Awalnya, Nick Woodman menciptakan GoPro karena pengalaman pribadinya saat berselancar di Australia. Kamera yang ia gunakan tidak berfungsi dengan baik, sehingga ia terinspirasi menciptakan kamera kecil tahan air bernama GoPro Hero. Dengan pinjaman $200.000 dari ayahnya, Nick mulai menjual GoPro ke toko alat selancar, dan produk ini mendapat sambutan hangat. Pada 2004, GoPro dipesan dalam jumlah besar oleh pasar Jepang, dan setahun kemudian berhasil menjual 3.000 unit dalam 10 menit di kanal belanja QVC. GoPro pun dikenal sebagai kamera inovatif yang wajib dimiliki para petualang ekstrem.
Popularitas ini menarik banyak investor, dan valuasi GoPro terus melonjak. Namun, pertumbuhan perusahaan yang terlalu cepat mulai menciptakan masalah. Jumlah karyawan melonjak dari 700 menjadi 1.800 orang, tetapi koordinasi antar tim buruk, sehingga banyak proyek yang tumpang tindih dan merugi. Efisiensi operasional menurun, biaya meningkat, dan pasar kamera aksi mulai jenuh. Pada 2015, laba bersih GoPro turun drastis menjadi hanya 2%, meskipun pendapatan mencapai $1,6 miliar. Sementara itu, Nick mulai menikmati gaya hidup mewah dengan membeli jet pribadi, kapal pesiar, dan koleksi mobil mahal.
Menarik Untuk Dibaca : Kenapa Izin Usaha Penting ?
Di tengah tantangan ini, Nick berekspansi ke bisnis media, berharap menjadikan GoPro sebagai platform digital yang bisa menyaingi Netflix dan YouTube. Perusahaan mempekerjakan sekitar 100 staf untuk memproduksi lebih dari 30 serial video dengan anggaran besar, tetapi proyek ini gagal total. Pada 2018, divisi media ditutup setelah menghabiskan jutaan dolar tanpa menghasilkan pendapatan.
GoPro kembali fokus ke pasar kamera, meluncurkan Hero4 Session, kamera kecil dengan harga awal $399. Namun, produk ini gagal karena dianggap terlalu mahal dibandingkan pesaing seperti Yi dan SJCam, yang menawarkan harga lebih terjangkau. Pemangkasan harga menjadi $199 justru merusak reputasi GoPro sebagai merek premium. Pada 2016, GoPro masuk ke pasar drone dengan meluncurkan Karma, tetapi produk ini mengalami masalah teknis seperti baterai yang mudah lepas saat terbang. Akibatnya, 2.500 unit Karma ditarik dari pasar, reputasi perusahaan rusak, dan biaya operasional membengkak. Pada 2018, GoPro akhirnya meninggalkan pasar drone.
Di sisi lain, persaingan dari smartphone modern yang semakin canggih dan terjangkau semakin menekan posisi GoPro. Keunggulan seperti portabilitas dan daya tahan tidak lagi eksklusif, sementara GoPro gagal menghadirkan inovasi signifikan, seperti kamera 360 derajat atau integrasi dengan perangkat pintar lainnya. Akibatnya, pangsa pasar GoPro turun dari 50% pada 2015 menjadi hanya 20% pada 2019. Pendapatan mereka juga menurun drastis, dan saat ini GoPro tertinggal dari pesaing seperti Nikon dan Garmin.
GoPro, yang pernah menjadi pemimpin pasar kamera aksi, kini menghadapi kenyataan pahit sebagai pemain biasa dengan margin keuntungan yang semakin kecil. Kisah ini menjadi pelajaran penting tentang perlunya fokus pada kekuatan inti, inovasi yang berkelanjutan, dan strategi ekspansi yang matang.
GoPro sukses menciptakan pasar kamera aksi hingga mendominasi industri tersebut. Kesuksesan ini mendorong perusahaan untuk mencoba menjadi lebih dari sekadar produsen kamera. Sayangnya, diversifikasi usaha yang dilakukan tidak matang, sehingga sumber daya yang ada terkuras tanpa hasil yang memadai. Akibatnya, pasar inti mereka akhirnya direbut oleh para pesaing. GoPro berekspansi secara agresif ke bisnis media dan industri drone tanpa analisis mendalam serta kesiapan teknologi yang cukup. Langkah ini gagal total, bahkan memperburuk kondisi finansial perusahaan. Selain itu, GoPro juga gagal berinovasi pada lini produk utama mereka, sehingga tidak mampu bersaing dengan para pemain baru, bahkan dengan smartphone modern yang perlahan-lahan menggantikan fungsi kamera aksi.
Serangkaian peristiwa tersebut menggiring GoPro ke persimpangan jalan. Nick Woodman, pendiri GoPro, harus mempertimbangkan langkah berikutnya secara matang: apakah tetap mencoba diversifikasi bisnis atau kembali memperkuat pasar kamera aksi sebagai inti bisnisnya. Jika GoPro memilih untuk meneruskan diversifikasi, mereka harus belajar dari kegagalan sebelumnya. Namun, jika kembali ke bisnis inti, situasi tidak akan mudah. Pasar kamera aksi sudah sangat kompetitif, ditambah dengan kemajuan teknologi smartphone yang terus menekan fungsi kamera aksi.
Menyadari tantangan tersebut, Nick akhirnya memutuskan untuk fokus pada kekuatan inti GoPro. Salah satu strategi yang diperkenalkan adalah GoPro Plus, model bisnis berbasis langganan. Berbeda dari sebelumnya yang hanya menjual kamera dan aksesori tanpa layanan tambahan, GoPro Plus menawarkan berbagai keuntungan, seperti penyimpanan cloud tanpa batas untuk rekaman GoPro, penggantian kamera yang rusak, diskon 50% untuk pembelian aksesori, dan fitur video editing melalui aplikasi.
Untuk mendorong konsumen berlangganan, GoPro menerapkan strategi harga unik. Kamera yang dibeli langsung dari situs GoPro dihargai $350, jauh lebih murah dibandingkan di toko ritel yang mencapai $550. Selisih harga ini membuat banyak konsumen memilih membeli langsung dari situs resmi, yang secara otomatis mendaftarkan mereka sebagai pelanggan GoPro Plus. Model bisnis berbasis langganan ini memberikan GoPro pendapatan rutin bulanan yang lebih stabil, tidak lagi bergantung pada tren pasar atau musim. Dalam waktu singkat, GoPro berhasil meraih pendapatan sekitar $100 juta per tahun dari langganan dengan margin keuntungan hingga 70-80%.
Pendapatan stabil ini membantu memperbaiki keuangan GoPro, yang pada 2021 mencatat keuntungan sebesar $371 juta, keuntungan pertama mereka setelah lima tahun berturut-turut merugi. Meski demikian, kebangkitan kecil ini belum cukup untuk mengembalikan GoPro ke masa jayanya sebagai pelopor dan pemimpin pasar kamera aksi. Data menunjukkan bahwa sejak mencapai puncak pendapatan $1,8 miliar pada 2015, pendapatan GoPro terus menurun. Pada 2024, pendapatan mereka hanya mencapai $31 juta, jauh lebih kecil dibandingkan masa keemasannya.
Ada tiga pelajaran penting yang bisa diambil dari kisah GoPro. Pertama, jangan pernah melupakan akar saat ingin tumbuh lebih tinggi. GoPro awalnya berjaya dengan menggarap ceruk pasar kamera aksi, tetapi ambisi mereka untuk menjadi perusahaan media membuat fokus mereka terpecah. Sumber daya terkuras, dan pasar inti yang dulu dikuasai mulai jatuh ke tangan pesaing. Bertumbuh itu penting, tetapi harus tetap sejalan dengan kekuatan utama.
Kedua, percaya diri itu baik, tetapi jangan terlalu berlebihan. Keberhasilan awal membuat GoPro merasa merek mereka cukup kuat untuk mematok harga tinggi, seperti pada Hero4 Session, tanpa riset yang matang. Padahal, pesaing sudah menawarkan produk serupa dengan harga lebih terjangkau. Konsumen yang kecewa akhirnya berpaling ke kompetitor.
Ketiga, inovasi seperti api unggun harus terus dijaga agar tetap berkobar. Meski GoPro adalah pelopor kamera aksi, mereka gagal menghadirkan pembaruan yang signifikan, sementara pesaing terus menawarkan teknologi yang lebih canggih. Ketika inovasi berhenti, konsumen pun pergi.
Kisah GoPro mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan antara ambisi dan kebijaksanaan. Jangan pernah lupa pada kekuatan utama, karena itulah akar yang memberi kekuatan untuk melangkah lebih jauh. Kesuksesan sejati bukan hanya tentang hasil, tetapi juga tentang perjalanan yang penuh makna hingga akhir.
Menarik Untuk Ditonton : Cara Jualan Lewat Facebook Marketplace
Mau Konsultasi?