Tips Bisnis ~ Brand sudah jadi terminologi yang menarik dan paling banyak disebut ketika kita bicara soal marketing dan bisnis. Ketertarikan ini juga memicu banyak orang untuk membuat kelas dan training tentang brand. Ilmunya pun beragam, bahkan kadang ada yang bertentangan, yang akhirnya bikin bingung orang-orang yang sedang memilih—mana sih yang benar?
Salah satu hal menarik adalah, entah kenapa, kelas-kelas tentang brand itu selalu ramai peminatnya. Dalam sesi-sesi kelas yang saya adakan selama sebulan terakhir, muncul banyak pertanyaan dari peserta. Mereka menanyakan pendekatan yang digunakan oleh kelas-kelas lain. Saya pribadi tidak menganggap mereka sebagai kompetitor—lebih kepada partner dalam mengedukasi. Namun memang, semakin banyak yang menjual kelas brand dengan prinsip masing-masing, dan itu bisa membingungkan. Bingungnya dalam arti positif: karena mereka hanya menangkap sebagian, tapi saya anggap ini memperkaya perspektif. Wajar kalau orang datang ke kelas dengan kebingungan tentang mana pendekatan yang benar.
Kalau dilihat, ada dua “kubu” besar dalam pendekatan brand ini. Kubu pertama meyakini bahwa positioning is king. Intinya, mereka percaya bahwa kita bisa menjual produk, bahkan bebas dari perang harga, jika mampu menguasai positioning dengan tepat. Seolah-olah, kalau positioning sudah benar, maka cuan pasti datang, bisnis pasti sukses. Tidak ada hal lain yang dianggap sepenting positioning dalam membangun brand.
Sementara itu, kubu kedua percaya bahwa yang paling penting sekarang adalah reach and frequency. Bagaimana brand bisa menjangkau banyak orang dengan intensitas yang tinggi. Mereka bahkan berani mengatakan bahwa era positioning sudah lewat. Sekarang saatnya bermain di level campaign yang masif dan intens. Buat mereka, itulah jalan berkembangnya brand.
Pertanyaannya: mana yang benar?
Disclaimer dulu: saya menulis ini bukan karena tahu cerita seutuhnya dari kedua kubu itu. Bisa jadi, apa yang muncul di iklan mereka hanyalah clickbait. Saat kelasnya benar-benar berlangsung, mungkin saja pendekatannya lebih komprehensif. Saya tidak tahu. Yang jelas, ini adalah versi saya sendiri—dan saya tidak pernah bilang bahwa versi saya adalah versi paling benar. Saya pun tidak menyalahkan pendekatan kedua kubu tersebut. Saya percaya mereka punya pengalaman dan pengetahuan yang mumpuni, dan menyarikan itu menjadi kelas dengan pendekatan masing-masing.
Buat saya, satu prinsip utama yang tidak bisa dilepaskan dari brand dan marketing adalah bahwa brand itu tidak bisa lepas dari manusia. Brand dibuat oleh manusia, untuk manusia, dan dibeli oleh manusia. Maka dari itu, kita tidak bisa membangun brand tanpa memahami manusia. Dan sayangnya, manusia itu konsisten, tapi juga tidak konsisten. Artinya, ilmu brand juga tidak bisa dikunci dalam satu rumus yang sangat spesifik. Tidak ada “rumus dewa” untuk brand—kecuali di level normatif. Karena manusia itu berubah-ubah, maka konteks berbeda akan butuh ilmu yang berbeda.
Lihat saja satu brand yang sama bisa dipersepsikan sangat berbeda oleh dua orang. Misalnya, Apple. Apakah semua orang suka Apple? Tidak juga. Ada yang bilang overprice dan memilih untuk tidak beli. Tapi ada juga yang tergila-gila sampai jadi fanboy. Kalau rumusnya baku, kenapa hasilnya bisa beda begitu? Karena brand adalah subjective experience. Jadi, dua pendekatan tadi bisa sama-sama benar, tergantung konteksnya. Bisa jadi, pendekatan Kubu A cocok di konteks tertentu, dan pendekatan Kubu B cocok di konteks yang berbeda. Jadi buat saya, keduanya saling melengkapi, bukan saling menegasikan.
Prinsip lain yang penting dalam belajar brand (dan ilmu lainnya) adalah: jangan terlalu fanatik. Orang yang baru tahu sedikit, biasanya kepercayaan dirinya justru tinggi—karena merasa sudah tahu banyak. Ini dikenal sebagai efek mountain of stupidity. Baru belajar sedikit, tapi merasa “wah, ini dia jawabannya.” Padahal bisa jadi kita belum melihat sisi lain yang juga benar. Mungkin saja kita belum main cukup jauh, belum baca cukup banyak, atau belum punya pengalaman yang lengkap.
Karena itu, apapun yang kita pelajari, simpan saja sebagai wawasan. Tidak harus langsung diyakini sebagai kebenaran mutlak. Ada juga istilah Maslow’s Hammer Bias—ketika seseorang hanya punya palu, maka semua masalah terlihat seperti paku. Dalam konteks brand, jika seseorang berangkat dari dunia kreatif, dia akan cenderung membangun formula brand dari sisi message, positioning, atau kreativitas. Tapi jika dari sisi sains atau data, maka dorongan membentuk brand lewat sisi kuantitatif juga akan kuat—dan seolah-olah yang tidak bisa diukur itu tidak valid. Saya pun tidak luput dari bias ini. Karena saya suka behavioral science, maka framework brand saya cenderung dibangun dari perspektif itu. Untungnya, saya memulai karier dari dunia kreatif, lalu menghabiskan 15 tahun terakhir mengawasi marketing secara end-to-end, termasuk digital marketing yang data-driven. Jadi saya berusaha melihat dari banyak sisi.
Mari kita mulai dari level tinggi dulu: Positioning dan Reach & Frequency itu sama-sama penting. Positioning bukan satu-satunya kunci, begitu juga Reach & Frequency tidak bisa berdiri sendiri. Mereka saling melengkapi. Kadang ada brand yang bisa besar meski positioning-nya biasa saja, karena reach dan frequency-nya kuat. Tapi juga ada brand yang meskipun disebar luas, tetap tidak berhasil karena tidak punya positioning yang jelas.
Positioning adalah seni menemukan angle yang membuat brand kita relevan bagi konsumen—tanpa harus mengubah produk itu sendiri. Analogi sederhananya: kalau dalam fotografi, positioning itu seperti foto jurnalis. Momennya tidak direkayasa, tapi fotografernya jago nemuin angle supaya cerita di balik fotonya jadi kuat. Bukan seperti foto fashion atau iklan yang bisa direkayasa total. Jadi, positioning itu tentang menemukan sudut pandang yang membuat produk kita lebih nyambung dengan konsumen.
Nah, jadi ini tentang mencari angle, tujuannya adalah membangun relevansi. Karena kalau tidak relevan dengan konsumen, ya tidak menarik. Dan kalau tidak menarik, brand tidak akan berkembang.
Walaupun positioning tugasnya membangun relevansi dan keunikan yang otentik, kadang memang tidak selalu bisa ditemukan. Bisa saja produknya highly regulated, tidak bisa sembarangan klaim karena ada aturan. Atau, bisa juga ini low involvement product—produk yang orang beli tanpa banyak pertimbangan atau kepedulian. Jadi, mau klaim apa pun juga orang acuh tak acuh.
Contohnya air mineral. Orang sering bilang, “Beli Aqua, dikasih merek apa pun diterima,” kecuali Denny Sumargo ya—dia cuma minum Cleo karena memang brand ambassador-nya Cleo. Jadi, orang mau ngomong “ini mata air paling murni,” ya boleh saja. Tapi apakah artinya yang lain tidak murni? Kan tidak juga. Ada juga yang klaim pH tinggi, ada I+, ada Pristine. Ya benar, dan dari situ mereka punya market share dan diingat karena keunikannya itu tadi. Tapi apa lalu orang tidak mau minum selain dua brand itu? Ya enggak juga. Maka dari itu, positioning ini penting, tapi apakah paling penting? Tidak bisa dibilang begitu—tapi tetap penting.
Kenapa bisa begitu? Karena pertama, air mineral bagi banyak orang adalah low involvement product. Bukan berarti risikonya kecil—ini tetap masuk ke tubuh, pasti orang hati-hati. Tapi karena industri ini dijaga oleh BPOM, standarnya sudah dipenuhi. Jadinya, orang merasa aman saja. Kedua, karena klaim seperti pH tinggi itu intangible. Secara ilmu memang ada manfaatnya, tapi apakah kita bisa merasakan langsung efeknya? Tidak bisa juga. Apalagi kalau konsumsi cairan kita sehari-hari beragam, termasuk kopi yang pH-nya rendah. Jadi, walaupun secara sains bisa diklaim, akhirnya tidak bisa dibuktikan secara pengalaman langsung—dan ini yang membuat air mineral tergolong low involvement.
Kalau kita lihat perdebatan soal positioning, memang ada satu hal yang agak kurang pas menurut saya: positioning dianggap segala-galanya. Kalau positioning kuat, bisnis pasti menang, bebas perang harga. Tapi positioning itu hanya satu komponen untuk penetrasi pasar. Kalau faktor lain tidak oke, ya tetap saja tidak bisa menang. Sebaliknya, kalau positioning tidak terlalu kuat, bukan berarti tidak bisa punya market share yang signifikan.
Menarik Untuk Dibaca : Menjaga Kualitas Produk UMKM
Ambil contoh Prima dari Sosro. Positioning-nya apa? Saya sih kurang tahu, tapi apakah enggak laku? Enggak juga. Mereka manfaatkan jaringan distribusi Sosro yang kuat. Karena tidak gencar beriklan, biaya marketing-nya lebih rendah. Jadi bisa kasih harga lebih murah atau margin lebih besar ke retailer, sehingga lebih banyak didorong ke konsumen. Toh, orang minta Aqua dikasih Prima juga oke-oke saja. Jadi, tanpa positioning pun bisa jalan, untuk konteks tertentu.
Lalu, positioning bikin kita bebas perang harga? Belum tentu juga. Lihat Aqua, Le Minerale, I+, Pristine, Amidis—brand-brand ini punya positioning masing-masing. Tapi apakah ada yang berani pasang harga jauh lebih tinggi? Rata-rata tetap mirip-mirip. Aqua pasang harga lebih tinggi untuk varian Reflection karena memang positioning-nya berbeda—untuk fight Equil dan San Pellegrino, misalnya. Tapi market share-nya pun tidak besar.
Kesimpulannya, positioning itu penting, tapi bukan segalanya. Dan bukan yang paling penting. Apa yang paling penting? Mungkin tidak ada satu hal yang paling penting dalam brand—semuanya tergantung konteks.
Sekarang kita bahas kubu kedua—kubu reach & frequency. Kubu ini seolah-olah mengesampingkan positioning, bilang bahwa positioning sudah tidak relevan lagi. Mereka bilang yang penting adalah gimana brand bisa muncul terus, menjangkau banyak orang, dan diulang-ulang. Kubu ini mungkin akan bilang, “Tuh kan, lihat Prima. Enggak ada positioning-nya, tapi jalan.” Karena kekuatan distribusi yang bisa dianggap bagian dari reach & frequency.
Kubu ini punya poin valid: bahwa brand terbentuk dari experience. Dan experience bisa terbentuk dari cerita, iklan, dan propaganda (yang ini butuh positioning), tapi bisa juga dari pengalaman konsumsi langsung. Konsumen bisa menyimpulkan sendiri brand image-nya setelah mencobanya. Maka dari itu, benar bahwa mendorong konsumen untuk mencoba produk akan membuka jalan untuk brand tumbuh. Mere exposure effect—semakin sering lihat atau pakai, semakin familiar, dan akhirnya lebih dipilih karena merasa aman.
Tapi apakah ini 100% benar? Tidak juga. Karena untuk menjangkau dan membangun frekuensi, butuh biaya besar. Kalau tidak ada uang, bagaimana? Atau kalau pesaing punya dana lebih besar, apa lalu kita kalah terus? Kalau begitu, marketing jadi game of money dong. Siapa yang punya uang, dia yang menang. Lalu ngapain belajar marketing? Tinggal tebar uang saja.
Walaupun kenyataannya memang brand dengan budget besar lebih punya peluang untuk tumbuh cepat, tetap ada banyak faktor lain. Salah satunya: brand premiumness. Seberapa orang masih mau beli meski harganya lebih mahal atau tidak diskon. Ambil contoh kafe yang menawarkan dua pilihan air mineral—Equil dan Prima. Banyak yang akan pilih Prima karena airnya “sama aja.” Lalu buat apa bayar lebih mahal? Walaupun Equil reach-nya besar di kafe, tetap saja orang akan pilih sesuai preferensi harga.
Intinya, reach & frequency adalah tentang intensitas. Makin sering muncul, makin cepat diingat. Tapi ada konteks di mana reach & frequency tidak cukup. Karena brand lain pun bisa punya strategi serupa.
Jadi, rumus sederhananya begini:
Reach & frequency adalah amplifikasi, seberapa keras “suara” brand terdengar.
Positioning adalah brand formula, seberapa merdu suara brand.
Suara yang pelan tapi merdu bisa tetap diingat. Lama-lama bisa tumbuh. Sebaliknya, suara keras tapi sumbang bisa bikin orang menolak. Maka dari itu, positioning dan reach & frequency tidak perlu dipertentangkan. Jangka pendek, reach & frequency penting untuk dapat perhatian. Tapi jangka panjang, positioning yang kuat akan lebih diingat dan disukai.
Kesimpulan akhirnya adalah: brand dan marketing itu tentang manusia. Dan manusia itu tidak konsisten. Maka, jangan cuma mau satu rumus saja. Serap semua ilmu, gunakan sesuai konteks. Karena tidak ada satu rumus yang cocok untuk semua situasi. Marketing itu kompleks. Departemen paling luas di bisnis. Ada sisi logis dan data-driven, ada sisi emosional dan kreatif. Marketing adalah kombinasi antara science dan art. Jadi, masing-masing pendekatan tidak bisa mengklaim paling benar. Butuh banyak faktor untuk membuat brand besar—tidak bisa hanya satu saja.
Semoga jelas bahwa dua pendekatan ini saling melengkapi, bukan saling membantah. Keduanya benar. Tapi keduanya juga saling membutuhkan
Menarik Untuk Ditonton : Berawal Dari TKI Sekarang Sukses Jualan Kulit Lumpia
Mau Konsultasi?