Sementara itu, Nike dan Adidas setelah bertahun-tahun merajai dunia sneaker, telah membuat para pesaingnya hanya bisa bermain di luar arena. Kedua brand itu adalah penguasa pasar sekaligus trendsetter streetwear. Mereka sudah bukan lagi sekadar sepatu, tetapi identitas, bahkan ikon budaya pop. Namun kemunculan On sepertinya bukan hanya tren sesaat. Ini adalah pertanda jelas bahwa peta persaingan mulai bergeser. Bagaimana itu bisa terjadi? Kok bisa sebuah brand baru bikin gentar dua brand besar top dunia? Apa pelajaran yang bisa kita petik dari fenomena ini? Yuk kita cari tahu.
Nike dan Adidas mendominasi industri sepatu olahraga sejak akhir era 90-an. Mereka sudah menerapkan berbagai strategi pemasaran yang agresif dan inovatif, berhasil memosisikan brand masing-masing sebagai ikon budaya pop dan lifestyle global. Nike melejit berkat kolaborasi dengan Michael Jordan. Air Jordan yang tercipta kemudian membuat Nike menjadi simbol budaya sneaker. Kampanye Just Do It-nya juga mengukuhkan posisi mereka sebagai brand yang penuh semangat dan inovasi. Sementara itu, Adidas—meskipun sempat tertinggal di era 90-an—berhasil bangkit lewat rebranding dan akuisisi. Di sepanjang dekade 2000-an, keduanya terus memperluas pasar dan membuat pesaing semakin sulit mengejar.
Memasuki era 2000-an, persaingan makin ketat. Nike terus berinovasi dengan teknologi seperti Nike Shox dan Nike Free, lalu unggul lewat Nike Plus. Adidas menghadirkan Adiprint dan Torsion System, serta mengakuisisi Reebok (walau hasilnya kurang memuaskan). Di dekade 2010-an, kompetisi makin sengit. Nike memperkenalkan Flyknit dan Vaporfly yang mengubah standar performa atlet. Adidas menggebrak dengan teknologi Boost dan kolaborasi Yeezy bersama Kanye West. Meski banyak merek baru bermunculan, Nike dan Adidas tetap jadi penguasa industri sepatu olahraga dunia.
Menarik Untuk Dibaca : Solusi Atau Bencana Industri
Namun setelah dekade 2010-an, dominasi Nike dan Adidas mulai surut. Muncul pemain-pemain baru seperti New Balance, Asics, Hoka, On, juga merek-merek Cina seperti Anta dan Li-Ning yang agresif berekspansi. Pilihan konsumen semakin banyak, membuat dominasi Nike dan Adidas tak lagi mutlak. Di antara para penantang, On menjadi salah satu yang paling mencolok. Sepatu asal Swiss ini menggebrak dengan teknologi CloudTec—bantalan unik yang tetap responsif. Sejak debutnya, On mencuri perhatian publik, tetapi momentum besarnya terjadi saat pelari Frederik Van Lierde memakainya untuk memenangkan Ironman 2013.
On mulai populer di kalangan pekerja kantoran hingga pecinta streetwear. Desainnya yang futuristik dan kenyamanan yang ditawarkan membuat On diterima luas. Strategi mereka pun cerdas. Popularitas On semakin naik saat Roger Federer bergabung pada 2018, setelah meninggalkan Nike. Federer menjadi pemegang saham sebesar 3%, dan meluncurkan seri The Roger—sepatu dengan sentuhan elegan khas Federer dan teknologi canggih khas On. Produk ini sukses besar. Dukungan Federer juga membantu On menggaet atlet top seperti Iga Swiatek dan Ben Shelton. Posisi On pun makin kokoh di dunia tenis dan olahraga pada umumnya.
Dalam memilih sepatu, kini orang lebih memprioritaskan kenyamanan. Model-model casual semakin diminati, bukan sekadar untuk gaya, tetapi untuk berbagai aktivitas. Batas antara sepatu lari dan sepatu gaya hidup menjadi semakin tipis. Tren ini memang sudah berkembang sejak lama, tapi semakin kuat pasca-pandemi ketika cara bekerja dari rumah jadi kebiasaan. On membaca peluang itu dengan jeli. Mereka tak lagi hanya fokus pada pelari. Per Agustus 2023, On masuk ke dunia tenis lewat peluncuran sepatu training. Strategi ini memperkuat posisi mereka di pasar.
Ketika Nike dan Adidas kehilangan pangsa pasar di kategori sepatu lari, On justru terus berkembang. Dukungan Roger Federer dan inovasi berkelanjutan membuat On semakin dilirik. Retailer besar seperti Dick’s Sporting Goods dan Foot Locker terus memesan On, sambil mengurangi pesanan Nike dan Adidas. Sejak IPO tahun 2021, On mencatat pertumbuhan luar biasa. Pada 2022, pendapatannya naik hampir 70%, dan di 2023 mencapai USD 2,1 miliar. David Allemann, co-founder On, menyatakan bahwa kesuksesan mereka lahir dari filosofi Dream On—mendorong inovasi tanpa batas.
On bukan hanya sekadar pesaing, tapi ancaman nyata bagi Nike dan Adidas. Kunci keberhasilan On adalah pendekatannya yang inovatif: menggabungkan performa, kenyamanan, dan keberlanjutan. Teknologi CloudTec dengan bantalan unik menciptakan pengalaman berlari yang berbeda. Tak hanya untuk pelari, desain futuristiknya juga menarik mereka yang mengutamakan gaya. On membangun reputasi lewat riset dan desain dari OnLabs di Zurich. Mereka juga sangat peduli terhadap keberlanjutan: 30% produk mereka bebas bahan bakar fosil, dan tahun depan mereka menargetkan penggunaan 100% material daur ulang.
Berbeda dengan Nike dan Adidas yang masih bertumpu pada pemasaran dan endorsement besar, On justru tumbuh tanpa kehilangan identitas performa-nya. Pendekatannya pun kolaboratif: keputusan strategis dibuat secara kolektif oleh para co-founder dan eksekutifnya. Ini membuat inovasi bisa berkembang subur. Komunikasi brand mereka juga merefleksikan filosofi Dream Together yang menekankan kebersamaan—jauh dari pendekatan kompetitif ala Nike.
Dalam hal distribusi, On memilih jalur berbeda. Mereka membangun jaringan wholesale dan mengandalkan penjualan langsung ke konsumen (DTC). Lewat retailer besar seperti Bloomingdale’s dan Nordstrom—yang lebih dikenal sebagai destinasi fashion ketimbang olahraga—On menjangkau pasar baru. Mereka juga tetap dekat dengan komunitas pelari lewat toko-toko spesialis. Ketika Nike dan Adidas makin fokus ke toko sendiri, On justru memakai kombinasi wholesale dan DTC. Penjualan DTC On melonjak 54,7% pada kuartal kedua 2024, melebihi pertumbuhan wholesale yang “hanya” 51%.
On juga mulai mengembangkan toko sendiri. Saat ini mereka telah memiliki 23 toko global, dan berencana ekspansi ke Paris, London, dan Chicago. Strategi ini dilakukan untuk memperkenalkan lebih banyak kategori produk, termasuk apparel dan sepatu training. Saat ini, apparel baru menyumbang 4% dari penjualan, tapi ditargetkan tumbuh menjadi 10%. Target ini realistis mengingat performa positif di beberapa toko flagship. Di Shenzhen, misalnya, penjualan apparel bisa mencapai 26%. Untuk mendukung itu, On menyusun strategi merchandising baru dengan mengintegrasikan apparel dan footwear dalam kategori fungsional seperti running dan outdoor.
Dengan pendekatan distribusi yang cermat, ekspansi toko global, dan diversifikasi produk, On terus memperkuat posisinya di tengah stagnasi Nike dan Adidas. Ini membuktikan bahwa inovasi dan strategi yang tepat bisa mengguncang dominasi raksasa. Kebangkitan On patut jadi pelajaran bagi industri sepatu lokal. Dalam lima tahun terakhir, sepatu lokal Indonesia semakin diminati berkat kualitas, harga terjangkau, dan desain inovatif. Eagle dan League tetap eksis dengan produk andalan, Nah Project menarik minat anak muda, Specs dan 910 populer di kalangan atlet, sedangkan Atletia, KY, Larinksport, dan Mills meramaikan pasar dengan produk berkualitas.
Kampanye local pride yang meluas juga mendorong masyarakat bangga menggunakan produk dalam negeri. Apalagi naiknya dolar dan mahalnya sepatu impor membuat banyak orang beralih ke sneaker lokal. Situasi ini mirip awal kemunculan On—mulai dari segmen kecil, lalu berkembang. Kunci keberhasilan On adalah keunikan yang menonjol. Teknologi CloudTec bukan sekadar gimmick, tetapi fitur nyata. Beberapa merek lokal seperti 910 sudah mulai mengadopsi teknologi canggih untuk desain sol dan materialnya—ini perlu dikembangkan lebih jauh.
On juga tahu cara memperluas pasar. Mereka tidak hanya mengandalkan toko sendiri atau situs web, tetapi juga menjual lewat toko ritel besar seperti Nordstrom. Brand lokal pun mulai ke arah sana lewat marketplace seperti Tokopedia dan Shopee. Tapi kalau ingin naik kelas, perlu strategi distribusi lebih luas: masuk ke department store besar, buka gerai eksklusif di mal, atau kolaborasi dengan toko fashion. On juga melakukan itu. Mereka menjadikan sepatu olahraga sebagai bagian dari gaya hidup. Kolaborasi dengan Roger Federer dan Loewe menjadi contoh kuat.
Sneaker bukan hanya soal fungsi, tapi juga identitas. Jika brand lokal bisa masuk ke ranah ini, peluang tumbuhnya bakal sangat besar. Dalam hidup ini, tidak ada dominasi yang abadi. Tak ada kekuasaan yang bertahan selamanya. Nike dan Adidas pun gamang menghadapi perubahan selera pasar. Sementara itu, On membuktikan bahwa brand kecil bisa jadi raksasa baru—bukan karena kekuatan finansial, tapi karena komitmen terhadap inovasi dan pemahaman mendalam terhadap konsumen.
Kita harus ingat: pelanggan selalu mencari yang lebih baik, lebih segar, lebih relevan. Brand lokal Indonesia punya kesempatan. Konsumen kini tak lagi hanya melihat nama besar, tapi juga nilai. Loyalitas konsumen akan berpindah jika merek lokal bisa tawarkan kualitas, inovasi, dan pengalaman yang setara—atau lebih baik. Untuk itu, merek lokal harus berani keluar dari zona nyaman. Jangan hanya mengandalkan emosi kebanggaan sebagai produk lokal. Biarlah kualitas dan pengalaman berbicara. Jangan sekadar ikut tren—ciptakan tren baru!
Lihat bagaimana On bisa masuk ke dunia fashion dan gaya hidup. Merek lokal Indonesia pun bisa melakukan hal serupa. Dengan kombinasi kualitas, inovasi, dan branding yang kuat, bukan mustahil suatu hari nanti sepatu buatan Indonesia bisa bersaing di pasar dunia. Tidak ada dominasi yang abadi. Tidak ada pasar yang tidak bisa ditembus. On menunjukkan bahwa strategi yang tepat bisa membuat merek kecil menjadi raksasa baru. Brand sepatu lokal kita punya potensi besar. Dukung inovasi mereka. Pilih produk berkualitas. Dan jadilah bagian dari kebangkitan brand lokal Indonesia. Sepatu bukan hanya soal kenyamanan, tetapi juga tentang perjalanan—dan perjalanan menuju masa depan industri sneaker tanah air baru saja dimulai. Semoga Allah memudahkan.
Menarik Untuk Ditonton : Pasangan Kompak
Mau Konsultasi?