Ini bukan sekadar klaim; strategi bisnis ini sah dan adil. Perusahaan raksasa seperti Coca-Cola, Walmart, Tesla, dan Apple telah memanfaatkan tahun politik untuk mendongkrak keuntungan serta pertumbuhan bisnis mereka.
Bagaimana caranya? Pada tahun 2024, ada sekitar 40 negara yang akan menggelar pemilu, termasuk Indonesia, Amerika, India, dan Taiwan. Kegiatan ini akan melibatkan sekitar 3,2 miliar orang atau 41% dari total populasi dunia.
Jika Produk Domestik Bruto (PDB) dari 40 negara ini digabung, maka jumlahnya mencapai 44 triliun USD atau setara dengan 44% dari PDB dunia. Inilah mengapa kegiatan pemilu tahun 2024 sangat mempengaruhi perekonomian global. Di Eropa, misalnya, perusahaan-perusahaan besar menunda ekspansi dan merger, sementara di Asia, terutama di Jepang dan Korea Selatan, investasi asing melambat.
Menurut hasil survei Hiver Analytics, para pelaku bisnis di berbagai negara bersikap hati-hati dan menunggu kepastian politik pasca pemilu. Salah satu dampaknya adalah harga emas yang melonjak hingga mencapai level tertinggi dalam 50 tahun terakhir. Di Indonesia, situasi serupa juga terjadi. Aktivitas ekonomi nasional melambat, dan pertumbuhan ekonomi cenderung tersendat dalam dua kuartal menjelang pemungutan suara. Riset dari Bank DBS mengungkapkan adanya pola yang sama pada pemilu 2004, 2009, 2014, dan 2019.
Menarik Untuk DIbaca : Cerita Lahirnya Vespa
Salah satu kekhawatiran sektor usaha menjelang pemilu adalah ketidakpastian politik. Perusahaan besar dan kecil, baik lokal maupun asing, cenderung berhati-hati. Mereka khawatir adanya perubahan kebijakan yang dapat memengaruhi operasional dan profitabilitas.
Banyak yang merasa lebih baik menunggu kepastian arah kebijakan pemerintah yang baru. Kekhawatiran serupa juga dirasakan investor asing. Foreign Direct Investment (FDI) biasanya menurun menjelang pemilu karena investor asing cenderung khawatir pemimpin baru akan membuat kebijakan yang tidak mendukung lingkungan bisnis, seperti perubahan perpajakan, regulasi ekspor-impor, atau pembatasan investasi asing di sektor-sektor strategis, yang langsung mengganggu rencana bisnis mereka.
Menariknya, investasi domestik cenderung lebih stabil. Mungkin, pelaku bisnis lokal lebih memahami dinamika politik dalam negeri sehingga mereka dapat membuat kalkulasi dan menyesuaikan diri dengan situasi yang berkembang. Namun, banyak pelaku usaha tetap berada di persimpangan jalan saat pemilu selesai, terjebak dalam dilema antara menunggu atau bergerak.
Pilihan ini memang tidak mudah, karena pasar masih bergejolak dan kebijakan baru belum jelas. Menunggu memang terasa aman, karena jika situasi tidak stabil, risikonya lebih kecil. Namun, sikap menunda juga bisa merugikan karena mereka bisa kehilangan momentum bagus jika pasar tiba-tiba bergerak cepat.
Ingatlah bahwa dalam bisnis, timing adalah segalanya. Oleh karena itu, tidak semua perusahaan memilih berdiam diri setelah pemilu selesai; ada yang berani langsung bergerak. Bagi mereka, ketidakpastian justru menjadi peluang emas. Ketika banyak perusahaan memilih berhenti sejenak, mereka yang bertindak cepat dapat meraih keuntungan besar.
Para pelaku usaha kecil (Small Traders) atau pebisnis kecil cenderung lebih cepat bergerak dan berani mengambil risiko dibandingkan perusahaan besar. Inilah senjata utama mereka untuk bersaing dengan perusahaan besar: kecepatan dan kelincahan. Di Indonesia, kita patut bersyukur karena pemilu berjalan dengan tertib dan lancar.
Pemenang telah ditetapkan, sehingga situasi ini berhasil menurunkan tensi dan kekhawatiran banyak pelaku bisnis. Juru bicara Kementerian Perindustrian, Feb Henry Anon Arif, menyatakan bahwa situasi pasca-pemilu sangat kondusif dan kepercayaan dunia usaha mulai bangkit. Sebelumnya, banyak pelaku bisnis bersikap “wait and see,” tetapi sekarang mereka kembali menjalankan produksi dengan lebih optimis.
Indeks Kepercayaan Industri yang dirilis pada Februari 2024 menunjukkan bahwa 31,7% responden dari kalangan pengusaha mengaku telah meningkatkan bisnis mereka. Padahal, di bulan Januari 2024, angka itu hanya 30,1%. Peningkatan ini menunjukkan adanya pemulihan yang signifikan pasca-pemilu.
Optimisme dunia usaha terhadap perekonomian juga meningkat, dengan hasil riset yang menunjukkan 71% responden optimis tentang kondisi ekonomi dalam enam bulan ke depan, naik dari 67,6% di bulan Januari. Ini merupakan sinyal kuat bahwa ketika politik stabil, pelaku bisnis akan lebih berani berinvestasi dan mengembangkan usahanya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Dani, menyatakan hal yang serupa. Sebelumnya, banyak pengusaha berhati-hati, menunggu dan mengamati situasi.
Namun, dengan pemilu yang tertib, dunia usaha kini lebih tenang melanjutkan rencana-rencana mereka. Perekonomian Indonesia juga diprediksi akan pulih lebih cepat dari perkiraan. Baru-baru ini, Bank Dunia memperkirakan ekonomi Indonesia akan tumbuh 5% pada tahun 2024 dan meningkat menjadi 5,1% pada 2025. Data ini diambil dari laporan terbaru *East Asia and Pacific Economic Update* yang dirilis pada Oktober 2024.
Indonesia berada dalam posisi lebih baik dibandingkan negara-negara tetangganya di Asia Tenggara, yang masih berjuang untuk mencapai level pertumbuhan pra-pandemi. Pertumbuhan ekonomi di Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam diproyeksikan akan lebih lambat dan bahkan bisa berada di bawah level pra-pandemi.
Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang pertumbuhan ekonominya diperkirakan akan melampaui tingkat sebelum pandemi.
Chief Economist Bank Dunia untuk kawasan Asia Pasifik, Aditya Mattoo, menegaskan bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk terus tumbuh berkat pondasi ekonomi yang kuat dan kebijakan yang tepat. Indonesia juga berhasil menghadapi tantangan global, termasuk pemulihan pasca-pandemi, dengan lebih baik dibandingkan negara-negara tetangganya.
Pertumbuhan yang solid ini membuat Indonesia diperkirakan mampu menghadapi tantangan global seperti fluktuasi harga komoditas dan ketidakpastian geopolitik, asalkan reformasi ekonomi dilakukan dan stabilitas makroekonomi tetap terjaga.
Setelah pemilu, sering kali muncul peluang investasi dengan harga yang lebih rendah, dan ini menjadi kesempatan bagi perusahaan yang cermat untuk berinvestasi. Mereka dapat meraih keuntungan besar ketika ekonomi mulai pulih dan kebijakan pemerintah mendukung stabilitas. Ini menunjukkan bahwa perubahan iklim politik tidak selalu buruk bagi dunia bisnis.
Kita bisa belajar dari beberapa perusahaan yang sukses memanfaatkan momentum tahun politik, seperti Coca-Cola, Walmart, Tesla, dan Apple, yang berhasil mendongkrak pertumbuhan bisnis mereka dengan memanfaatkan reformasi ekonomi di masa-masa perubahan politik.
Pada 1980-an, Coca-Cola bergerak cepat ketika China, di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping, membuka pintu bagi investasi asing. Coca-Cola menjadi salah satu perusahaan Amerika pertama yang kembali ke China setelah absen hampir 30 tahun.
Dengan investasi besar dan strategi pemasaran yang disesuaikan dengan budaya setempat, Coca-Cola berhasil memperluas pasarnya secara signifikan di China. Sementara itu, Walmart memanfaatkan situasi politik di Meksiko ketika pada awal 1990-an Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) diberlakukan.
Walmart memanfaatkan kebijakan tarif yang lebih rendah dan aturan perdagangan yang lebih longgar, bahkan mengakuisisi Cifra, sebuah jaringan supermarket lokal. Hasilnya, Walmart dengan cepat menjadi ritel terbesar di Meksiko, mengandalkan strategi akuisisi dan iklim perdagangan yang lebih terbuka.
Tesla menempuh langkah cerdas ketika Jerman memperkenalkan kebijakan energi terbarukan dan subsidi kendaraan listrik. Tesla langsung merespons dengan membangun Gigafactory di Brandenburg, yang tidak hanya memperluas jangkauan Tesla di Eropa tetapi juga mendukung misi Jerman dalam mengurangi emisi karbon. Tesla meraih keuntungan besar dari subsidi dan insentif yang diberikan pemerintah Jerman untuk energi hijau.
Apple, di sisi lain, memanfaatkan kebijakan baru pemerintah India melalui inisiatif “Made in India” yang mendorong manufaktur lokal. Apple dengan cepat memindahkan sebagian produksi iPhone ke India, yang tidak hanya mendukung produksi lokal tetapi juga memperkuat posisinya di pasar India yang sedang tumbuh pesat.
Sebagian orang mungkin melihat ketidakpastian politik sebagai ancaman, terutama menjelang dan setelah pemilu. Namun, bagi sebagian lainnya, ketidakpastian politik justru dianggap sebagai peluang emas. Ketika banyak bisnis menunda langkah, tercipta kekosongan pasar yang bisa dimanfaatkan oleh pebisnis cerdik.
Mereka menganalisis dan memproyeksikan dampak dari kebijakan baru, menyusun strategi dengan matang, dan bergerak lebih dulu saat para kompetitor masih ragu. Dengan begitu, mereka bukan hanya sekadar bertahan tetapi juga berpotensi meraih keuntungan besar dan tumbuh lebih jauh. Langkah ini mengingatkan kita bahwa perubahan situasi politik tidak selalu berdampak buruk bagi bisnis; yang penting adalah kemampuan beradaptasi cepat dan keberanian mengambil risiko terukur.
Peluang bisa datang dari kebijakan baru, valuasi yang lebih rendah, atau insentif dari pemerintah, yang memberi keuntungan bagi perusahaan yang siap dengan rencana jangka panjang dan stabilitas keuangan. Keberhasilan menghadapi ketidakpastian bergantung pada kemampuan melihat ke depan dan membuat prediksi yang tepat.
Alih-alih hanya fokus pada risiko, pebisnis cerdik justru mencari peluang tersembunyi. Mereka yang berani bergerak cepat dan mengambil keputusan berdasarkan analisis matang akan lebih siap ketika keadaan stabil. Pada saat itu, mereka akan berada di posisi menguntungkan dengan momentum pertumbuhan yang lebih besar.
Sekarang adalah waktu yang tepat untuk mempersiapkan strategi investasi. Manfaatkan peluang besar yang sering tersembunyi di balik ketidakpastian pasca-pemilu.
Dengan langkah yang tepat, Anda bisa meraih keuntungan lebih cepat saat ekonomi mulai bangkit. Ambil tindakan sekarang, persiapkan diri, dan jadikan momen ini sebagai kesempatan emas untuk tumbuh dan berkembang. Selamat mencoba!
Menarik Untuk Ditonton : Cara Jualan Lewat Facebook
Mau Konsultasi?