kehangatan melalui sepotong kue, seperti yang dulu ibu saya lakukan di dapur kecil kami.
Menjadi seorang istri prajurit TNI adalah sebuah kehormatan sekaligus tantangan yang tidak semua orang bisa pahami sepenuhnya. Suami saya adalah seorang penerbang pesawat Hercules, profesi yang penuh risiko, dedikasi, dan pengorbanan waktu. Dalam banyak hal, peran ini membentuk kehidupan keluarga kami dalam ritme yang tidak biasa. Penugasan yang mendadak, perjalanan dinas yang berlangsung berhari-hari bahkan berminggu-minggu, serta kemungkinan berpindah-pindah tempat tinggal adalah hal yang harus saya hadapi dengan kepala tegak.
Sejak awal pernikahan, saya sudah menyadari bahwa peran saya sebagai istri tidak akan sama seperti kebanyakan perempuan lainnya. Saya harus siap menjalani hari-hari seorang diri, mengurus anak-anak, mengambil keputusan rumah tangga, bahkan menghadapi tantangan emosional tanpa kehadiran fisik pasangan. Namun, saya tidak pernah merasa menjadi korban keadaan. Justru dari situ, saya belajar menjadi pribadi yang lebih kuat, lebih mandiri, dan lebih sabar.
Menjalankan Vanilla Taste Bakery di tengah kondisi ini tentu bukan perkara mudah. Saya harus membagi waktu dan energi dengan sangat hati-hati. Di satu sisi, saya ingin menjadi ibu dan istri yang hadir secara penuh untuk keluarga. Di sisi lain, saya punya tanggung jawab moral dan profesional terhadap bisnis yang telah saya bangun dengan penuh perjuangan. Kuncinya ada pada manajemen waktu dan dukungan moral yang kuat dari dalam diri sendiri.
Pagi hari saya mulai lebih awal dibanding kebanyakan orang. Sebelum anak-anak bangun, saya sudah menyiapkan sarapan dan kebutuhan mereka untuk sekolah. Setelah mereka berangkat, saya mulai fokus pada operasional bisnis. Mulai dari mengecek stok bahan baku, mengatur jadwal produksi, hingga meninjau konten media sosial yang akan diposting hari itu. Terkadang, saya juga harus berkeliling ke cabang untuk memastikan semuanya berjalan dengan baik.
Saya menjadwalkan pertemuan tim dan koordinasi produksi agar tidak bentrok dengan kegiatan keluarga. Misalnya, jika suami saya sedang pulang dari dinas dan ada waktu untuk keluarga, saya akan menyesuaikan seluruh aktivitas bisnis agar bisa menikmati kebersamaan itu. Saya percaya, keluarga adalah prioritas utama, dan saya tidak ingin kehilangan momen berharga bersama suami dan anak-anak hanya karena terlalu sibuk bekerja.
Namun, saya juga tidak ingin menyerah pada keterbatasan. Saya percaya bahwa perempuan bisa berperan ganda dengan seimbang, asalkan ada niat kuat dan sistem yang mendukung. Maka saya membentuk tim kerja yang bisa saya andalkan. Saya mendelegasikan sebagian tugas kepada staf yang kompeten, sekaligus membekali mereka dengan pelatihan dan arahan yang jelas. Dengan begitu, bisnis bisa tetap berjalan meskipun saya harus mengambil jeda untuk urusan keluarga.
Ada banyak momen di mana saya harus menghadiri acara sekolah anak, sementara di waktu yang sama ada pesanan besar yang harus dikawal. Dalam situasi seperti itu, saya mengandalkan kepercayaan pada tim. Saya belajar untuk tidak perfeksionis berlebihan dan mulai memahami bahwa membesarkan usaha adalah kerja kolektif, bukan semata-mata kerja individu.
Sebagai istri prajurit, saya juga menjadi bagian dari komunitas istri-istri TNI. Di sana, saya sering berbagi cerita dan pengalaman. Ternyata banyak dari mereka yang juga memiliki semangat wirausaha namun belum tahu harus mulai dari mana. Beberapa kali saya diminta memberikan sharing sederhana tentang bagaimana mengelola usaha dari rumah. Dari situ, saya merasa terpanggil untuk tidak hanya menjalankan bisnis, tetapi juga menjadi inspirasi dan penggerak bagi perempuan lain di lingkungan saya.
Ada kebanggaan tersendiri ketika suami saya mengetahui bahwa saya bisa mandiri dan produktif meskipun ia sering tidak ada di rumah. Ia adalah sosok yang selalu mendukung, meskipun perannya lebih banyak sebagai pendengar dan penyemangat dari kejauhan. Setiap kali ia pulang dari dinas, saya selalu menyempatkan diri untuk bercerita tentang perkembangan Vanilla Taste Bakery, tim saya, dan rencana ke depan. Kami berdiskusi, meski singkat, dan itu cukup untuk menumbuhkan kepercayaan bahwa saya tidak sendirian dalam perjalanan ini.
Dapatkan materi dan cerita INKUBASI BISNIS 2025 di sini!
Menjalani peran ganda sebagai istri prajurit dan pengusaha membuat saya belajar untuk lebih disiplin dan lebih peka terhadap kebutuhan orang lain. Saya sadar bahwa kesuksesan bukan hanya soal omzet dan ekspansi usaha, tapi juga soal bagaimana saya bisa tetap menjaga keharmonisan keluarga dan tetap hadir secara emosional untuk anak-anak saya.
Anak-anak saya juga menjadi bagian dari perjalanan ini. Mereka tumbuh bersama Vanilla Taste Bakery. Mereka melihat ibunya bekerja, jatuh bangun, dan terus berjuang. Saya ingin mereka belajar bahwa bekerja itu bukan sekadar mencari uang, tetapi juga bentuk syukur, kemandirian, dan kontribusi untuk orang lain.
Kini, ketika saya melihat ke belakang, saya merasa bersyukur karena bisa melalui semua tantangan ini. Saya bisa menjadi istri yang setia, ibu yang hadir, dan pebisnis yang terus belajar dan berkembang. Menjadi istri TNI bukan penghalang, justru menjadi kekuatan tersendiri yang membentuk saya menjadi pribadi yang tangguh. Karena dari semua peran yang saya jalani, saya belajar satu hal penting: bahwa seorang perempuan bisa menjadi banyak hal, selama ia percaya pada dirinya sendiri.
Seiring waktu berjalan dan Vanilla Taste Bakery semakin berkembang, saya mulai menyadari bahwa dunia usaha terus bergerak cepat. Dulu, ketika saya pertama kali menjual kue dan roti dari dapur Vanilla, pasar terasa begitu hangat dan responsif. Namun setelah beberapa tahun, saya mulai merasakan perubahan ritme. Konsumen tidak lagi hanya mempertimbangkan rasa dan harga, tetapi juga tampilan, pengalaman, dan nilai cerita di balik sebuah produk. Dunia digital mempercepat semua itu. Satu produk bisa viral dalam semalam, dan bisa tenggelam dalam satu minggu jika tidak dikelola dengan baik.
Tantangan pertama yang saya hadapi adalah efisiensi produksi. Ketika permintaan meningkat, saya harus berpikir bagaimana membuat skala produksi yang lebih besar tanpa mengorbankan kualitas. Dapur rumah tidak lagi cukup. Maka saya mulai mencari cara agar proses bisa dipercepat, tetapi tetap menjaga standar rasa dan tekstur. Ini tidak mudah. Saya harus menginvestasikan waktu untuk melatih tim, membuat SOP sederhana, serta membagi proses produksi menjadi beberapa tahap yang lebih terkontrol.
Tantangan kedua datang dari sisi daya beli pasar. Ketika harga bahan baku melonjak seperti telur, mentega, dan cokelat, saya harus memutuskan apakah akan menaikkan harga, mengurangi porsi, atau mencari alternatif. Di tengah dilema itu, saya mulai berpikir ulang tentang segmentasi pasar. Apakah saya harus tetap bermain di segmen pasar umum, atau beralih ke pasar yang lebih spesifik?
Setelah melalui banyak pertimbangan dan diskusi dengan beberapa teman dan pelanggan loyal, saya mengambil keputusan besar: melakukan rebranding total. Saya ingin agar usaha ini tidak hanya berkembang secara kuantitas, tapi juga secara kualitas dan arah. Maka lahirlah nama baru: KudapanNesia.
Nama “KudapanNesia” saya pilih dengan hati-hati. “Kudapan” adalah simbol kehangatan, cemilan khas yang akrab dalam tradisi dan budaya Indonesia. Sementara “Nesia” adalah penggalan dari “Indonesia”, menunjukkan akar dan jati diri produk-produk kami. Nama ini mencerminkan semangat baru: menghadirkan cita rasa khas Indonesia dalam kemasan dan kualitas yang lebih premium.
Rebranding ini bukan hanya mengganti nama. Saya membongkar ulang seluruh identitas visual, desain logo, konsep kemasan, hingga tone komunikasi di media sosial. Saya menggandeng desainer grafis untuk membantu menciptakan tampilan yang lebih elegan dan konsisten. Logo baru KudapanNesia menampilkan bentuk yang tegas namun feminin, dengan warna-warna hangat seperti brown, gold, dan beige.
Kami juga memperkuat konsep cerita di balik setiap produk. Saya percaya bahwa makanan bukan hanya soal rasa, tetapi juga tentang pengalaman dan emosi. Maka saya mulai menyusun ulang narasi brand, menyampaikan kepada publik bahwa setiap produk KudapanNesia dibuat dengan tangan-tangan berpengalaman, resep warisan, dan cinta terhadap budaya Indonesia.
Dari sekian banyak produk, saya memutuskan untuk memfokuskan lini utama KudapanNesia pada empat produk unggulan: Ontbijtkoek, Koningskroon, Prol Kopyor, dan Roti Baso.
1. Ontbijtkoek Kue khas Nusantara ini menjadi salah satu produk andalan kami. Teksturnya padat, lembut, dengan aroma rempah yang kuat seperti kayu manis dan gulamera. KudapanNesia menghadirkan Ontbijtkoek dalam bentuk loaf panjang yang dibungkus dengan kemasan kertas emas berlapis plastik transparan. Label-nya minimalis, dengan sentuhan emboss dan segel berlogo KudapanNesia. Produk ini menyasar pelanggan yang menyukai kue klasik dengan sensasi premium. Cocok dijadikan hantaran, oleh-oleh, maupun jamuan acara keluarga.
2. Koningskroon Terinspirasi dari pastry Eropa, Koningskroon adalah perpaduan antara tekstur kue bolu yang lembut dengan isian selai nanas dan taburan buah prune segar di atasnya. Produk ini kami kemas dalam box eksklusif. Koningskroon menjadi pilihan utama pelanggan yang ingin memberikan kado spesial kepada kerabat atau relasi. Selain rasanya yang nikmat, tampilannya sangat mewah dan berkelas. Koningskroon menjadi produk dengan repeat order tertinggi karena banyak pelanggan yang jatuh cinta sejak gigitan pertama.
3. Prol Kopyor Sebagai salah satu resep warisan, Prol Kopyor memiliki tempat khusus di hati saya. Dibuat dari bolu kering, kelapa kopyor, serta kismis dan kacang kenari, kue ini memiliki cita rasa gurih dan legit yang seimbang. KudapanNesia memodifikasi bentuk dan kemasannya menggunakan alumunium tray, dikemas dalam box elegan dengan warna pastel dan motif batik logo KudapanNesia.
4. Roti Baso Produk ini adalah jawaban dari permintaan pasar yang menginginkan camilan gurih. Roti Baso buatan KudapanNesia memiliki kulit roti lembut dengan isian bakso sapi dan ayam yang juicy dan bumbu rahasia yang khas. Kami menggunakan bahan segar dan tanpa pengawet. Dikemas dalam paperbox foodgrade, Roti Baso ini cocok untuk konsumsi harian maupun sebagai isian goodie bag acara kantor atau sekolah.
Empat produk ini menjadi tulang punggung penjualan kami. Kami tidak hanya menjual satuan, tetapi juga menyusunnya dalam bentuk goodie bag dan hampers tematik. Misalnya, KudapanNesia Gail Bag Ultimate berisi Ontbijtkoek, dan dua jenis cookies dalam tas rajut moderen. Atau KudapanNesia Royal Hampers XL yang berisi Ontbijtkoek, Koningskroon, Prol Kopyor, dan Roti Baso, serta 2 cookies, lalu ada mug atau tumbler di sertai dengan teh atau kopi pack. Setiap hampers disusun dengan sangat rapi, diberi label nama penerima, dan dikirim menggunakan kurir pribadi atau kurir online agar terjaga kualitas dan tampilannya.
Segmentasi pasar pun mulai kami arahkan secara lebih spesifik. Kami menyasar pasar keluarga muda urban, pekerja profesional, hingga perusahaan yang membutuhkan bingkisan korporat. Untuk itu, kami menjalin kerja sama dengan beberapa instansi dan lembaga, menawarkan paket hampers kustomisasi lengkap dengan branding perusahaan mereka. Ternyata responsnya sangat positif. Banyak dari mereka mengapresiasi kualitas, keunikan, dan kemasan KudapanNesia yang tidak seperti hampers biasa.
Proses rebranding ini memang tidak mudah. Saya harus menyesuaikan banyak hal, termasuk membangun ulang kepercayaan pelanggan lama. Tapi perlahan, hasilnya mulai terlihat. Omzet meningkat, margin lebih sehat, dan brand awareness juga tumbuh secara organik. Orang mulai menyebut KudapanNesia sebagai produk oleh-oleh elegan khas Jogja yang wajib dibawa pulang.
Salah satu tonggak keberhasilan adalah ketika salah satu produk kami, Ontbijtkoek, menjadi bagian dari hampers VIP dalam acara nasional yang dihadiri para pejabat dan tokoh masyarakat. Sejak itu, pesanan datang dari berbagai kota. Kami bahkan mendapat permintaan dari toko oleh-oleh di luar Jawa untuk menjadi reseller tetap.
Saya juga mengembangkan tim kreatif untuk memperkuat branding secara digital. Kami mulai membuat video behind-the-scenes proses produksi, testimoni pelanggan, hingga storytelling produk yang dikemas dalam reels dan IGTV. Semua konten dibuat untuk menumbuhkan keterikatan emosional antara KudapanNesia dan pelanggannya.
Kini, KudapanNesia bukan lagi hanya toko kue. KudapanNesia telah menjadi brand yang membawa misi: menghadirkan kudapan khas Nusantara dengan kemasan dan kualitas premium, tanpa kehilangan kehangatan dan keaslian rasa. Kami terus berinovasi, membuka peluang kemitraan, dan menjaga konsistensi rasa serta pelayanan.
Saya bersyukur karena berani mengambil langkah rebranding ini. Dari Vanilla Taste Bakery yang tumbuh dari dapur rumah, kini KudapanNesia hadir sebagai identitas baru yang lebih kuat, matang, dan visioner. Dan saya percaya, ini baru permulaan dari perjalanan yang lebih panjang.
Tahun 2025 menjadi salah satu tonggak penting dalam perjalanan usaha saya bersama KudapanNesia. Setelah bertahun-tahun membangun bisnis kue dan roti, melewati proses rebranding, dan membentuk tim yang solid, saya menyadari bahwa saya dan tim tidak bisa terus berjalan tanpa arah dan struktur yang kokoh. Di tengah pencarian akan ilmu yang lebih sistematis, saya menemukan sebuah kesempatan emas: Program Inkubasi Bisnis UMKM Naik Kelas 2025 yang diselenggarakan oleh Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi DIY, PLUT DIY, dan Satoeasa.
Saya mengetahui informasi mengenai program ini dari media sosial PLUT DIY. Saat itu saya sedang scrolling Instagram dan melihat flyer pendaftaran program inkubasi tersebut. Kalimat yang paling menarik perhatian saya adalah: “Saatnya UMKM naik kelas.” Seolah-olah kalimat itu ditujukan langsung kepada saya. Saya merasa bahwa KudapanNesia telah sampai pada titik di mana fondasi harus diperkuat agar bisa naik ke level selanjutnya.
Tanpa banyak ragu, saya mendaftarkan diri. Proses seleksi cukup ketat. Saya harus mengisi formulir, menyusun profil bisnis secara lengkap. Tidak hanya itu, ada sesi wawancara untuk melihat seberapa serius saya dalam mengikuti program ini. Alhamdulillah, KudapanNesia terpilih sebagai salah satu peserta dari sekian banyak pelaku usaha yang mendaftar. Saya merasa sangat bersyukur dan juga bangga, karena saya tahu bahwa ini bukan sekadar program pelatihan biasa, ini adalah program yang dirancang untuk mencetak UMKM tangguh yang siap bersaing di pasar yang lebih luas.
Program Inkubasi Bisnis UMKM Naik Kelas 2025 ini terbagi menjadi tiga tahapan besar. Saat ini, KudapanNesia sedang berada di tahap kedua. Namun sebelum masuk ke cerita tentang tahap dua, saya ingin membagikan pengalaman saya di tahap pertama, sebuah fase yang benar-benar membuka mata saya tentang pentingnya pondasi bisnis yang kuat.
Di tahap pertama, saya dan peserta lain dibimbing untuk memahami ulang struktur internal usaha kami. Materi-materi yang disampaikan sangat padat dan aplikatif. Kami belajar menyusun Standard Operating Procedure (SOP) untuk semua proses bisnis, dari produksi, pengemasan, pengiriman, hingga layanan pelanggan. Saya sempat menyadari bahwa selama ini banyak aktivitas yang dilakukan berdasarkan intuisi dan kebiasaan, bukan sistem yang tertulis. Akibatnya, ketika saya tidak berada di tempat, tim sering kali bingung atau mengambil keputusan berdasarkan asumsi.
Penyusunan SOP membuat saya harus meninjau ulang seluruh alur kerja di KudapanNesia. Saya mengajak tim berdiskusi, mencatat semua tahapan secara rinci, bahkan membuat flowchart agar lebih mudah dipahami. Meski melelahkan, hasilnya luar biasa. Sekarang setiap staf tahu tugasnya masing-masing, dan saya bisa lebih fokus pada pengembangan usaha, bukan hanya memadamkan api di lapangan.
Selain SOP, kami juga belajar menyusun OKR (Objectives and Key Results) — sebuah sistem perencanaan strategis yang selama ini hanya saya dengar dari perusahaan-perusahaan besar. Di sinilah saya belajar bagaimana menyusun tujuan bisnis jangka pendek dan jangka panjang dengan lebih konkret. Misalnya, di kuartal pertama, saya menetapkan tujuan untuk meningkatkan penjualan produk Ontbijtkoek sebanyak 20%. Lalu dari situ, saya dan tim menyusun langkah-langkah yang lebih terukur dan realistis.
Pelajaran paling penting lainnya di tahap pertama adalah tentang laporan keuangan. Meskipun sejak awal saya sudah berusaha mencatat pemasukan dan pengeluaran, ternyata sistem saya masih jauh dari ideal. Di inkubasi ini, saya diajarkan cara membuat laporan keuangan yang detail dan sesuai standar akuntansi sederhana. Kami diminta menyusun laporan laba rugi, arus kas, hingga neraca sederhana. Di awal, saya cukup kewalahan. Tapi para mentor sangat sabar membimbing satu per satu.
Saya mulai memahami bahwa laporan keuangan bukan sekadar formalitas, tapi alat penting untuk mengambil keputusan. Dengan data yang jelas, saya bisa melihat produk mana yang paling menguntungkan, beban biaya terbesar di mana, serta proyeksi kebutuhan dana dalam beberapa bulan ke depan. Ini menjadi modal besar ketika nanti saya ingin mengajukan pendanaan atau bermitra dengan pihak luar.
Tahap pertama ini benar-benar mengubah cara pandang saya terhadap bisnis. Saya merasa seperti sedang membangun ulang rumah saya, tapi kali ini dengan pondasi yang lebih kuat. Semangat saya semakin bertambah ketika melihat banyak peserta lain yang juga merasakan hal yang sama. Kami saling menyemangati, bertukar cerita, dan membentuk komunitas kecil yang saling mendukung.
Setelah menyelesaikan tahap pertama, kami masuk ke tahap kedua. Di tahap ini, fokus pembelajaran bergeser ke arah pemasaran dan penguatan identitas brand. Ini adalah fase yang sangat relevan dengan kondisi KudapanNesia saat ini, karena setelah rebranding, saya ingin membawa brand ini dikenal lebih luas dan menyasar pasar yang lebih premium.
Salah satu materi awal di tahap kedua adalah perencanaan konten (content plan). Kami diajak untuk menyusun kalender konten bulanan yang selaras dengan strategi pemasaran. Saya belajar bahwa posting media sosial bukan sekadar upload foto produk dan harga. Kami diminta menyusun konten dengan tema yang konsisten, memiliki tujuan tertentu (branding, edukasi, promosi), dan dirancang sesuai target audiens. Dari sini saya mulai menyusun rubrik konten KudapanNesia seperti “Cerita Produk”, “Testimoni Pelanggan”, “Behind the Scene”, dan “Promo Spesial”.
Selain itu, kami juga diminta membuat video profil bisnis. Proyek ini menjadi tantangan tersendiri bagi saya. Saya harus merancang narasi, memilih lokasi pengambilan gambar, dan berani tampil di depan kamera. Tapi di sisi lain, saya merasa sangat bangga bisa memperkenalkan tim, proses produksi, dan nilai-nilai di balik KudapanNesia lewat sebuah video yang profesional. Video ini nantinya akan menjadi alat promosi utama ketika saya ingin menjalin kerja sama dengan instansi, perusahaan, atau calon mitra lainnya.
Tidak kalah penting adalah materi tentang storytelling bisnis, salah satunya adalah tugas yang saya kerjakan saat ini: menulis perjalanan usaha saya dalam bentuk narasi 6.000 kata. Proses ini membuat saya kembali merenung, mengingat setiap langkah kecil yang telah saya lalui sejak pertama kali menjual kue dari rumah. Menyusun cerita ini bukan hanya tentang mengenang masa lalu, tapi juga menyadari bahwa setiap pengalaman, baik manis maupun pahit, telah membentuk saya dan bisnis saya menjadi seperti sekarang.
Saya juga belajar bagaimana menyampaikan cerita tersebut kepada publik dengan cara yang menarik dan otentik. Tidak sekadar menceritakan kesuksesan, tapi juga membagikan tantangan, kegagalan, dan nilai-nilai yang saya pegang. Storytelling ini kemudian diterapkan dalam seluruh aspek komunikasi KudapanNesia, dari deskripsi produk di katalog, caption media sosial, hingga presentasi penawaran ke klien korporat.
Hingga saat ini, tahap kedua masih berlangsung. Saya dan tim mengikuti kelas, mengerjakan tugas sembari tetap menjalankan KudapanNesia, dan berdiskusi dengan mentor. Meski padat, saya merasakan manfaat yang sangat besar. Bisnis ini tidak hanya menjadi lebih terstruktur, tapi juga lebih bernyawa. Saya melihat perubahan dalam cara tim bekerja, dalam semangat mereka, dan dalam kepercayaan pelanggan terhadap brand kami.
Saya merasa sangat bersyukur bisa menjadi bagian dari Program Inkubasi UMKM Naik Kelas ini. Tidak hanya karena ilmu dan jaringan yang saya peroleh, tetapi karena program ini membuat saya kembali terhubung dengan akar dan alasan mengapa saya memulai usaha ini dulu: untuk memberikan kontribusi nyata, untuk menghadirkan produk berkualitas dari dapur Indonesia, dan untuk memberdayakan lebih banyak perempuan yang ingin mandiri secara ekonomi.
Saya yakin, setelah tahap dua ini selesai dan kami ingin melanjutkan ke tahap tiga, KudapanNesia akan menjadi lebih siap, baik dari sisi operasional, pemasaran, maupun mentalitas tim. Dan lebih dari itu, saya ingin menjadikan pengalaman ini sebagai bekal untuk mendampingi UMKM lain di kemudian hari. Karena saya percaya, naik kelas bukan tujuan akhir, tapi proses berkelanjutan yang harus dijalani bersama.
Mengikuti program Inkubasi Bisnis UMKM Naik Kelas 2025 adalah salah satu keputusan paling bermakna yang pernah saya ambil selama menjalankan KudapanNesia. Program ini bukan sekadar rangkaian pelatihan atau workshop biasa. Ia adalah katalis yang mendorong perubahan fundamental dalam cara saya memandang bisnis dan memimpin tim. Banyak pelajaran, pengalaman, dan jaringan yang saya dapatkan dari inkubasi ini, dan semuanya memberikan dampak nyata dalam perkembangan KudapanNesia.
Salah satu manfaat paling nyata dari program ini adalah peningkatan kapasitas manajerial. Sebelum mengikuti inkubasi, saya merasa sudah cukup paham cara menjalankan bisnis. Tapi setelah mendapatkan materi-materi mendalam mengenai SOP, OKR, manajemen keuangan, branding, dan strategi pemasaran, saya menyadari bahwa masih banyak ruang yang harus saya benahi. Sekarang, tim saya bekerja dengan SOP yang tertulis, alur kerja lebih tertata, dan setiap kegiatan memiliki tolak ukur yang jelas. Kami juga sudah mulai menerapkan evaluasi mingguan dan bulanan yang membuat kami lebih terarah.
Dari sisi keuangan, kini saya memiliki laporan keuangan yang lebih detail dan transparan. Saya bisa melihat dengan lebih jernih bagaimana arus kas berjalan, apa saja pos pengeluaran terbesar, dan mana produk yang paling menguntungkan. Hal ini bukan hanya memudahkan saya mengambil keputusan, tetapi juga membuka peluang untuk bekerja sama dengan pihak luar seperti investor, distributor, atau mitra strategis. Dengan laporan keuangan yang rapi, KudapanNesia kini lebih siap untuk bertumbuh secara profesional.
Tidak kalah penting adalah manfaat dari sisi branding dan pemasaran. Sebelum mengikuti program ini, saya cenderung menjalankan promosi berdasarkan intuisi dan momen. Sekarang, saya dan tim telah menyusun content plan bulanan, membuat kalender promosi, serta mengintegrasikan storytelling dalam seluruh komunikasi brand. Kami tidak hanya menjual produk, tetapi menyampaikan nilai, cerita, dan pengalaman. Video profil bisnis yang kami produksi selama program ini menjadi alat pemasaran yang sangat kuat dan efektif, terutama saat kami menjalin kerja sama dengan instansi dan perusahaan.
Jaringan adalah manfaat lain yang luar biasa. Selama program inkubasi, saya bertemu banyak pelaku UMKM dari berbagai sektor. Kami saling belajar, saling menginspirasi, dan bahkan beberapa di antaranya kini menjadi mitra kolaborasi KudapanNesia.
Yang paling saya rasakan adalah perubahan mentalitas, baik dalam diri saya pribadi, maupun dalam tim. Program ini mengajarkan kami untuk berpikir jangka panjang, untuk membangun bisnis yang tidak hanya besar, tetapi juga berkelanjutan. Saya merasa lebih percaya diri ketika berbicara di depan publik, mempresentasikan bisnis saya, atau menulis proposal kerja sama. Saya juga melihat tim saya tumbuh menjadi lebih proaktif, berani menyampaikan ide, dan semakin memahami tujuan besar yang sedang kami capai bersama.
Setelah merasakan berbagai manfaat ini, saya mulai menyusun kembali visi jangka panjang KudapanNesia. Saya tidak lagi melihat usaha ini hanya sebagai toko kue, tetapi sebagai brand makanan khas Indonesia yang punya potensi untuk dikenal secara nasional dan bahkan internasional. Saya ingin KudapanNesia menjadi simbol kualitas, kehangatan, dan keindahan dalam setiap produknya.
Dalam lima tahun ke depan, saya memiliki beberapa impian besar. Pertama, saya ingin membangun pusat produksi terpadu dengan fasilitas yang lebih modern dan efisien. Di tempat ini, semua proses dari produksi, pengemasan, hingga pengiriman, bisa dilakukan secara terstandarisasi. Saya ingin menciptakan tempat kerja yang nyaman, aman, dan memberdayakan lebih banyak perempuan di sekitar saya.
Kedua, saya ingin memperluas jangkauan pasar KudapanNesia ke kota-kota besar di Indonesia melalui model distribusi dan kemitraan. Saya percaya bahwa produk-produk seperti Ontbijtkoek, Koningskroon, Prol Kopyor, dan Roti Baso punya daya tarik tinggi di pasar premium, terutama di kalangan urban yang mencari oleh-oleh berkualitas tinggi. Untuk itu, saya juga tengah menyiapkan platform online yang lebih komprehensif agar pelanggan di luar daerah dapat memesan dengan mudah.
Ketiga, saya ingin menjadikan KudapanNesia sebagai pusat edukasi dan inspirasi bagi UMKM lain. Melalui pengalaman saya di program inkubasi, saya menyadari pentingnya berbagi ilmu dan semangat. Saya ingin membuka kelas-kelas kecil, seminar, atau mentoring untuk ibu-ibu rumah tangga, istri TNI, dan perempuan lainnya yang ingin memulai usaha. Saya ingin menunjukkan bahwa dari dapur sederhana pun, kita bisa membangun brand besar asalkan konsisten dan terus belajar.
Keempat, saya ingin memperkuat lini produk hampers dan corporate gifts. Segmen ini memiliki potensi luar biasa, terutama menjelang hari besar keagamaan, ulang tahun perusahaan, atau event-event formal lainnya. Saya sedang menyusun katalog hampers eksklusif dengan desain premium dan nilai budaya yang kuat. Dengan storytelling yang tepat dan kualitas yang konsisten, saya yakin KudapanNesia bisa menjadi pilihan utama di kategori ini.
Dan terakhir, saya ingin memastikan bahwa KudapanNesia tetap setia pada nilai-nilai awalnya: kejujuran, kualitas, dan kasih sayang dalam setiap proses. Saya ingin tetap dekat dengan pelanggan, terus mendengarkan masukan, dan menjaga hubungan yang hangat. Karena bagi saya, yang paling membahagiakan bukan hanya ketika omzet meningkat, tapi ketika pelanggan berkata, “Produk KudapanNesia selalu jadi pilihan kami karena rasanya mengingatkan kami pada rumah.”
Saya juga menyadari bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Akan ada tantangan baru, perubahan tren pasar, dan dinamika internal yang terus berkembang. Tapi dengan fondasi yang sudah dibentuk melalui program inkubasi, saya merasa lebih siap. Saya tahu bahwa saya tidak sendirian, karena saya punya tim yang kuat, komunitas yang mendukung, dan mentor yang siap membimbing.
Melihat ke belakang, saya bersyukur atas setiap langkah yang sudah saya ambil. Dari remaja yang menjual alat kebersihan, ibu rumah tangga yang mencoba menjual kue dari dapur sendiri, hingga kini menjadi CEO dari brand KudapanNesia yang terus bertumbuh, semua itu adalah hasil dari keyakinan, kerja keras, dan kesempatan yang tidak saya sia-siakan.
Saya berharap cerita ini bisa menjadi inspirasi, terutama bagi para perempuan yang ingin membangun sesuatu dari nol. Jangan takut untuk mulai dari kecil. Jangan ragu untuk belajar dan bertanya. Dan yang paling penting, jangan pernah berhenti percaya bahwa Anda mampu.
KudapanNesia akan terus melangkah. Kami akan terus berinovasi, melayani, dan tumbuh bersama. Karena bagi kami, setiap kudapan bukan hanya produk, tapi juga cerita. Cerita tentang perjuangan, tentang impian, dan tentang cinta terhadap Indonesia.
Mau Konsultasi?