Salah satu kasus perang harga terjadi sekitar 10 tahun lalu di industri telekomunikasi seluler. Harga layanan turun drastis hingga titik yang tidak wajar, yaitu Rp0,001 per menit. Praktik ini menimbulkan pertanyaan mengapa perusahaan bermain-main dengan harga. Sebagai dasar, persaingan bisnis dalam pemasaran berpusat pada 7P: Product, Promotion, Place, People, Physical Evidence, Process, dan Price. Jika enam aspek pertama sudah dimaksimalkan tetapi hasilnya belum memuaskan, maka strategi terakhir adalah menurunkan harga.
Praktik subsidi silang juga sering digunakan dalam perang harga. Misalnya, barang A dijual rugi, tetapi barang B dijual dengan keuntungan besar sehingga secara keseluruhan perusahaan tetap memperoleh laba. Contohnya adalah strategi purchase with purchase, di mana produk tertentu dijual murah dengan syarat pelanggan harus bertransaksi minimal dalam jumlah tertentu. Selain itu, subsidi silang juga terjadi dalam transaksi berulang. Contohnya adalah layanan transportasi online yang memberikan harga diskon pada transaksi awal untuk menarik pelanggan, dengan harapan pelanggan akan kembali melakukan transaksi berikutnya.
Dari sudut pandang konsumen, harga murah sangat menarik karena menurunkan “rasa sakit” yang dirasakan saat kehilangan uang untuk mendapatkan barang yang diinginkan. Bahkan, studi menunjukkan bahwa barang dengan harga diskon yang mencantumkan harga sebelumnya (misalnya, Rp150.000 dicoret menjadi Rp100.000) lebih menarik dibandingkan barang yang langsung diberi harga Rp100.000 tanpa diskon.
Menarik Untuk dibaca : Mampukan BUMN Maju
Strategi perang harga biasanya dilakukan dengan tiga tujuan utama. Pertama, mencuri perhatian pasar dan mendorong konsumen mencoba produk baru. Misalnya, sebuah warung bakmi baru memberikan makan gratis selama satu hari untuk menarik konsumen dari dua warung bakmi terkenal di daerah tersebut. Strategi ini berhasil mengurangi hambatan masuk ke pasar, namun keberhasilan jangka panjang tetap bergantung pada kualitas produk dan pengalaman konsumen.
Kedua, predatory pricing juga sering digunakan untuk menghancurkan pesaing yang memiliki modal lebih kecil. Pesaing ini seringkali tidak dapat bertahan lama dalam kondisi rugi terus-menerus. Ketiga, harga murah digunakan untuk menciptakan loyalitas konsumen di masa depan, terutama pada produk dengan pembelian berulang seperti e-wallet, layanan internet, dan kebutuhan sehari-hari.
Dengan memahami alasan di balik strategi perang harga dan praktik subsidi silang, pelaku bisnis dapat menyusun langkah strategis untuk bertahan menghadapi tantangan pasar yang kompetitif. Namun, kunci utama tetap pada inovasi produk, kualitas layanan, dan pengalaman konsumen yang memuaskan.
Untuk menghadapi pesaing yang brand-nya tidak kompetitif, langkah terbaik adalah membiarkan mereka memberikan diskon. Biasanya, konsumen tidak akan kembali kepada brand tersebut jika produk atau pengalaman yang ditawarkan tidak kuat. Namun, jika pesaing memiliki produk yang kuat, kita harus lebih berhati-hati karena ada kemungkinan konsumen pindah atau tetap mempertimbangkan pesaing sebagai pilihan.
Alasan lain pesaing menawarkan harga lebih murah adalah efisiensi yang lebih baik. Ini sering terjadi ketika pesaing memiliki harga modal yang lebih rendah atau sistem operasional yang lebih efisien. Dalam kasus ini, perusahaan perlu fokus meningkatkan efisiensi manajemen untuk bersaing. Sebaliknya, jika pesaing menjual produk dengan spesifikasi lebih rendah, hal ini tidak perlu terlalu dikhawatirkan, kecuali segmentasi dan target pasar kita salah. Jika segmentasi dan target pasar tepat, konsumen akan tetap memilih produk kita. Namun, jika produk kita over-spec dan tidak sesuai kebutuhan konsumen, mereka mungkin beralih ke pesaing yang menawarkan spesifikasi lebih sederhana dengan harga lebih murah.
Sering kali, perusahaan membiarkan pesaing menurunkan harga terlebih dahulu dan baru menyesuaikan harga ketika omzet mulai turun. Namun, menurunkan harga tanpa memahami alasan di balik strategi pesaing adalah langkah berisiko. Jika strategi pesaing hanya sementara untuk mencuri pangsa pasar, membalas dengan penurunan harga dapat menyebabkan perang harga yang tidak berkesudahan. Dalam perang harga, biasanya tidak ada pemenang, karena kedua belah pihak bisa sama-sama rugi sementara konsumen yang diuntungkan. Pada akhirnya, semua pihak yang terlibat berisiko mati secara finansial.
Efek samping dari perang harga dan strategi penurunan harga ini harus dipahami dengan baik. Pertama, dilusi pleasure, di mana daya tarik dari diskon akan menurun seiring waktu. Misalnya, diskon 10% awalnya menarik, tetapi jika terus diberikan, konsumen akan merasa tidak istimewa dan mulai mengharapkan diskon lebih besar. Kedua, dilusi pain, yaitu rasa sakit atau ketidaknyamanan yang awalnya dirasakan konsumen terhadap harga tinggi perlahan menghilang. Konsumen yang terus-menerus menggunakan produk meskipun pesaing menawarkan harga lebih murah akan terbiasa dan tidak lagi tergoda oleh diskon pesaing.
Ketiga, dan yang paling penting, adalah dilusi brand. Jika strategi utama perusahaan hanya fokus pada harga, konsumen tidak akan memiliki kesempatan untuk menghargai nilai brand. Konsumen hanya akan melihat hitung-hitungan harga, terutama jika brand belum dibangun dengan baik. Fokus pada harga murah tanpa membangun nilai merek yang kuat dapat membuat brand kehilangan identitas dan loyalitas konsumen dalam jangka panjang.
Oleh karena itu, penting bagi perusahaan untuk memahami strategi pesaing, memperkuat efisiensi, dan fokus pada pembangunan brand yang kuat. Hal ini dapat membantu menghadapi perang harga tanpa kehilangan identitas dan posisi di pasar.
Seorang pengusaha kopi pernah bertanya, apakah ide untuk menjual kopi berkualitas sebanding Starbucks seharga Rp25.000, lalu memberikan diskon hingga Rp5.000 untuk memperkenalkan merek baru, adalah langkah yang tepat. Strategi ini mungkin meningkatkan penjualan sementara, tetapi menarik pelanggan yang salah. Sebagian besar konsumen yang tertarik dengan harga Rp5.000 cenderung tidak mampu atau tidak mau membeli kopi seharga Rp25.000. Ketika harga kembali ke Rp25.000, pelanggan tersebut akan meninggalkan produk, sementara konsumen yang mampu membayar Rp25.000 justru enggan mencoba karena merek sudah dianggap sebagai “kopi Rp5.000”.
Sebaliknya, jika merek besar seperti Starbucks menawarkan diskon besar-besaran, hal ini akan dianggap sebagai kesempatan emas oleh konsumen. Brand yang kuat seperti Starbucks dinilai berdasarkan reputasi, bukan harga. Ketika harga kembali normal, konsumen tetap bersedia membeli karena nilai merek tetap terjaga. Diskon bagi merek besar hanya berfungsi sebagai bonus sementara yang tidak merusak citra brand.
Salah satu strategi yang efektif dalam perang harga adalah membuat perbandingan menjadi tidak relevan. Contohnya, jika pesaing menjual 10 tusuk sate seharga Rp25.000, Anda dapat mengubah penawaran menjadi 8 tusuk seharga Rp24.000 (harga per tusuk sama), atau 12 tusuk seharga Rp35.000 (dengan diskon kecil). Strategi ini mengaburkan perbandingan langsung dan mendorong konsumen untuk melihat nilai tambahan. Dalam kasus produk yang ukurannya spesifik, seperti susu dengan volume 700 ml dibandingkan 750 ml, konsumen akan kesulitan membandingkan harga secara langsung.
Selain itu, penting untuk memanfaatkan review pelanggan. Manusia cenderung mencari validasi dari pendapat orang lain, sehingga ulasan positif dapat memperkuat persepsi nilai produk. Review yang baik juga membantu justifikasi harga yang lebih tinggi. Misalnya, “Pantas harganya mahal, review-nya bagus dan banyak yang merekomendasikan.”
Selanjutnya, menemukan keunikan produk sangat penting. Kekhawatiran terhadap perang harga sering kali menunjukkan kurangnya keunikan. Keunikan ini tidak selalu terletak pada produk itu sendiri, tetapi juga bisa berupa pengalaman pelanggan, layanan, program loyalitas, atau nilai lingkungan. Contohnya, Apple bisa menjual produknya dengan harga lebih mahal dibanding Android karena kekuatan mereknya. Begitu pula Toyota dibanding Daihatsu, atau Garuda Indonesia dibanding maskapai budget lainnya.
Brand adalah fondasi utama yang harus dibangun sebelum bersaing harga. Merek-merek besar yang menawarkan harga lebih mahal sering kalah dalam hal value for money, tetapi mereka unggul dalam kekuatan merek, yang dihargai oleh konsumen. Oleh karena itu, fokuslah membangun merek yang kuat terlebih dahulu, baru kemudian bermain dengan strategi harga. Jangan membalikkan urutan ini dengan menurunkan harga terlebih dahulu sebelum membangun merek.
Menarik Untuk DItonton : Cara Membuat Katalgo di WA Bussiness
Mau Konsultasi?