Cerita Usaha ~ Bukalapak resmi menutup layanan e-commerce-nya per 7 Januari 2025. Platform yang dahulu menjadi salah satu pionir marketplace di Indonesia ini kini mengalihkan fokus bisnisnya. Bukalapak menyetop layanan penjualan untuk semua produk fisik, menandai berakhirnya perjalanan mereka di dunia online marketplace. Keputusan ini cukup mengejutkan, mengingat Bukalapak telah berdiri sejak tahun 2010 dan berkembang pesat hingga mencapai puncaknya pada 2021 dengan pencatatan IPO senilai Rp21,9 triliun. Langkah ini memancing pertanyaan, mengapa Bukalapak mundur dan apa strategi mereka ke depan?
Bukalapak didirikan pada 10 Januari 2010 oleh tiga lulusan ITB, yaitu Ahmad Zaki, Nugroho Heru Cahyono, dan Fajrin Rashid. Awalnya, mereka ingin membantu warung kecil, perajin, dan pengusaha rumahan untuk berkembang di era digital. Dalam tiga tahun, Bukalapak berhasil menarik lebih dari 80.000 pelapak aktif dengan transaksi harian mencapai Rp500 juta. Puncaknya terjadi pada 2018 saat mereka menjadi unicorn dengan valuasi lebih dari 1 miliar dolar AS. Pada 2020, Bukalapak telah melayani 130 juta pengguna dan mendukung 16,8 juta mitra UMKM. Kemudian, pada 6 Agustus 2021, Bukalapak melantai di Bursa Efek Indonesia melalui IPO senilai Rp21,9 triliun, menjadikannya salah satu IPO terbesar di Indonesia.
Seiring pertumbuhannya, Bukalapak menghadapi persaingan yang semakin ketat. Lazada dan Zalora hadir pada 2012, disusul Tokopedia yang melesat pada 2014 berkat investasi besar. Kemudian, Shopee muncul pada 2015 dengan strategi agresif seperti gratis ongkir, diskon besar-besaran, dan fitur pembayaran ShopeePay. Kehadiran TikTok Shop semakin memperumit kompetisi dengan tren live shopping yang mengubah pola belanja konsumen. Desember 2023 menjadi titik balik bagi e-commerce Indonesia ketika ByteDance mengakuisisi 75% saham Tokopedia dengan investasi Rp23 triliun, menciptakan ekosistem yang sulit disaingi. Persaingan yang semakin sengit menyebabkan Bukalapak kehilangan daya saing, di mana nilai transaksinya terus tertinggal dibanding Tokopedia dan Shopee.
Selain persaingan ketat, fenomena “bakar uang” turut menekan Bukalapak. Shopee dan Tokopedia mampu bertahan dengan promosi agresif yang menarik pengguna, meski mengorbankan profitabilitas jangka pendek. Bukalapak, yang memiliki modal terbatas, kesulitan bersaing dalam strategi ini. Ditambah lagi, inovasi menjadi faktor penting dalam industri e-commerce, namun Bukalapak gagal mengikuti tren live shopping yang semakin populer di Indonesia. Alhasil, hanya segelintir pemain besar yang bertahan, sementara Bukalapak semakin tertinggal.
Menarik Untuk Dibaca : Pulang Kampung Jadi Bos
Penutupan e-commerce Bukalapak bukanlah akhir, melainkan bagian dari strategi transformasi bisnis yang telah mereka rancang sejak lama. Sejak 2021, Bukalapak mulai mengembangkan bisnis di sektor produk virtual, gaming, investasi ritel, dan Mitra Bukalapak. Produk virtual seperti pulsa, token listrik, dan voucher game kini menjadi tulang punggung bisnis mereka. Selain itu, Mitra Bukalapak membantu warung kecil dan kios dalam menyediakan layanan digital bagi konsumennya. Saat ini, layanan marketplace hanya menyumbang kurang dari 3% dari total pendapatan Bukalapak, sehingga keputusan menutup layanan e-commerce fisik menjadi langkah logis untuk lebih fokus pada bisnis yang lebih relevan dan berkelanjutan.
Strategi ini juga beriringan dengan keputusan Bukalapak untuk tidak ikut dalam persaingan bakar uang. Sisa dana IPO sebesar Rp9,8 triliun mereka investasikan dalam instrumen keuangan seperti deposito, giro, dan obligasi. Pendekatan ini membuat Bukalapak lebih stabil secara finansial, meski sempat menuai sorotan dari OJK. Manajemen Bukalapak menegaskan bahwa dana IPO tersebut akan digunakan sesuai rencana sebelum akhir 2025.
Meski demikian, penutupan e-commerce Bukalapak tetap disayangkan. Sebagai salah satu marketplace lokal pertama di Indonesia, kepergiannya dari industri ini membuat persaingan semakin didominasi oleh pemain besar. Penutupan ini juga berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi sejumlah karyawan di divisi marketplace. Namun, Bukalapak memastikan bahwa seluruh hak dan kompensasi mereka akan dipenuhi sesuai peraturan yang berlaku.
Ke depan, Bukalapak berfokus pada digitalisasi UMKM dengan memperkuat ekosistem offline to online. Mereka kini lebih menargetkan segmen bisnis ke bisnis (B2B) ketimbang pasar ritel langsung. Namun, persaingan di sektor ini pun tidak mudah. Dalam layanan produk virtual dan pembayaran digital, Bukalapak harus bersaing dengan pemain besar seperti Gopay, OVO, Dana, dan ShopeePay yang sudah memiliki ekosistem kuat. Agar berhasil, Bukalapak perlu menawarkan nilai tambah yang unik, seperti insentif khusus atau layanan yang belum tersedia di platform lain. Selain itu, mereka harus memastikan keamanan, efisiensi operasional, serta pengalaman pengguna yang lebih baik untuk tetap relevan di pasar.
Masa depan Bukalapak kini ditentukan oleh kemampuan mereka dalam mengembangkan layanan digital bagi UMKM serta mengelola dana IPO secara bijak. Meski langkah mereka berbeda dari e-commerce lain, Bukalapak masih memiliki peluang untuk membangun bisnis yang lebih berkelanjutan. Sebagai pionir marketplace lokal, Bukalapak telah menginspirasi banyak pelaku usaha digital di Indonesia. Semoga mereka mampu beradaptasi dan tetap berinovasi agar e-commerce lokal tetap memiliki tempat di negeri sendiri.
Menarik Untuk Ditonton : Cara Membuat Action Plan
Mau Konsultasi?