IP atau kekayaan intelektual kini mulai ramai dibicarakan. Di ranah lokal kita punya nama-nama seperti Dagelan, Findes, Jumbo, dan Tahilalat. Di tingkat global, tentu kita mengenal One Piece, Marvel, Disney, dan banyak lagi. Brand-brand pun mulai memanfaatkan IP sebagai cara untuk menjangkau pasar yang lebih luas, apalagi jika followers IP tersebut berasal dari segmen yang sebelumnya belum terjangkau. Selain itu, IP juga dapat membantu membangun asosiasi dan citra tertentu pada brand jika memang sejalan. Bisa dibilang, ini adalah shortcut untuk membangun brand sekaligus ruang belajar, karena pada dasarnya membangun IP sangat mirip dengan membangun brand.
Menarik Untuk Dibaca : Mengatasi Ketakutan Gagal Dalam Usaha
Ada empat elemen utama yang penting untuk dipahami dalam konteks IP, yang juga bisa diaplikasikan ke dalam strategi branding: story, karakter, properti, dan engagement.
Pertama adalah story. Dalam ilmu branding dan marketing, kita selalu bicara soal cerita: storytelling, brand story, dan sebagainya. Story punya daya tarik kuat bagi otak manusia karena saat menyimaknya, lebih banyak bagian otak kita yang aktif, termasuk yang memproses informasi indrawi. Bandingkan kalimat “Mangga itu asem” dengan narasi: “Tampak sebuah mangga yang sudah dikupas, warnanya kuning muda, terpajang di rak tukang rujak. Bagian atasnya sudah dipotong, siap dipotek dan dimakan. Tampak bagian dalamnya yang masih agak berwarna putih, menandakan rasa asemnya.” Narasi kedua jelas lebih membangkitkan respon indrawi dan emosional. Air liur kita pun bisa keluar tanpa sadar karena otak membayangkan rasanya. Nah, story yang baik seperti ini membuat pesan lebih mudah dicerna, lebih dipahami, dan lebih diingat.
Kedua adalah karakter. Manusia suka dengan karakter. Karakter membuat cerita lebih hidup dan membantu otak kita dalam membuat makna. Ambil contoh film Ada Apa Dengan Cinta (AADC). Ceritanya sebenarnya biasa saja, cinta-cintaan anak SMA. Tapi yang bikin menarik adalah karakternya: Cinta yang cantik tapi gengsian, Rangga yang ganteng tapi misterius, Alya yang pendiam, Karmen yang tomboy, Mili yang polos, dan Maura yang centil. Bahkan Mamet pun punya peran kuat. Karakter-karakter ini relatable dan membangun emosi. Itulah kenapa cerita menjadi kuat. Begitu pula dengan IP seperti Jumbo—karakter seperti Siidon, Nurman, M, dan Mary membuat ceritanya hidup. Brand seperti Apple atau Nike pun punya karakter: Apple kreatif dan agak sombong, Nike gigih dan keras kepala, Disney ekspresif dan ceria. Namun tidak banyak brand yang berhasil membangun karakter karena prosesnya tidak mudah dan perlu konsistensi. IP bisa membantu karena pada dasarnya IP yang baik adalah tentang karakter yang emosional, bukan hanya sekadar visual.
Ketiga adalah properti. Dalam hubungan antar manusia, kita menyimpan foto atau barang dari orang yang kita sayangi. Begitu pula dengan brand dan IP: properti seperti merchandise atau collectible items berfungsi sebagai perpanjangan dari hubungan emosional dengan audiens. Kalau tidak ada bentuk nyata, rasa suka bisa cepat memudar. Maka, ketika brand hendak berkolaborasi dengan IP, penting untuk melihat: apakah IP tersebut memiliki properti yang bisa dirawat dan dikembangkan?
Keempat adalah engagement. Seperti halnya hubungan percintaan yang akan melemah kalau interaksinya jarang, brand dan IP pun harus membangun engagement secara konsisten. IP-IP besar seperti Marvel atau Disney sangat aktif menjaga hubungan ini lewat film, komik, komunitas, event, dan banyak cara lainnya. Engagement menjadi penentu apakah audiens akan terus terlibat atau tidak.
Jadi, saat brand ingin berkolaborasi dengan sebuah IP, ada empat checklist yang harus diperhatikan: story, karakter, properti, dan engagement. Keempatnya tak hanya penting dalam memilih IP, tapi juga krusial untuk membangun brand itu sendiri. Tinggal bagaimana kita mampu menerapkannya secara konsisten dan relevan.
Menarik Untuk Ditonton : Kesalahan Fatal Dalam Manajemen Keuangan
Mau Konsultasi?